Jakarta (Antaranews Papua) -  Ahli hukum dari Universitas Riau Firdaus berpendapat Pasal 73 Ayat (3) UU MD3 tentang pemanggilan paksa oleh DPR dengan menggunakan pihak kepolisian memunculkan ketidakpastian hukum.

"Penggunaan sarana negara yang dimaksud dengan menggunakan kepolisian, ini ada ketidakpastian (hukum) yang saya pahami dalam konteks pasal itu," kata Firdaus di Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, Kamis.

Firdaus mengatakan hal tersebut ketika memberikan keterangan selaku ahli yang dihadirkan oleh salah satu pemohon dalam perkara pengujian UU MD3 di Mahkamah Agung.

Ia mengatakan bahwa potret wewenang dan tugas DPR RI dalam sistem ketatanegaraan Indonesia memang memiliki cakupan yang sangat luas, terutama dalam pengawasan.

"Namun, penggunaan alat negara (kepolisian) dalam pemanggilan paksa ini mampu menimbulkan kesewenang-wenangan karena apa saja yang terkait dengan kode etik dan lain sebagainya itu bisa disalahgunakan dengan bahasa tugas dan wewenang," kata Firdaus.

Kendati demikian, dia mengatakan bahwa pihaknya tidak menyatakan bahwa ketentuan a quo menjadi inkonstitusional, hanya saja penggunaan frasa "pemanggilan paksa" perlu ditempatkan dengan tepat sehingga tidak multitafsir dan memberikan kepastian hukum.

Pengujian UU MD3 di MK mencapai 10 perkara yang seluruhnya mempermasalahkan aturan "pemanggilan paksa" oleh DPR RI dengan menggunakan bantuan lembaga kepolisian.

Para pemohon menilai bahwa DPR bukanlah lembaga yudikatif yang mempunyai wewenang untuk memanggil, memeriksa, bahkan melakukan penyanderaan dengan bantuan kepolisian.

Selain itu, pemohon menganggap tidak ada kejelasan untuk perkara apa warga negara dapat dipanggil paksa dan dilakukan penyanderaan.

Menurut pemohon, segala tindakan yang dikategorikan "upaya paksa" harus diatur tata cara dan hukum acaranya melalui undang-undang.

Pada UU MD3, pemohon tidak menemukan tata cara dan hukum acara untuk upaya paksa tersebut.

Diberlakukannya pasal-pasal ini, menurut para pemohon berpotensi mengancam kebebasan berekspresi dan bertentangan dengan prinsip kesetaraan di muka hukum yang dijamin di dalam UUD.

Pasal-pasal yang diujikan juga dinilai para pemohon telah merugikan kepentingan hukum dan upaya dari pemohon untuk melakukan pemantauan serta penyampaian aspirasi guna mewujudkan terlaksananya sistem demokratisasi dalam tatanan kehidupan bernegara. (*)

Pewarta : Maria Rosari
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024