Timika (Antaranews Papua) - Tokoh masyarakat Suku Amungme Yosep Yopi Kilangin meminta Presiden Joko Widodo memberi perhatian khusus terhadap masalah yang terjadi di Kampung Banti, Distrik Tembagapura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.
Yopi Kilangin, di Timika, Rabu, mengatakan saat ini ribuan masyarakat Banti hidup dalam kondisi ketakutan yang luar biasa sejak berlangsung operasi penumpasan Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata/KKSB oleh aparat TNI dan Polri.
"Keadaan masyarakat di Banti Tembagapura itu sekarang sangat-sangat menderita. Mereka terjepit di tengah-tengah, takut yang sana (KKSB) tapi juga takut yang sini (aparat TNI-Polri). Kehadiran Presiden dalam kunjungan kerja ke Papua, termasuk di Timika, saya kira penting untuk melihat hal ini," ujar Yopi.
Mantan Ketua DPRD Mimika periode 2004-2009 itu mengatakan masyarakat Suku Amungme di Banti, Tembagapura kini sangat rentan terhadap semua sangkaan, dugaan dan tuduhan oleh aparat keamanan bahwa mereka ikut membantu KKSB.
"Kehadiran pasukan TNI di sana untuk mencari orang-orang yang dicap sebagai TPN-OPM atau KKSB. Tapi mereka sulit menentukan orang-orang itu karena berkulit hitam dan berambut keriting, sama seperti masyarakat yang ada di sana. Akibatnya, semua dibabat," ujar Yopi.
Yopi mengatakan korban penembakan oleh pasukan TNI saat menyergap KKSB di Opitawak pada Rabu (6/4) atas nama Timotius Omabak merupakan Aparatur Sipil Negara/ASN yang bertugas di Kantor Pemerintah Distrik Tembagapura.
Saat ditembak, korban mengenakan pakaian dinas ASN dan hendak mengibarkan Bendera Merah Putih.
"Dia sedang berpakaian dinas dan mau mengibarkan bendera, tetapi ditembak. Sebetulnya tentara itu mau cari siapa. Apakah tentara bermusuhan dengan semua orang Papua. Tindakan ini sama sekali tidak dibenarkan," kata Yopi lagi.
Ia tidak mempermasalahkan jika kehadiran aparat TNI dan Polri untuk menjaga dan mengamankan perusahaan pertambangan PT Freeport Indonesia yang menjadi salah satu objek vital negara.
Hanya saja kehadiran aparat keamanan itu, tidak boleh sampai mengorbankan masyarakat asli Papua.
Selama berlangsung operasi penertiban KKSB di wilayah Banti, Kimbeli, Utikini, dan Opitawak, Distrik Tembagapura pekan lalu, katanya, terdapat sejumlah warga sipil menjadi korban.
Pada Selasa (10/4), warga Banti menemukan dua jenazah berjenis kelamin perempuan atas nama Mama Waker dan Mama Kogoya. Jenazah keduanya ditemukan di kali atau sungai.
Yopi juga mempertanyakan tindakan aparat TNI yang menggeledah rumah-rumah warga Kampung Banti dan membawa harta benda milik mereka.
"Rumah-rumah yang di pinggir itu digeledah oleh aparat, sampai harta milik masyarakat dibawa keluar seenaknya dari rumah-rumah itu. Ini ada apa, coba jelaskan kepada kami apa maksudnya. Kalau seperti ini, tentara bukan lagi hadir untuk melindungi rakyat, tapi malah rakyat dianggap sebagai musuh," ujarnya pula.
Putra almarhum Mozes Kilangin, tokoh pejuang Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Papua tahun 1969 itu berharap Presiden Jokowi mengevaluasi khusus pola operasi yang dilakukan aparat TNI dan Polri di Banti, Tembagapura yang telah mengorbankan banyak nyawa masyarakat tak berdosa itu.
Selama persoalan tersebut dibiarkan, Yopi khawatir daerah Banti Tembagapura dan sekitarnya tetap akan menjadi ladang perang antara pasukan TNI-Polri dengan KKSB.
Kepala Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih Kolonel Inf Muhammad Aidi beberapa waktu lalu mengatakan bisa saja warga sipil menjadi korban saat operasi penumpasan KKSB di wilayah Banti Tembapura, karena sengaja dijadikan tameng oleh KKSB.
