Jakarta (Antara Papua) - Negeri ini bukan saja masih berkutat mengatasi kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dengan duafa atau jumlah penduduk usia produktif dengan tingkat pengangguran, namun juga kesenjangan dalam memaknai nilai-nilai kepahlawanan.
Ya, kalau kita melihat secara seksama lingkungan sekitar, dalam merenungi peringatan Hari Pahlawan 10 November ini, terjadi kesenjangan dalam menjiwai nilai-nilai kepahlawanan antara rakyat biasa dan elit tertentu.
Nilai-nilai kepahlawanan yang mengkristal dalam sikap dan perbuatan yang identik dengan sifat pahlawan, seperti keberanian berjuang demi kebenaran, rela berkorban, jujur, dan ksatria bagi kemaslahatan masyarakat atau orang banyak, tampak lebih jelas terlihat pada rakyat biasa dibandingkan dengan kalangan elit tertentu yang kerap dihinggapi dengan keserakahan demi memperkaya diri dan memenuhi ambisi pribadi atau kelompok walaupun melanggar hukum.
Semakin bertambahnya tokoh pada masa lalu yang mendapat gelar pahlawan nasional dari pemerintah setiap memperingati Hari Pahlawan 10 November semestinya makin menginspirasi bangsa ini untuk meneladani nilai-nilai kepahlawanan mereka dalam sikap dan perbuatan, tetapi yang terjadi di sekitar kita adalah kesenjangan nilai-nilai kepahlawanan itu antara rakyat biasa dan elit tertentu.
Bangsa ini tentu saja sangat bangga dengan apa yang telah dilakukan oleh Saur Marlina Manurung atau dikenal dengan Butet Manurung, alumnus Antropologi Universitas Padjadjaran, perempuan pemberani kelahiran Jakarta yang terpanggil meninggalkan kehidupan kota besar untuk tinggal di hutan belantara demi memajukan pendidikan bagi masyarakat Suku Kubu atau Suku Anak Dalam atau Orang Rimba yang tinggal di pedalaman Taman Nasional Bukit Dua Belas, Jambi.
Dedikasi dan sifat rela berkorban dalam diri penerima penghargaan Heroes of Asia Award 2004 dari majalah Time dan penghargaan Ramon Magsaysay dari Filipina ini telah membuat masyarakat terasing dan terpencil di Jambi itu menjadi melek huruf, pandai menulis dan berhitung, bahkan membuat sistem pendidikan Sokola Rimba yang kemudian diadaptasi oleh pemerintah sebagai model pendidikan bagi penduduk yang tinggal di daerah terpencil lain.
Kita juga mungkin masih ingat dengan Soleman Ngongo yang tanpa alas kaki (nyeker) masuk Istana Negara dan meninggalkan alas kakinya di luar hanya karena takut mengotori istana. Ia tetap lugu dan amat sederhana saat menerima Piala Kalpataru dari Presiden pada 7 Juni 2011. Soleman yang tinggal di Desa Tematana, Sumba Barat, NTT, berjasa selama 40 tahun menjaga dan merawat 240 pintu air primer, 140 sekunder, dan 160 pintu air tersier, sehingga kelestarian alam di daerahnya terjaga. Ia sama sekali tak menyangka apa yang telah diperbuatnya selama puluhan tahun mendapatkan penghargaan dari pemerintah.
Ahmad, remaja pemulung di Denpasar, Bali, yang pada Maret 2013 menemukan sekotak perhiasan emas terdiri atas gelang, kalung, dan cincin, senilai Rp300 juta dari bak truk sampah dan mengembalikan kepada pemiliknya, Desak Putu. Ia tidak tergiur memiliki barang yang bukan miliknya. Ia hidup dari memungut sampah yang kotor, tetapi hatinya mulia seperti emas.
Namun lihatlah sejumlah elit tertentu negeri ini yang justru mencerminkan nilai-nilai anti-kepahlawanan lantaran sikap dan perilakunya yang koruptif, serakah demi memperkaya diri dan melanggar hukum.
Dari kalangan kepala daerah saja, misalnya, sepanjang tahun ini telah terdapat delapan orang yang terseret kasus korupsi, menjadi tersangka, dan ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Mereka adalah Bupati Nganjuk Taufiqurrahman dalam suap perekrutan dan pengelolaan PNS, Bupati Kutai Kartenegara Rita Widyasari karena menerima gratifikasi, Wali Kota Cilegon Tubagus Iman Ariyadi dalam kasus suap perizinan mal senilai Rp1,15 miliar, Wali Kota Batu Eddy Rumpoko menerima suap pengadaan mebel Rp200 juta.
