Papua dijadikan contoh sebagai daerah yang menjaga toleransi dan kerukunan antarumat beragama. Menjaga harmoni keberagamaan bukanlah tugas yang ringan, namun membutuhkan kesungguhan yang penuh kearifan sosial.
Dalam pandangan Gubernur Lukas Enembe, toleransi dan kerukunan antarumat beragama telah menjadi salah satu warna dasar denyut pembangunan di Papua. Apa yang dipraktekkan di Tanah Papua adalah cerminan dari sebuah kerukunan antarperadaban (harmony among civilizations) sebagai modal sosial dalam pembangunan di Tanah Air.
Saat-saat ini di Tanah Papua, kita menyaksikan keindahan sosial di saat umat beragama, baik umat Islam ketika merayakan Idul Fitri, umat Kristiani mengunjungi saudara-saudaranya yang beragama Islam. Orang tua, sanak saudara, dan anak-anak saling mendatangi tetangga-tetangganya yang merayakan Idul Fitri.
Mereka berbondong-bondong dengan gembira, suka cita, dan saling maaf-memaafkan diantara mereka. Sebaliknya, ketika umat Kristiani di Tanah Papua merayakan hari Natal, umat Muslim endatangi tetangga-tetangga, sanak saudara, dan handau taulan yang beragama Kristen.
Gambaran itu terlihat di berbagai daerah di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Sebuah cerminan yang indah dari kehidupan sosial yang menjunjung kebersamaan, persaudaraan, dan kasih sayang.
Relasi sosial yang indah ini tidak hanya tercermin ketika hari raya saja, namun ternyata relasi sosial yang menjunjung kebersamaan ini telah berlangsung lama dalam praktek berbagai sisi kehidupan sosial di Tanah Papua.
Papua meraih Harmoni Award 2016
Kehidupan beragama yang harmoni di Papua menjadi contoh bagi daerah-daerah lainya di Tanah Air.
Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kementerian Agama pada 26 Februari 2017 memberikan anugerah kepada Gubernur Papua Lukas Enembe yang telah menjaga harmoni keberagamaan di Papua. Penghargaan Pemerintah disebut sebagai Harmoni Award 2016 atau Anugerah Kerukunanan Umat Beragama. Selain Provinsi Papua, Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi Kepulauan Riau juga meraih Harmoni Award 2016.
Sementara itu, di tingkat Kabupaten, daerah-daerah yang meraih Harmoni Award adalah Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Tabanan, Kabupaten Alor, Kabupaten Jayapura, Kota Tomohon dan Kota Sungai Penuh.
Dalam pandangan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, anugerah yang diraih Papua ini tak lepas dari suksesnya Lukas Enembe menciptakan keberagamaan yang baik dan sejuk.
Pemerintah menilai, Papua mampu menjaga harmoni keberagamaan dan mampu menempatkan agama pada posisi sesungguhnya, sehingga mampu mengayomi keragaman yang ada di Tanah Papua.
Selain kehidupan keberagamaan yang harmoni, masih dalam pandangan Kementerian Agama bahwa Papua juga memenuhi kriteria umum yang ditelah ditetapkan oleh Kementerian Agama, antara lain Survei Indeks Kerukunan Umat Beragama, program dan kebijakan terkait kerukunan umat beragama, kegiatan kerukunan umat beragama, serta aspek dukungan APBD yang dialokasikan untuk penguatan kerukunan baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Harmoni Award ini merupakan upaya Pemerintah memberikan apresiasi kepada daerah-daerah dan tokoh-tokoh di dalam membangun harmoni di tengah perbedaan sosial di Tanah Air.
Ketika acara pembukaan Pesta Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi) tingkat nasional di Ambon, pada 6 Oktober 2015 lalu, Presiden Joko Widodo mengibaratkan kebersamaan dalam keragaman seperti paduan suara yang hasilnya dapat melahirkan harmoni yang indah.
Bagi Presiden Joko Widodo, kehidupan berbhinneka tunggal ika diibaratkan seperti paduan suara. Sebab, dalam paduan suara ada orang yang bersuara bas, ada yang sopran, tenor, dan juga alto, namun meskipun berbeda tetapi jika semuanya bernyanyi secara bersama hasilnya adalah harmoni yang indah.
Dalam suatu kesempatan, Presiden Joko Widodo berujar, "Kita bersyukur, Indonesia bersyukur, kodrat kebangsaan Indonesia adalah Bhinneka Tunggal Ika. Kodrat Indonesia adalah mengelola keberagaman, mengelola kemajemukan, mengelola kebhinnekaan," (18 April 2017).
