Timika (Antaranews Papua) - Tim dari Kantor Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Lokataru tengah melakukan investigasi terkait kasus PHK sepihak terhadap sekitar 8.300 karyawan yang bekerja PT Freeport Indonesia beserta kontraktor dan privatisasinya, di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.

Lokataru merupakan kantor hukum dan hak asasi manusia Indonesia yang bekerja untuk mewujudkan keterlibatan positif kolaboratif dan bermakna antara negara, masyarakat dan sektor swasta berdasarkan nilai-nilai hak asasi manusia dan asas-asas rule of law.

Misinya adalah memajukan akuntabilitas institusi publik dan swasta.

Lokataru bersifat independen, adil dan obyektif melayani demokrasi, hak asasi manusia dan supremasi hukum dengan memberantas penyalahgunaan kekuasaan, korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia.

Pendiri Lokataru, Haris Azhar di Timika, Sabtu, mengatakan selama tiga hari sejak Rabu (17/1) hingga Jumat (19/1) pihaknya melakukan investigasi kasus ini di Timika.



Pihaknya menemukan sejumlah fakta yang menunjukkan perlakuan pihak perusahaan maupun instansi pemerintah terhadap ribuan pekerja mogok yang dianggap mengundurkan diri jauh lebih buruk dari yang dilaporkan.

"Baik itu BPJS Kesehatan, Disnaker, itu semua jauh lebih buruk dalam memberikan informasi, pelayanan, dan tidak menunjukkan rasa tanggungjawab sama sekali," kata Haris.

Menurut Haris, ada sejumlah persoalan cukup serius diduga dilakukan oleh perusahaan terkait pelanggaran hukum dan HAM.

Disamping itu, fakta menunjukkan adanya kegagalan dan pelanggaran serius dilakukan oleh sejumlah instansi pemerintah, baik di tingkat kabupaten maupun pemerintah pusat.

Dugaan pelanggaran tersebut terdiri dari pemberlakuan "furlough" (merumahkan karyawan) oleh manajemen Freeport yang dinilai tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku di Indonesia.

Perusahaan dinilai menerapkan suatu konsepsi hukum yang berbasis Amerika sehingga tentu bertentangan dengan aturan Indonesia.

"Jika Freeport masih menganggap lokasi pertambangannya berada di wilayah Indonesia, sebaiknya hormati hukum di republik ini. Yang sangat kami sayangkan, orang-orang yang bertindak melakukan `furlough` itu adalah warga Negara Indonesia," katanya.

Ia juga menegaskan bahwa jika pemerintah membiarkan masalah ini tanpa penyelesaian dan ribuan karyawan diperlakukan sewenang-wenang, maka sebetulnya pemerintah sedang membiarkan dirinya diinjak-injak oleh sebuah konsepsi hukum yang diterapkan perusahaan asing di Indonesia.

Lembaga advokasi Hukum dan HAM Lokataru juga menemukan adanya pelanggaran hak-hak pekerja dalam hal berserikat, sebab ternyata kebijakan "furlough" itu diberlakukan kepada pekerja yang menjadi pengurus fungsional atau orang-orang yang berada di balik organisasi PUK SPKEP SPSI PT Freeport Indonesia.

"Furlough "itu diterapkan dengan dalih efisiensi atau bisnis karena keluarnya peraturan pemerintah sebagai bagian dari proses transisi kontrak karya menjadi IUPK.

Namun ruginya dimana, yang kita tahu keuntungan Freeport sangat besar, jutaan dolar di akhir tahun 2017, kata Haris Azhar.

Haris menilai PT Freeport menolak menjalankan peran kerja sama dengan serikat pekerja terkait kebijakan "furlough" yang diterapkan, yang semestinya didiskusikan dengan serikat pekerja terlebih dulu.

Padahal, jangankan merumahkan pekerja, merubah sif jam kerja saja harusnya dibicarakan dengan serikat pekerja, dan itu diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB).

Sementara dari data-data yang dikumpulkan, Lokataru juga menemukan dugaan pelanggaran hukum dan HAM dilakukan sejumlah instansi pemerintah.

Haris menyebut instansi tersebut seperti Disnaker Mimika, Polres Mimika, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri, Dirjen Penyelesaian Hubungan Industrial, Dirjen Pengawasan Ketenagakerjaan, Bank Papua dan Bank lain di Mimika dan BPJS Kesehatan di Mimika. (*)

Pewarta : Jeremias Rahadat
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024