Lalu Bupati Batubara OK Arya Zulkarnaen karena suap dana infrastruktur Rp346 juta, Wali Kota Tegal Siti Masitha Soeparno dalam kasus suap dana kesehatan Rp300 juta, Bupati Pamekasan Achmad Syafii dalam suap dan korupsi dana desa Rp250 juta, dan Bupati Klaten Sri Hartini dalam jual beli jabatan senilai Rp2 miliar.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menahan secara terpisah lima tersangka kasus tindak pidana korupsi suap penerimaan hadiah atau janji oleh Bupati Nganjuk terkait perekrutan dan pengelolaan ASN/PNS (Aparatur Sipil Negara/Pegawai Negeri Sipil) di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur (Jatim) Tahun 2017.
Taufirrahman bahkan ditangkap bersama-sama dengan Kadisdik Kabupaten Nganjuk Ibnu Hajar, dan Kepala SMP Negeri 3 Ngronggot Suwandi, Kabag Umum RSUD Mokhammad Bisri, dan Kadis LH Harjanto.
Kasus megakorupsi pengadaan KTP elektronik tahun 2011-2013 senilai Rp5,9 triliun juga menyeret sejumlah nama dari kalangan elit pejabat dan politisi serta pengusaha.
Bahkan hanya untuk meraih predikat Wajar Tanpa Pengecualian dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sejumlah pejabat Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi bersama auditor dari BPK juga tersangkut kasus suap-menyuap sehingga menjadi tahanan KPK. Begitu pula sejumlah birokrat dari Kementerian Perhubungan yang terseret kasus suap.
Sejumlah mantan pejabat dari kalangan menteri dan lembaga negara seperti DPD dan Mahkamah Konstitusi, kepala daerah, politisi, pengacara, pengusaha, saat ini juga ada yang sedang menjalani vonis hukum di lembaga pemasyarakatan.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly pada pertengahan bulan lalu menyebutkan bahwa jumlah narapidana koruptor yang telah inkrah atau telah berkekuatan hukum tetap sepanjang tahun ini hingga Oktober 2017 mencapai 3.801 orang.
Korupsi dengan menggerogoti keuangan negara tentu saja menjadi salah satu penyebab kemiskinan dan permasalahan bangsa ini. Kita harus melakukan perbaikan untuk menjaga dengan baik generasi mendatang untuk bisa bersaing dengan negara lain.
Perilaku korupsi sama sekali hanya mementingkan keserakahan dan kepentingan diri sendiri serta kelompok, bukan kepentingan bagi bangsa dan negara. Terbalik 180 derajat dari nilai-nilai kepahlawanan.
Bangsa Indonesia sudah merdeka dari bangsa kolonial asing dan salah satunya adalah berkat perjuangan dan pengorbanan para pahlawan yang gigih, berani, ksatria, dan rela berkorban membela Tanah Air.
Namun bangsa ini belum terbebas dari penjajahan oleh bangsa sendiri yakni para koruptor yang menggerogoti negara dan sangat bertentangan dengan nilai-nilai kepahlawanan.
Perjuangan bangsa Indonesia untuk mencegah dan memberantas korupsi masih belum selesai karena masih banyak persoalan korupsi.
Revolusi mental yang didengung-dengungkan sejak pemerintahan Presiden Jokowi harus benar-benar terimplementasi dalam berbagai sendiri kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Bangsa ini membutuhkan pahlawan yang mampu melakukan revolusi mental, pahlawan antikorupsi, dalam peran serta membangun bangsa yang bersih dari korupsi di semua sektor kehidupan.
Memang benar bahwa figur pahlawan pada masa sekarang bukanlah mereka yang maju berjuang, berperang, atau menjinjing senjata melawan musuh di medan laga seperti pada masa lampah.
Pahlawan masa kini adalah mereka yang memiliki nilai-nilai kepahlawanan, seperti keberanian berjuang demi kebenaran, rela berkorban, jujur, dan ksatria bagi kemaslahatan masyarakat atau orang banyak, serta berperan aktif dalam mengatasi persoalan besar bangsa ini seperti pengentasan kemiskinan, pengangguran, peningkatan pendidikan, kesehatan, kesenjangan sosial, kesempatan berusaha, penyalahgunaan narkoba, masalah keadilan, dan tentu saja pencegahan serta pemberantasan korupsi.
Bangsa ini memikul tanggung jawab besar dalam melanjutkan perjuangan para pahlawan. Tanggung jawab yang besar itu bisa dilakukan dengan mengabdi bagi kemajuan bangsa ini dan turut serta dalam mengatasi permasalahan bangsa.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati para pahlawannya. Jangan sia-siakan pengorbanan nyawa mereka hanya untuk keserakahan dan ambisi pribadi.