Karena itu, upaya merawat kebersamaan menjadi tugas kolektif semua anak bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Mengelola Tantangan
Menjaga harmoni dalam keberagamaan bukanlah tugas yang ringan. Nilai-nilai harmoni, toleransi, kasih sayang dan kebersamaan haruslah dibangun, dirawat dan dikembangkan dari waktu ke waktu.
Mengapa relasi sosial yang harmoni harus dirawat dengan baik? Dalam bukunya, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (Benturan Peradaban dan Pembangunan Kembali Tatanan Dunia), Samuel Huntington (1996), ilmuwan politik dari Amerika Serikat, menilai bahwa pasca perang dingin konflik tidak lagi di wilayah ideologi, namun potensi konflik di wilayah identitas kebudayaan.
Konflik-konflik komunal diantara peradaban yang berbeda. Apalagi, dalam pandangan Huntington, negara gagal secara ekonomi maupun sistem politik yang tidak akomodatif menjadi potensi muncul konflik sosial dari identitas yang berbeda.
Dalam konteks inilah, kita mengingat kembali apa yang diutarakan oleh Presiden Republik Indonesia ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono, ketika berpidato di Harvard University, Amerika Serikat, pada 29 September 2009.
Ia tidak setuju dengan argumen Samuel Huntington tentang the Clash of Civilizations (benturan peradaban), namun ia melihat apa yang disampaikan oleh Huntington sebagai suatu peringatan kepada bangsa-bangsa yang masyarakatnya majemuk. Sebaliknya, ia melihat betapa pentingnya ide kerukunan antarperadaban (Harmony among Civilizations). Suatu tatanan dunia yang diwarnai oleh kemitraan, kerjasama, dialog multikulturalisme, toleransi dan moderasi.
Sejalan dengan pandangan kerukunan antarperadaban ini, Presiden Joko Widodo, menceritakan berbagai negara kagum dengan kerukunan umat beragama yang terjadi di Indonesia.
Dalam dialog dengan pimpinan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di Bogor, pada 23 Mei 2017, Presiden Joko Widodo berpesan kerukunan dan stabilitas diperlukan untuk membangun negara, apalagi pada era kompetisi global seperti sekarang persatuan dan soliditas bangsa Indonesia akan diuji dalam kancah persaingan dunia.
Presiden Jokowi mengakui, dalam dinamika kehidupan bermasyarakat, Indonesia juga pasti sesekali mengalami sedikit gesekan, tetapi gesekan kecil itu segera diselesaikan sehingga menjadi pembelajaran yang berharga.
Pengakuan yang diberikan Pemerintah kepada Papua sebagai Daerah yang mampu merawat kerukunan antarumat beragama menjadi sebuah tanggung jawab yang tidak ringan.
Berulang kali, Gubernur Lukas Enembe menekankan betapa pentingnya upaya-upaya sistematis di dalam mewujudkan Papua sebagai Tanah Damai. Di dalam visi Tanah Damai ini, berkembang Kasih Menembus Perbedaan yang mewarnai visi pembangunan, strategi dan kebijakan pembangunan daerah yang komprehensif.
Dalam suatu momen berbuka puasa dengan tokoh-tokoh FKUB dan Insan Pers, pada 8 Juni 2017, Gubernur Enembe berperan insan pers dan FKUB berjalan seiiring dengan pemerintah daerah dalam memupuk persatuan, memelihara kerukunan sosial, dan menjaga kedamaian.
Di tengah-tengah penduduk Papua yang majemuk, adalah tugas yang tidak ringan bagi Gubernur Lukas Enembe untuk menjaga harmoni keberagamaan. Harmoni Award 2016 yang dicapai oleh Papua adalah sebuah kerja kolektif semua anak bangsa yang hidup di Tanah Papua.
Kehidupan sosial yang rukun dari leluhur-leluhur Papua di masa lalu, adalah modal sosial dan modal kultural bagi Papua untuk mewujudkan visi besar Papua yang bangkit, mandiri, dan sejahtera dalam masyarakat Papua yang majemuk.
Sekali lagi, Gubernur Enembe pernah berpesan, "Dari dulu Papua ini sangat menjaga toleransi dan kerukunan antarumat beragama. Mari kita terus membangun Papua ini dalam keberagaman dan Kasih Menembus Perbedaan".
