Jayapura (Antara Papua) - Tim pemenangan pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Jayapura Yanni-Zadrak Afesedanya mempersoalkan salinan formulir C1 yang diberikan pihak penyelenggara pilkada kepada pihak pasangan calon.
Nathan Pahabol, anggota tim pemenangan pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Jayapura nomor urut 1, Yanni-Zadrak di Kota Jayapura, Papua, Minggu malam, mengatakan diduga kuat oknum Sekretariat di KPU Kabupaten Jayapura menjadi otak dari pembagian surat C1 yang tidak sesuai ketentuan.
Formulir C1 atau dokumen hasil penghitungan suara di 348 tempat pemungutan suara (TPS) yang tersebar di 19 distrik pada 15 Februari 2017, yang diberikan KPU kepada pasangan calon berbentuk lembaran foto copy.
Semestinya dokumen yang diberikan kepada pihak pasangan calon melalui saksi berbentuk salinan hasil "scanning" formulir C1 yang berisi hasil perolehan suara kepada masing-masing pasangan calon bupati/wakil bupati.
"Ini saya lihat bahwa formulir C1 dari 348 TPS yang diterima oleh para saksi calon pasangan bupati dan wakil bupati Yanni-Zadrak adalah foto copy, seharusnya mereka menerima salinan asli (hasil scan) yang ditandatangani dan dicap basah oleh penyelenggara tingkat bawah pada saat pemungutan 15 Februari lalu. Pasti ada oknum penyelenggara atau sekretariat yang menjadi otak dibalik ini," katanya.
Menurut Nathan yang juga Sekretaris Fraksi Gerindra di Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) itu, surat C1 dari 348 TPS foto copy tersebut tidak bisa dijadikan acuan atau barang bukti ke Mahkamah Konstitusi jika hal itu dipersoalkan oleh pasangan calon bupati dan wakil bupati, karena bukan yang asli.
"Kalau pun formulir C1 foto copy ini dinyatakan sah, maka harus ada surat keterangan dari KPU Jayapura dengan mengetahui Panwas setempat bahwa C1 yang dibagikan itu sah dan bisa digunakan sebagai barang bukti di MK. Tapi jika tidak, maka surat C1 foto copy tersebut merupakan bukti bahwa ada permainan di tubuh penyelenggara, siapa ini oknumnya," katanya dengan nada bertanya.
Lebih lanjut Pahabol mengatakan bahwa formulir C1 itu seharusnya berjumlah sembilan lembar yang nantinya akan dibagikan antara lain kepada PPD, Polisi, KPU dan para saksi pasangan calon bupati dan wakil bupati usai penghitungan suara ditingkat bawah, namun ternyata para saksi dari pasangan calon menerima surat C1 foto copy.
"Pada Senin (13/3), kami berencana menyurat kepada KPU dan Panwas Kabupaten Jayapura, KPU dan Bawaslu tingkat provinsi dan pusat, termasuk kepada Gakkumdu, Polres Jayapura serta Kapolda dan Kapolri terkait surat C1 foto copi ini. Kami ingin mereka mengetahui sekaligus meminta keterangan bahwa apa benar C1 itu yang harus diterima oleh saksi pasangan calon hanya berupa foto copy," katanya.
Nathan menduga bahwa surat C1 foto copy tersebut merupakan bagian dari rencana atau skenario terstruktur, sistematis dan masif yang dilakukan oleh oknum ditingkat penyelenggara, karena hal itu menyangkut kerahasiaan dokumen-dokumen negara yang legalitasnya harus dijaga.
"Siapa pun aktor itu, baik di staf sekretariat atau diluar itu, harus mempertanggungjawabkan masalah ini. Kami akan mengadukan kepada Panwas, Gakkumdu, Bawaslu bahkan ke DKPP. Mereka telah melakukan kejahatan luar biasa, memberikan pelajaran politik yang salah kepada masyarakat. Seharusnya Kabupaten Jayapura menjadi contoh pesta demokrasi yang baik dan benar, bukan seperti ini," katanya.
Ia memprediksikan jika persoalan tersebut dibawa ke muka hukum, maka bukan tidak mungkin Pilkada pada 15 Februari 2017 itu disebut ilegal dan berpeluang dilaksanakan ulang secara serentak di 19 distrik yang ada di Kabupaten Jayapura.
