Bertahun-tahun masyarakat Kampung Pronggo, Distrik Mimika Barat Tengah, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua terbiasa mendengar deru mesin-mesin alat berat yang digunakan PT Megantara mengeruk pasir besi di wilayah tersebut.

Tepatnya, sejak 2013, warga Pronggo yang sebelumnya hanya mendengar kebisingan suara mesin perahu motor tempel dan generator listrik, kini semakin akrab dengan mesin-mesin peralatan tambang.

Saban hari, mereka terus menyaksikan sejumlah kapal besar berlabuh di bibir pantai Pronggo. Kehadiran kapal-kapal tersebut semakin marak seiring dengan mulai dieksploitasinya potensi mineral besi di Pronggo.

Keheranan warga Pronggo semakin bertambah, taatkala perusahaan pengelola tambang pasir besi juga mendatangkan puluhan orang asal "Negeri Tirai Bambu".

Orang-orang yang disebutkan berkulit putih, berambut lurus dan bermata sipit itu sangat kontras dengan perawakan orang-orang sekampung mereka atau warga Suku Kamoro pada umumnya yang berkulit hitam dan berambut keriting.

Lebih ironis lagi, "orang-orang pendatang baru" itu sama sekali tidak bisa berbahasa Indonesia. Mereka sama sekali tidak pernah melakukan kontak sosial dengan masyarakat setempat karena terkendala bahasa.

Kontak sosial dengan "orang-orang pendatang baru" tersebut dengan warga setempat praktis hanya bisa menggunakan bahasa isyarat.

Satu hal yang pasti, kehadiran kapal-kapal dan "orang-orang pendatang baru" itu membuat suasana dan situasi Kampung Pronggo yang dulunya sunyi senyap kini semakin heboh.

Apalagi pihak perusahaan mengerahkan sejumlah alat berat seperti exavator, loader dan lainnya untuk menyedot pasir-pasir besi dari bibir pantai kampung mereka.

Bahkan tak jarang, keberadaan alat-alat berat itu menggali material pasir besi tak jauh dari rumah penduduk.

Kondisi itu membuat pemandangan Kampung Pronggo tidak lagi seindah dulu dengan hamparan pasir putih pantainya yang sangat menakjubkan.

Di sana-sini terlihat lubang-lubang bekas galian. Belum lagi tumpukan-tumpukan material pasir menyerupai bukit-bukit di sekitar kampung yang sejatinya berada di kawasan dataran rendah itu membuat Pronggo benar-benar terlihat berbeda dari sebelumnya.

Merusak Warisan
Kehadiran PT Megantara dengan berbagai kecanggihan teknologinya dalam mengeksploitasi tambang pasir besi di Pronggo itu bukannya tanpa reaksi penolakan oleh warga setempat.

Hal itu tercermin dari pernyataan Kepala Kampung Pronggo Matheus Atapea.

"Masyarakat selalu bertanya-tanya, kapan perusahaan ini memberikan manfaat kepada kami. Sudah bertahun-tahun mereka datang merusak alam kami, tapi masyarakat tidak merasakan manfaat sedikitpun," tutur Matheus.

Lelaki paruh baya itu bahkan khawatir aktivitas pertambangan pasir besi Pronggo itu nantinya bakal memicu konflik sosial antarwarga setempat. Sebab warga Pronggo kini terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama setuju dengan adanya aktivitas pertambangan pasir besi karena dapat mengangkat derajat kesejahteraan warga setempat.

Namun kelompok lainnya justru tidak setuju lantaran eksploitasi pasir besi di Pronggo berdampak buruk bagi lingkungan sekitar, bahkan hanya membawa mala petaka bagi warga setempat di kemudian hari. Ekspolitasi tambang pasir besi Pronggo itu juga dinilai merusak warisan kekayaan alam Pronggo yang ditinggalkan nenek moyang mereka.

"Konflik tidak saja terjadi antarwarga Pronggo sendiri, tetapi juga warga dengan pekerja asing. Kasus seperti itu sudah terjadi beberapa kali," kata Matheus.

Guna meminimalisasi terjadinya konflik tersebut, dalam beberapa tahun terakhir di lokasi itu sudah hadir sejumlah aparat kepolisian. Namun kehadiran aparat kemanan yang selalu menenteng senjata laras panjang tersebut justru membuat warga setempat semakin cemas dan was-was.

Mantan Kapolres Mimika AKBP Yustanto Mudjiharso saat kunjungan kerja ke Pronggo beberapa waktu lalu mengajak warga stempat senantiasa menjaga ketertiban dan keamanan. Yustanto yang kini sudah dimutasikan ke Polda Papua saat itu meminta warga Pronggo membantu aparat menjaga keamanan.

Namun imbauan tersebut tidak serta-merta menjamin bahwa konflik antarwarga Pronggo maupun konflikantarwarga Pronggo dengan pekerja asing tidak akan terjadi lagi.

Selama warga setempat belum memperoleh manfaat nyata dari kehadiran perusahaan yang mengeruk habis kekayaan alam mereka maka potensi keributan masih tetap terbuka lebar.

Lembaga Adat Tolak
Kehadiran PT Megantara dalam melakukan eksploitasi tambang pasir besi di Pronggo tersebut rupanya mendapat penolakan dari Lembaga Musyawarah Adat Suku Kamoro (LEMASKO).