Untuk itulah, menjaga harmoni keberagamaan adalah tanggung jawab kita semua. (*/Adv)
Dalam pandangan Gubernur Lukas Enembe, toleransi dan kerukunan antarumat beragama telah menjadi salah satu warna dasar denyut pembangunan di Papua. Apa yang dipraktekkan di Tanah Papua adalah cerminan dari sebuah kerukunan antarperadaban (harmony among civilizations) sebagai modal sosial dalam pembangunan di Tanah Air.
Saat-saat ini di Tanah Papua, kita menyaksikan keindahan sosial di saat umat beragama, baik umat Islam ketika merayakan Idul Fitri, umat Kristiani mengunjungi saudara-saudaranya yang beragama Islam. Orang tua, sanak saudara, dan anak-anak saling mendatangi tetangga-tetangganya yang merayakan Idul Fitri.
Mereka berbondong-bondong dengan gembira, suka cita, dan saling maaf-memaafkan diantara mereka. Sebaliknya, ketika umat Kristiani di Tanah Papua merayakan hari Natal, umat Muslim endatangi tetangga-tetangga, sanak saudara, dan handau taulan yang beragama Kristen.
Gambaran itu terlihat di berbagai daerah di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Sebuah cerminan yang indah dari kehidupan sosial yang menjunjung kebersamaan, persaudaraan, dan kasih sayang.
Relasi sosial yang indah ini tidak hanya tercermin ketika hari raya saja, namun ternyata relasi sosial yang menjunjung kebersamaan ini telah berlangsung lama dalam praktek berbagai sisi kehidupan sosial di Tanah Papua.
Papua meraih Harmoni Award 2016
Kehidupan beragama yang harmoni di Papua menjadi contoh bagi daerah-daerah lainya di Tanah Air.
Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kementerian Agama pada 26 Februari 2017 memberikan anugerah kepada Gubernur Papua Lukas Enembe yang telah menjaga harmoni keberagamaan di Papua. Penghargaan Pemerintah disebut sebagai Harmoni Award 2016 atau Anugerah Kerukunanan Umat Beragama. Selain Provinsi Papua, Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi Kepulauan Riau juga meraih Harmoni Award 2016.
Sementara itu, di tingkat Kabupaten, daerah-daerah yang meraih Harmoni Award adalah Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Tabanan, Kabupaten Alor, Kabupaten Jayapura, Kota Tomohon dan Kota Sungai Penuh.
Dalam pandangan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, anugerah yang diraih Papua ini tak lepas dari suksesnya Lukas Enembe menciptakan keberagamaan yang baik dan sejuk.
Pemerintah menilai, Papua mampu menjaga harmoni keberagamaan dan mampu menempatkan agama pada posisi sesungguhnya, sehingga mampu mengayomi keragaman yang ada di Tanah Papua.
Selain kehidupan keberagamaan yang harmoni, masih dalam pandangan Kementerian Agama bahwa Papua juga memenuhi kriteria umum yang ditelah ditetapkan oleh Kementerian Agama, antara lain Survei Indeks Kerukunan Umat Beragama, program dan kebijakan terkait kerukunan umat beragama, kegiatan kerukunan umat beragama, serta aspek dukungan APBD yang dialokasikan untuk penguatan kerukunan baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Harmoni Award ini merupakan upaya Pemerintah memberikan apresiasi kepada daerah-daerah dan tokoh-tokoh di dalam membangun harmoni di tengah perbedaan sosial di Tanah Air.
Ketika acara pembukaan Pesta Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi) tingkat nasional di Ambon, pada 6 Oktober 2015 lalu, Presiden Joko Widodo mengibaratkan kebersamaan dalam keragaman seperti paduan suara yang hasilnya dapat melahirkan harmoni yang indah.
Bagi Presiden Joko Widodo, kehidupan berbhinneka tunggal ika diibaratkan seperti paduan suara. Sebab, dalam paduan suara ada orang yang bersuara bas, ada yang sopran, tenor, dan juga alto, namun meskipun berbeda tetapi jika semuanya bernyanyi secara bersama hasilnya adalah harmoni yang indah.
Dalam suatu kesempatan, Presiden Joko Widodo berujar, "Kita bersyukur, Indonesia bersyukur, kodrat kebangsaan Indonesia adalah Bhinneka Tunggal Ika. Kodrat Indonesia adalah mengelola keberagaman, mengelola kemajemukan, mengelola kebhinnekaan," (18 April 2017).