Namun, agar korban dari berbagai pihak termasuk warga sipil bisa diminimalkan, maka TNI mengimbau KKSB segera turun gunung, menyerahkan senjata dan kembali bergabung dengan masyarakat lainnya dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pihak TNI memperkirakan jumlah pengikut KKSB pimpinan Sabinus Waker di wilayah Tembagapura itu sekitar 200-300 orang, dan memiliki senjata api standar militer sekitar 40-50 pucuk. (*)
Yopi Kilangin, di Timika, Rabu, mengatakan saat ini ribuan masyarakat Banti hidup dalam kondisi ketakutan yang luar biasa sejak berlangsung operasi penumpasan Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata/KKSB oleh aparat TNI dan Polri.
"Keadaan masyarakat di Banti Tembagapura itu sekarang sangat-sangat menderita. Mereka terjepit di tengah-tengah, takut yang sana (KKSB) tapi juga takut yang sini (aparat TNI-Polri). Kehadiran Presiden dalam kunjungan kerja ke Papua, termasuk di Timika, saya kira penting untuk melihat hal ini," ujar Yopi.
Mantan Ketua DPRD Mimika periode 2004-2009 itu mengatakan masyarakat Suku Amungme di Banti, Tembagapura kini sangat rentan terhadap semua sangkaan, dugaan dan tuduhan oleh aparat keamanan bahwa mereka ikut membantu KKSB.
"Kehadiran pasukan TNI di sana untuk mencari orang-orang yang dicap sebagai TPN-OPM atau KKSB. Tapi mereka sulit menentukan orang-orang itu karena berkulit hitam dan berambut keriting, sama seperti masyarakat yang ada di sana. Akibatnya, semua dibabat," ujar Yopi.
Yopi mengatakan korban penembakan oleh pasukan TNI saat menyergap KKSB di Opitawak pada Rabu (6/4) atas nama Timotius Omabak merupakan Aparatur Sipil Negara/ASN yang bertugas di Kantor Pemerintah Distrik Tembagapura.
Saat ditembak, korban mengenakan pakaian dinas ASN dan hendak mengibarkan Bendera Merah Putih.
"Dia sedang berpakaian dinas dan mau mengibarkan bendera, tetapi ditembak. Sebetulnya tentara itu mau cari siapa. Apakah tentara bermusuhan dengan semua orang Papua. Tindakan ini sama sekali tidak dibenarkan," kata Yopi lagi.
Ia tidak mempermasalahkan jika kehadiran aparat TNI dan Polri untuk menjaga dan mengamankan perusahaan pertambangan PT Freeport Indonesia yang menjadi salah satu objek vital negara.
Hanya saja kehadiran aparat keamanan itu, tidak boleh sampai mengorbankan masyarakat asli Papua.
Selama berlangsung operasi penertiban KKSB di wilayah Banti, Kimbeli, Utikini, dan Opitawak, Distrik Tembagapura pekan lalu, katanya, terdapat sejumlah warga sipil menjadi korban.
Pada Selasa (10/4), warga Banti menemukan dua jenazah berjenis kelamin perempuan atas nama Mama Waker dan Mama Kogoya. Jenazah keduanya ditemukan di kali atau sungai.
Yopi juga mempertanyakan tindakan aparat TNI yang menggeledah rumah-rumah warga Kampung Banti dan membawa harta benda milik mereka.
"Rumah-rumah yang di pinggir itu digeledah oleh aparat, sampai harta milik masyarakat dibawa keluar seenaknya dari rumah-rumah itu. Ini ada apa, coba jelaskan kepada kami apa maksudnya. Kalau seperti ini, tentara bukan lagi hadir untuk melindungi rakyat, tapi malah rakyat dianggap sebagai musuh," ujarnya pula.
Putra almarhum Mozes Kilangin, tokoh pejuang Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Papua tahun 1969 itu berharap Presiden Jokowi mengevaluasi khusus pola operasi yang dilakukan aparat TNI dan Polri di Banti, Tembagapura yang telah mengorbankan banyak nyawa masyarakat tak berdosa itu.
Selama persoalan tersebut dibiarkan, Yopi khawatir daerah Banti Tembagapura dan sekitarnya tetap akan menjadi ladang perang antara pasukan TNI-Polri dengan KKSB.
Kepala Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih Kolonel Inf Muhammad Aidi beberapa waktu lalu mengatakan bisa saja warga sipil menjadi korban saat operasi penumpasan KKSB di wilayah Banti Tembapura, karena sengaja dijadikan tameng oleh KKSB.
Namun, agar korban dari berbagai pihak termasuk warga sipil bisa diminimalkan, maka TNI mengimbau KKSB segera turun gunung, menyerahkan senjata dan kembali bergabung dengan masyarakat lainnya dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pihak TNI memperkirakan jumlah pengikut KKSB pimpinan Sabinus Waker di wilayah Tembagapura itu sekitar 200-300 orang, dan memiliki senjata api standar militer sekitar 40-50 pucuk. (*)