Timika (Antara Papua) - Konsultan Pilar Dua Unicef Papua, Hendio Yudi mengatakan tingkat kehadiran guru di sekolah-sekolah yang ada di Mimika sangat minim dibandingkan di kabupaten lain di Provinsi Papua.

"Jika dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lain yang ada di Papua, menurut saya, tingkat kehadiran guru di Mimika secara khusus di sekolah-sekolah yang ada di wilayah pesisir pantai dan pegunungan sangat minim," kata Hendio di Timika.

Dengan demikian, menurut dia, tidak heran jika tingkat kemampuan baca siswa-siswi di pedalaman juga tidak berkembangan dari tahun ke tahun. Proses belajar-mengajar jarang terjadi dan itu sebenarnya menjadi salah satu faktor utama pendidikan di Mimika.

Selain ketidakhadiran guru di sekolah berbagai persoalan lain juga turut menambah deretan persoalan pendidikan di Mimika seperti kurangnya dukungan orang tua siswa dalam hal ini masyarakat dan aparat kampung.

"Salah satu contoh seperti di salah satu SD yang siswa kelas I-III tidak naik kelas pada tahun ajaran baru 2017-2018 lalu. Orang tua juga kan bisa bertanya ada apa tapi kesanya kan aman-aman saja," ujarnya.

Selain itu aparat kampung sebagai perpanjangan tangan pemerintah daerah di tingkat kampung juga harus lebih berperan aktif dalam mengembangkan pendidikan di daerahnya. Salah satunya dengan mengontrol kehadiran guru-guru hingga kepala sekolah.

"Di Timika untuk buat satu kegiatan yang melibatkan guru-guru dan kepala sekolah itu mudah karena mereka lebih banyak di kota dibandingkan di kampung jadi kalau ada kegiatan mudah untuk kumpulkan mereka," tuturnya.

Lebih dari itu, menurut Hendio, Dinas Pendidikan Dasar sebagai instansi teknis yang membidangi pendidikan dasar seharusnya tegas untuk menegakan disiplin guru-guru, yaitu dengan menggunakan sistem "punishman and reward" (hukuman dan hadiah).

"Guru-guru yang mangkir dalam tugas karena alasan yang tidak jelas, dinas wajib memberikan hukuman misalnya dengan tidak membayar insentif mereka. Sementara itu untuk guru-guru yang rajin diberikan hadiah misalnya dengan memberikan insentif secara penuh," katanya.

Di sisi lain, Dispendasbud Mimika juga dituntut untuk mengevaluasi apa saja penyebab guru-guru tidak betah bertugas di sekolah-sekolah yang ada di pedalaman.

"Apakah sarana dan prasarana seperti rumah guru tersedia atau tidak, apakah guru bersangkutan sendiri tidak memiliki hati untuk mengajar di pedalaman atau masalah lain yang terkait," katanya.

Dari segi infrastruktur, Unicef Papua mendorong para aparat kampung di Mimika untuk turut ambil bagian dalam pembangunan pendidikan dengan memanfaatkan dana yang dikucurkan oleh pemerintah pusat dan daerah (DD dan ADD).

Menurut Hendio, dana yang ada di kampung juga dapat digunakan untuk memajukan pendidikan di kampung masing-masing misalnya digunakan untuk memperbaiki sarana dan prasarana sekolah yang rusak atau dengan membantu menyediakan alat tulis bagi siswa kampung tersebut.

Untuk itu, Unicef Papua pada beberapa pekan lalu melakukan pelatihan para aparat kampung tentang penyusunan program yang di dalamnya juga termasuk menganggarkan biaya untuk pengembangan pendidikan di kampung dan juga bagaimana cara menyusun laporan pertanggungjawaban keuangan kampung.

"Semua itu bisa terwujud jika kepala sekolah sendiri ada di tempat tugas, menyadari pentingnya perubahan dan terbuka dengan perubahan yang ada. Jika kepala sekolah sendiri jarang di tempat tugas ya mau bagaimana," katanya.

Ia berharap kedepannya pendidikan di Mimika lebih berkembang. Apalagi ditunjang dengan penganggaran yang cukup dari APBD Mimika yang dinilai sangat tinggi dibandingkan dengan kabupaten lain di Papua dan dana sebanyak 30 persen dari dana Otonomi Khusus Papua setiap tahunnya yang dikhususkan untuk pendidikan.(*)

Pewarta : Pewarta: Jeremias Rahadat
Editor :
Copyright © ANTARA 2024