Timika (Antara Papua) - Kepolisian Resor Mimika, Papua mengingatkan karyawan PT Freeport Indonesia yang berencana menggelar mogok kerja mulai 1-31 Mei 2017 agar tidak mengganggu kepentingan umum dan kenyamanan orang lain yang ingin bekerja di area perusahaan tambang itu.

"Mogok kerja sudah ada aturannya. Jangan mengganggu ketertiban umum dan keamanan orang lain yang mau bekerja. Tidak boleh ada yang menghalang-halangi orang yang mau berangkat kerja, pemaksaan kehendak atau intimidasi terhadap pekerja lain," kata Kapolres Mimika AKBP Victor Dean Mackbon di Timika, Sabtu.

Hingga kini Polres Mimika belum menerima surat pemberitahuan rencana mogok kerja karyawan PT Freeport Indonesia yang digagas oleh Pimpinan Unit Kerja Serikat Pekerja Kimia, Energi dan Pertambangan (PUK SP-KEP) SPSI PT Freeport tersebut.

Rencana mogok kerja karyawan PT Freeport selama sebulan penuh yang dimulai bertepatan dengan peringatan Hari Buruh Sedunia (May Day) sebagai bentuk protes atas kebijakan manajemen yang merumahkan (forelock) ribuan karyawan sejak ahir Februari, penghapusan sistem outsourching dan penghentian tindakan kriminalisasi pekerja.

Polres Mimika menegaskan kegiatan demonstrasi maupun mogok kerja merupakan hak pekerja, namun hal itu harus dilakukan melalui prosedur yang benar serta tidak sampai mengganggu kepentingan umum dan kenyamanan orang lain yang masih tetap ingin bekerja.

"Kami minta rekan-rekan serikat pekerja agar bersikap fair. Yang tidak mau kerja, silahkan. Tapi jangan menghalang-halangi rekan mereka yang mau kerja, apalagi sampai melakukan intimidasi dan pemaksaan kehendak," ujar Victor.

Ia menegaskan, polisi akan berupaya maksimal menjaga ketertiban umum serta memberikan perlindungan, pengayoman serta pelayanan kepada masyarakat, termasuk pekerja PT Freeport Indonesia yang ingin tetap bekerja di saat rekan-rekan mereka melakukan mogok kerja.

Sebelumnya, Anggota Tim Advokasi PUK SP-KEP SPSI PT Freeport Tri Puspita mengatakan rencana mogok kerja ribuan karyawan Freeport yang diikuti perusahaan-perusahaan subkontraktor Freeport akan berlaku efektif mulai 1 Mei 2017.

"Ada tiga tuntutan utama kami yaitu meminta manajemen PT Freeport agar menghentikan kebijakan forelock dan mengembalikan semua karyawan yang telah dinyatakan forelock ke tempat kerja semula. Kami juga mendesak manajemen PT Freeport agar menghentikan segala bentuk dan upaya kriminalisasi pekerja," kata Tri Puspita.

Ia mengatakan sebagian dari karyawan PT Freeport yang terkena kebijakan forelock merupakan perwakilan pengurus SPSI di tingkat departemen (komisariat).

"Hampir 40 persen rekan-rekan kami dari komisariat yang terkena kebijakan forelock. Terdapat indikasi kuat bahwa manajemen perusahaan mau menghabiskan seluruh pengurus serikat pekerja dengan menggunakan alasan efisiensi. Mereka menjadikan momentum yang ada sekarang untuk mengurangi fungsionaris organisasi PUK SP-KEP SPSI," kata Tri.

Tri Puspita lantas menyebut kebijakan forelock yang diterapkan manajemen PT Freeport sejak akhir Februari 2017 hingga kini sama sekali tidak memiliki dasar hukum yang jelas serta tidak pernah dibahas bersama dengan serikat pekerja.

"Mereka hanya membahas masalah ini dalam pertemuan-pertemuan informal, sedangkan serikat pekerja menuntut agar kebijakan forelock ini harus dirundingkan. Kebijakan forelock yang diterapkan manajemen perusahaan bersifat sepihak dan itu sama sekali tidak diatur dalam buku Perjanjian Kerja Bersama (PKB)," jelasnya.

Kebijakan forelock yang diterapkan manajemen PT Freeport akhir-akhir ini, katanya, telah membuat banyak karyawan berada dalam kondisi bingung dan sudah tidak nyaman lagi bekerja.



Tidak berdasar

Sementara itu Kepala Disnakertrans-Perumahan Rakyat Mimika Septinus Soumilena menilai rencana mogok kerja yang dilakukan serikat pekerja PT Freeport tidak memiliki dasar hukum yang jelas.

"Dasarnya apa? Harus disampaikan secara resmi. Mogok kerja terjadi jika terjadi kegagalan antara para pihak dalam perundingan. Kalau kondisi yang terjadi sekarang menjadi dasar dibalik aksi mogok maka itu bukan karena kesalahan manajemen semata," kata Septinus.

Ia mengatakan situasi dan kondisi di Freeport yang terjadi semenjak Februari dimana terdapat ribuan pekerja yang dirumahkan (forelock) bahkan karyawan perusahaan subkontraktor Freeport mengalami pemutusan hubungan kerja/PHK karena terkait kebijakan negara yang "memaksa" semua perusahaan tambang asing termasuk Freeport wajib tunduk dan taat kepada aturan hukum Indonesia dalam hal ini UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara.

"Hampir semua manajemen menyadari bahwa kondisi yang terjadi begitu cepat sekarang ini bukan karena disengaja atau karena perusahaan dalam kondisi kolaps atau karena buruh melakukan pelanggaran. Bukan itu penyebabnya. Ini terjadi karena kebijakan negara. Karena itu, mogok kerja bukan jalan keluar terbaik. Kalau ada masalah, mari berembuk bersama untuk mencari jalan keluar terbaik," imbau Septinus.

Menurut dia, merupakan sesuatu yang tidak mungkin jika pekerja menuntut perusahaan agar memberikan hak-hak seperti ketika perusahaan tersebut dalam kondisi normal.

"Menuntut sesuatu itu harus wajar dan patut, tidak serta-merta mempersalahkan perusahaan," ujar Septinus.

Sesuai laporan yang diterima Disnakertrans-PR Mimika, total karyawan PT Freeport dan perusahaan-perusahaan subkontraktornya yang telah dirumahkan (forelock) dan di-PHK oleh perusahaan tempat mereka bekerja sebanyak 4.647 orang.

Rinciannya yaitu karyawan permanen Freeport sebanyak 1.190 orang yang terdiri atas karyawan Papua sebanyak 59 orang dan karyawan non Papua sebanyak 1.096 orang serta tenaga kerja asing (expatriat) sebanyak 35 orang. Ribuan karyawan Freeport (karyawan Indonesia) itu dikenakan program dirumahkan (forelock), sedangkan bagi tenaga kerja asing langsung dinyatakan PHK.

Adapun bagi karyawan perusahaan-perusahaan subkontraktor Freeport dikenakan kebijakan PHK dengan total mencapai 2.457 orang terdiri atas karyawan Indonesia sebanyak 2.370 orang dan tenaga kerja asing sebanyak 87 orang. (*)

Pewarta : Pewarta: Evarianus Supar
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024