Alhasil kalangan elit tertentu tampaknya mesti belajar banyak dari orang biasa yang telah berjasa bagi bangsa ini dan menginspirasi masyarakat dengan nilai-nilai kepahlawanan. (*)
Ya, kalau kita melihat secara seksama lingkungan sekitar, dalam merenungi peringatan Hari Pahlawan 10 November ini, terjadi kesenjangan dalam menjiwai nilai-nilai kepahlawanan antara rakyat biasa dan elit tertentu.
Nilai-nilai kepahlawanan yang mengkristal dalam sikap dan perbuatan yang identik dengan sifat pahlawan, seperti keberanian berjuang demi kebenaran, rela berkorban, jujur, dan ksatria bagi kemaslahatan masyarakat atau orang banyak, tampak lebih jelas terlihat pada rakyat biasa dibandingkan dengan kalangan elit tertentu yang kerap dihinggapi dengan keserakahan demi memperkaya diri dan memenuhi ambisi pribadi atau kelompok walaupun melanggar hukum.
Semakin bertambahnya tokoh pada masa lalu yang mendapat gelar pahlawan nasional dari pemerintah setiap memperingati Hari Pahlawan 10 November semestinya makin menginspirasi bangsa ini untuk meneladani nilai-nilai kepahlawanan mereka dalam sikap dan perbuatan, tetapi yang terjadi di sekitar kita adalah kesenjangan nilai-nilai kepahlawanan itu antara rakyat biasa dan elit tertentu.
Bangsa ini tentu saja sangat bangga dengan apa yang telah dilakukan oleh Saur Marlina Manurung atau dikenal dengan Butet Manurung, alumnus Antropologi Universitas Padjadjaran, perempuan pemberani kelahiran Jakarta yang terpanggil meninggalkan kehidupan kota besar untuk tinggal di hutan belantara demi memajukan pendidikan bagi masyarakat Suku Kubu atau Suku Anak Dalam atau Orang Rimba yang tinggal di pedalaman Taman Nasional Bukit Dua Belas, Jambi.
Dedikasi dan sifat rela berkorban dalam diri penerima penghargaan Heroes of Asia Award 2004 dari majalah Time dan penghargaan Ramon Magsaysay dari Filipina ini telah membuat masyarakat terasing dan terpencil di Jambi itu menjadi melek huruf, pandai menulis dan berhitung, bahkan membuat sistem pendidikan Sokola Rimba yang kemudian diadaptasi oleh pemerintah sebagai model pendidikan bagi penduduk yang tinggal di daerah terpencil lain.
Kita juga mungkin masih ingat dengan Soleman Ngongo yang tanpa alas kaki (nyeker) masuk Istana Negara dan meninggalkan alas kakinya di luar hanya karena takut mengotori istana. Ia tetap lugu dan amat sederhana saat menerima Piala Kalpataru dari Presiden pada 7 Juni 2011. Soleman yang tinggal di Desa Tematana, Sumba Barat, NTT, berjasa selama 40 tahun menjaga dan merawat 240 pintu air primer, 140 sekunder, dan 160 pintu air tersier, sehingga kelestarian alam di daerahnya terjaga. Ia sama sekali tak menyangka apa yang telah diperbuatnya selama puluhan tahun mendapatkan penghargaan dari pemerintah.
Ahmad, remaja pemulung di Denpasar, Bali, yang pada Maret 2013 menemukan sekotak perhiasan emas terdiri atas gelang, kalung, dan cincin, senilai Rp300 juta dari bak truk sampah dan mengembalikan kepada pemiliknya, Desak Putu. Ia tidak tergiur memiliki barang yang bukan miliknya. Ia hidup dari memungut sampah yang kotor, tetapi hatinya mulia seperti emas.
Namun lihatlah sejumlah elit tertentu negeri ini yang justru mencerminkan nilai-nilai anti-kepahlawanan lantaran sikap dan perilakunya yang koruptif, serakah demi memperkaya diri dan melanggar hukum.
Dari kalangan kepala daerah saja, misalnya, sepanjang tahun ini telah terdapat delapan orang yang terseret kasus korupsi, menjadi tersangka, dan ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Mereka adalah Bupati Nganjuk Taufiqurrahman dalam suap perekrutan dan pengelolaan PNS, Bupati Kutai Kartenegara Rita Widyasari karena menerima gratifikasi, Wali Kota Cilegon Tubagus Iman Ariyadi dalam kasus suap perizinan mal senilai Rp1,15 miliar, Wali Kota Batu Eddy Rumpoko menerima suap pengadaan mebel Rp200 juta.