Karena itu, upaya merawat kebersamaan menjadi tugas kolektif semua anak bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Mengelola Tantangan
Menjaga harmoni dalam keberagamaan bukanlah tugas yang ringan. Nilai-nilai harmoni, toleransi, kasih sayang dan kebersamaan haruslah dibangun, dirawat dan dikembangkan dari waktu ke waktu.
Mengapa relasi sosial yang harmoni harus dirawat dengan baik? Dalam bukunya, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (Benturan Peradaban dan Pembangunan Kembali Tatanan Dunia), Samuel Huntington (1996), ilmuwan politik dari Amerika Serikat, menilai bahwa pasca perang dingin konflik tidak lagi di wilayah ideologi, namun potensi konflik di wilayah identitas kebudayaan.
Konflik-konflik komunal diantara peradaban yang berbeda. Apalagi, dalam pandangan Huntington, negara gagal secara ekonomi maupun sistem politik yang tidak akomodatif menjadi potensi muncul konflik sosial dari identitas yang berbeda.
Dalam konteks inilah, kita mengingat kembali apa yang diutarakan oleh Presiden Republik Indonesia ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono, ketika berpidato di Harvard University, Amerika Serikat, pada 29 September 2009.
Ia tidak setuju dengan argumen Samuel Huntington tentang the Clash of Civilizations (benturan peradaban), namun ia melihat apa yang disampaikan oleh Huntington sebagai suatu peringatan kepada bangsa-bangsa yang masyarakatnya majemuk. Sebaliknya, ia melihat betapa pentingnya ide kerukunan antarperadaban (Harmony among Civilizations). Suatu tatanan dunia yang diwarnai oleh kemitraan, kerjasama, dialog multikulturalisme, toleransi dan moderasi.
Sejalan dengan pandangan kerukunan antarperadaban ini, Presiden Joko Widodo, menceritakan berbagai negara kagum dengan kerukunan umat beragama yang terjadi di Indonesia.
Dalam dialog dengan pimpinan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di Bogor, pada 23 Mei 2017, Presiden Joko Widodo berpesan kerukunan dan stabilitas diperlukan untuk membangun negara, apalagi pada era kompetisi global seperti sekarang persatuan dan soliditas bangsa Indonesia akan diuji dalam kancah persaingan dunia.
Presiden Jokowi mengakui, dalam dinamika kehidupan bermasyarakat, Indonesia juga pasti sesekali mengalami sedikit gesekan, tetapi gesekan kecil itu segera diselesaikan sehingga menjadi pembelajaran yang berharga.
Pengakuan yang diberikan Pemerintah kepada Papua sebagai Daerah yang mampu merawat kerukunan antarumat beragama menjadi sebuah tanggung jawab yang tidak ringan.
Berulang kali, Gubernur Lukas Enembe menekankan betapa pentingnya upaya-upaya sistematis di dalam mewujudkan Papua sebagai Tanah Damai. Di dalam visi Tanah Damai ini, berkembang Kasih Menembus Perbedaan yang mewarnai visi pembangunan, strategi dan kebijakan pembangunan daerah yang komprehensif.
Dalam suatu momen berbuka puasa dengan tokoh-tokoh FKUB dan Insan Pers, pada 8 Juni 2017, Gubernur Enembe berperan insan pers dan FKUB berjalan seiiring dengan pemerintah daerah dalam memupuk persatuan, memelihara kerukunan sosial, dan menjaga kedamaian.
Di tengah-tengah penduduk Papua yang majemuk, adalah tugas yang tidak ringan bagi Gubernur Lukas Enembe untuk menjaga harmoni keberagamaan. Harmoni Award 2016 yang dicapai oleh Papua adalah sebuah kerja kolektif semua anak bangsa yang hidup di Tanah Papua.
Kehidupan sosial yang rukun dari leluhur-leluhur Papua di masa lalu, adalah modal sosial dan modal kultural bagi Papua untuk mewujudkan visi besar Papua yang bangkit, mandiri, dan sejahtera dalam masyarakat Papua yang majemuk.
Sekali lagi, Gubernur Enembe pernah berpesan, "Dari dulu Papua ini sangat menjaga toleransi dan kerukunan antarumat beragama. Mari kita terus membangun Papua ini dalam keberagaman dan Kasih Menembus Perbedaan".
Untuk itulah, menjaga harmoni keberagamaan adalah tanggung jawab kita semua. (*/Adv)