"Kalau seperti ini, berarti harus ada yang bertanggunggjawab. Panwas, Gakkumdu dan polisi harus memproses oknum-oknum yang dengan sengaja mengacaukan pilkada di Kabupaten Jayapura. Mereka telah mencederasi semangat demokrasi yang telah dibangun oleh pendahulu-pendahulu kita," katanya. (*)
Nathan Pahabol, anggota tim pemenangan pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Jayapura nomor urut 1, Yanni-Zadrak di Kota Jayapura, Papua, Minggu malam, mengatakan diduga kuat oknum Sekretariat di KPU Kabupaten Jayapura menjadi otak dari pembagian surat C1 yang tidak sesuai ketentuan.
Formulir C1 atau dokumen hasil penghitungan suara di 348 tempat pemungutan suara (TPS) yang tersebar di 19 distrik pada 15 Februari 2017, yang diberikan KPU kepada pasangan calon berbentuk lembaran foto copy.
Semestinya dokumen yang diberikan kepada pihak pasangan calon melalui saksi berbentuk salinan hasil "scanning" formulir C1 yang berisi hasil perolehan suara kepada masing-masing pasangan calon bupati/wakil bupati.
"Ini saya lihat bahwa formulir C1 dari 348 TPS yang diterima oleh para saksi calon pasangan bupati dan wakil bupati Yanni-Zadrak adalah foto copy, seharusnya mereka menerima salinan asli (hasil scan) yang ditandatangani dan dicap basah oleh penyelenggara tingkat bawah pada saat pemungutan 15 Februari lalu. Pasti ada oknum penyelenggara atau sekretariat yang menjadi otak dibalik ini," katanya.
Menurut Nathan yang juga Sekretaris Fraksi Gerindra di Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) itu, surat C1 dari 348 TPS foto copy tersebut tidak bisa dijadikan acuan atau barang bukti ke Mahkamah Konstitusi jika hal itu dipersoalkan oleh pasangan calon bupati dan wakil bupati, karena bukan yang asli.
"Kalau pun formulir C1 foto copy ini dinyatakan sah, maka harus ada surat keterangan dari KPU Jayapura dengan mengetahui Panwas setempat bahwa C1 yang dibagikan itu sah dan bisa digunakan sebagai barang bukti di MK. Tapi jika tidak, maka surat C1 foto copy tersebut merupakan bukti bahwa ada permainan di tubuh penyelenggara, siapa ini oknumnya," katanya dengan nada bertanya.
Lebih lanjut Pahabol mengatakan bahwa formulir C1 itu seharusnya berjumlah sembilan lembar yang nantinya akan dibagikan antara lain kepada PPD, Polisi, KPU dan para saksi pasangan calon bupati dan wakil bupati usai penghitungan suara ditingkat bawah, namun ternyata para saksi dari pasangan calon menerima surat C1 foto copy.
"Pada Senin (13/3), kami berencana menyurat kepada KPU dan Panwas Kabupaten Jayapura, KPU dan Bawaslu tingkat provinsi dan pusat, termasuk kepada Gakkumdu, Polres Jayapura serta Kapolda dan Kapolri terkait surat C1 foto copi ini. Kami ingin mereka mengetahui sekaligus meminta keterangan bahwa apa benar C1 itu yang harus diterima oleh saksi pasangan calon hanya berupa foto copy," katanya.
Nathan menduga bahwa surat C1 foto copy tersebut merupakan bagian dari rencana atau skenario terstruktur, sistematis dan masif yang dilakukan oleh oknum ditingkat penyelenggara, karena hal itu menyangkut kerahasiaan dokumen-dokumen negara yang legalitasnya harus dijaga.
"Siapa pun aktor itu, baik di staf sekretariat atau diluar itu, harus mempertanggungjawabkan masalah ini. Kami akan mengadukan kepada Panwas, Gakkumdu, Bawaslu bahkan ke DKPP. Mereka telah melakukan kejahatan luar biasa, memberikan pelajaran politik yang salah kepada masyarakat. Seharusnya Kabupaten Jayapura menjadi contoh pesta demokrasi yang baik dan benar, bukan seperti ini," katanya.
Ia memprediksikan jika persoalan tersebut dibawa ke muka hukum, maka bukan tidak mungkin Pilkada pada 15 Februari 2017 itu disebut ilegal dan berpeluang dilaksanakan ulang secara serentak di 19 distrik yang ada di Kabupaten Jayapura.
"Kalau seperti ini, berarti harus ada yang bertanggunggjawab. Panwas, Gakkumdu dan polisi harus memproses oknum-oknum yang dengan sengaja mengacaukan pilkada di Kabupaten Jayapura. Mereka telah mencederasi semangat demokrasi yang telah dibangun oleh pendahulu-pendahulu kita," katanya. (*)