Lalu Bupati Batubara OK Arya Zulkarnaen karena suap dana infrastruktur Rp346 juta, Wali Kota Tegal Siti Masitha Soeparno dalam kasus suap dana kesehatan Rp300 juta, Bupati Pamekasan Achmad Syafii dalam suap dan korupsi dana desa Rp250 juta, dan Bupati Klaten Sri Hartini dalam jual beli jabatan senilai Rp2 miliar.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menahan secara terpisah lima tersangka kasus tindak pidana korupsi suap penerimaan hadiah atau janji oleh Bupati Nganjuk terkait perekrutan dan pengelolaan ASN/PNS (Aparatur Sipil Negara/Pegawai Negeri Sipil) di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur (Jatim) Tahun 2017.
Taufirrahman bahkan ditangkap bersama-sama dengan Kadisdik Kabupaten Nganjuk Ibnu Hajar, dan Kepala SMP Negeri 3 Ngronggot Suwandi, Kabag Umum RSUD Mokhammad Bisri, dan Kadis LH Harjanto.
Kasus megakorupsi pengadaan KTP elektronik tahun 2011-2013 senilai Rp5,9 triliun juga menyeret sejumlah nama dari kalangan elit pejabat dan politisi serta pengusaha.
Bahkan hanya untuk meraih predikat Wajar Tanpa Pengecualian dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sejumlah pejabat Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi bersama auditor dari BPK juga tersangkut kasus suap-menyuap sehingga menjadi tahanan KPK. Begitu pula sejumlah birokrat dari Kementerian Perhubungan yang terseret kasus suap.
Sejumlah mantan pejabat dari kalangan menteri dan lembaga negara seperti DPD dan Mahkamah Konstitusi, kepala daerah, politisi, pengacara, pengusaha, saat ini juga ada yang sedang menjalani vonis hukum di lembaga pemasyarakatan.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly pada pertengahan bulan lalu menyebutkan bahwa jumlah narapidana koruptor yang telah inkrah atau telah berkekuatan hukum tetap sepanjang tahun ini hingga Oktober 2017 mencapai 3.801 orang.
Korupsi dengan menggerogoti keuangan negara tentu saja menjadi salah satu penyebab kemiskinan dan permasalahan bangsa ini. Kita harus melakukan perbaikan untuk menjaga dengan baik generasi mendatang untuk bisa bersaing dengan negara lain.
Perilaku korupsi sama sekali hanya mementingkan keserakahan dan kepentingan diri sendiri serta kelompok, bukan kepentingan bagi bangsa dan negara. Terbalik 180 derajat dari nilai-nilai kepahlawanan.
Bangsa Indonesia sudah merdeka dari bangsa kolonial asing dan salah satunya adalah berkat perjuangan dan pengorbanan para pahlawan yang gigih, berani, ksatria, dan rela berkorban membela Tanah Air.
Namun bangsa ini belum terbebas dari penjajahan oleh bangsa sendiri yakni para koruptor yang menggerogoti negara dan sangat bertentangan dengan nilai-nilai kepahlawanan.
Perjuangan bangsa Indonesia untuk mencegah dan memberantas korupsi masih belum selesai karena masih banyak persoalan korupsi.
Revolusi mental yang didengung-dengungkan sejak pemerintahan Presiden Jokowi harus benar-benar terimplementasi dalam berbagai sendiri kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Bangsa ini membutuhkan pahlawan yang mampu melakukan revolusi mental, pahlawan antikorupsi, dalam peran serta membangun bangsa yang bersih dari korupsi di semua sektor kehidupan.
Memang benar bahwa figur pahlawan pada masa sekarang bukanlah mereka yang maju berjuang, berperang, atau menjinjing senjata melawan musuh di medan laga seperti pada masa lampah.
Pahlawan masa kini adalah mereka yang memiliki nilai-nilai kepahlawanan, seperti keberanian berjuang demi kebenaran, rela berkorban, jujur, dan ksatria bagi kemaslahatan masyarakat atau orang banyak, serta berperan aktif dalam mengatasi persoalan besar bangsa ini seperti pengentasan kemiskinan, pengangguran, peningkatan pendidikan, kesehatan, kesenjangan sosial, kesempatan berusaha, penyalahgunaan narkoba, masalah keadilan, dan tentu saja pencegahan serta pemberantasan korupsi.
Bangsa ini memikul tanggung jawab besar dalam melanjutkan perjuangan para pahlawan. Tanggung jawab yang besar itu bisa dilakukan dengan mengabdi bagi kemajuan bangsa ini dan turut serta dalam mengatasi permasalahan bangsa.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati para pahlawannya. Jangan sia-siakan pengorbanan nyawa mereka hanya untuk keserakahan dan ambisi pribadi.
Alhasil kalangan elit tertentu tampaknya mesti belajar banyak dari orang biasa yang telah berjasa bagi bangsa ini dan menginspirasi masyarakat dengan nilai-nilai kepahlawanan. (*)