Wakil Ketua LEMASKO Marianus Maknaipeku mengatakan eksploitasi pasir besi di Pronggo hanya akan membawa kerugian bagi warga Suku Kamoro yaitu rusaknya sumber daya alam.

"Sudah lama kami menolak perusahaan tambang pasir besi di Pronggo itu. Hanya saja sampai sekarang Pemkab Mimika seperti menutup mata dengan suara-suara penolakan dari masyarakat," kata Marianus.

Hal senada disampaikan anggota Komisi I DPR-Papua Mathea Mameyao. Mathea yang merupakan warga asli Suku Kamoro itu mendesak pemerintah segera menutup total semua aktivitas pertambangan pasir besi di Kampung Pronggo lantaran usaha itu tidak memberi keuntungan bagi masyarakat, tetapi hanya kepada pengusaha dan pihak-pihak tertentu saja.

Wakil Bupati Mimika Yohanis Bassang juga menyatakan kecewa terhadap PT Megantara yang dinilainya hanya mengejar keuntungan tapi tidak berbuat sesuatu untuk kehidupan masyarakat setempat.

"Masa` perusahaan sebesar ini beroperasi di Pronggo, tapi untuk bangun gedung sekolah saja tidak bisa," ujar Bassang saat bertatap muka dengan masyarakat Pronggo beberapa waktu lalu.

Hingga kini SD YPPK Pronggo hanya memiliki tiga ruang kelas. Padahal jumlah rombongan belajar di sekolah itu sebanyak enam rombongan belajar (kelas 1-6).

Melihat masifnya eksploitasi tambang pasir besi di Pronggo, menurut Bassang, sudah seharusnya kehidupan warga Pronggo jauh lebih sejahtera dibanding saat perusahaan belum hadir di kampung mereka.

Kepala Dinas Koperasi dan Ekonomi Kreatif Pemkab Mimika Cherly Lumenta mengakui hingga kini warga Pronggo belum mendapatkan manfaat dari usaha pertambangan pasir besi karena PT Megantara belum mengantongi izin ekspor dari Pemerintah Pusat.

Menurut dia, mineral pasir besi yang dikelola oleh PT Megantara hingga kini belum pernah diekspor ke mancanegara.

Banyak kalangan menduga aktivitas penambangan pasir besi di Pronggo hanyalah modus yang digunakan pihak perusahaan. Sesungguhnya yang mereka incar adalah potensi mineral emas yang cukup kaya di Pronggo dan kampung-kampung sekitar itu seperti Jera dan lainnya.

Selama ini, warga setempat banyak mendapatkan butiran emas dari sungai-sungai di sekitar Kampung Pronggo dengan melakukan pengolahan secara tradisional.

Stigma Wawia
Terlepas dari berbagai pro-kontra soal usaha pertambangan pasir besi di Pronggo itu, namun bagi Paramokani, salah seorang tokoh masyarakat Pronggo, warganya kini tidak lagi dipandang sebelah mata oleh orang Mimika pada umumnya.

Paramokani mengisahkan, dulu nenek moyang orang Pronggo selalu diberi stigma sebagai "Orang Wawia" (orang yang tidak memiliki dusun sagu) oleh warga Mimika lainnya.

Kondisi vegetasi hutan di Kampung Pronggo memang tidak seperti kampung-kampung di wilayah pesisir Mimika lainnya yang kaya akan hutan sagu. Sagu merupakan makanan pokok Suku Kamoro yang bermukim di sepanjang wilayah pesisir Mimika dan suku-suku pesisir Papua lainnya.

Bagi orang Pronggo, sebutan sebagai "Orang Wawia" yang disematkan pada diri mereka itu sangat memilukan hati.

"Di wilayah ini memang tidak ada dusun sagu karena sagu tidak tumbuh di sini. Orang-orang Mimika di wilayah lain sering menyebut kami dengan kata wawia," tuturnya.

Kehadiran perusahaan tambang pasir besi di Pronggo, katanya, sekaligus ingin mematahkan stigma "Orang Wawia" yang seolah-olah tidak memiliki potensi sumber daya alam yang dibanggakan di kampungnya.

"Kami ingin menunjukkan kepada orang Mimika yang lain bahwa kami orang Pronggo juga memiliki sesuatu yang dapat dibanggakan. Kami punya potensi alam yang luar biasa yaitu pasir besi, emas, hutan, ikan, udang, karaka (kepiting) dan lainnya yang bisa menghidupi anak cucu kami," ujar Paramokani.

Bagaimana menjembatani kepentingan masyarakat Pronggo yang membutuhkan peningkatan kesejahteraan dari potensi kekayaan sumber daya alam yang mereka miliki dengan kepentingan perusahaan untuk mencari keuntungan dari eksploitasi tambang pasir besi dan dampaknya terhadap kelangsungan eksosistem lingkungan dan masa depan warga setempat.

Hal tersebut tentu menjadi perhatian serius bagi Pemkab Mimika maupun pihak-pihak terkait lainnya dalam mengambil kebijakan terhadap permasalahan ini. (*)

Pewarta : Pewarta: Jeremias Rahadat
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024