Jakarta (Antaranews Papua) - Konflik terkait penetapan Ibu Kota Kabupaten Maybrat, Papua Barat, telah diselesaikan melalui musyawarah meskipun telah ada putusan hukum dari Mahkamah Konstitusi (MK), kata Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.

"Diputuskan dengan perdamaian adat. Ketua MK, Pak Mahfud MD waktu itu memutuskan ini, Pak Akil Mochtar memutuskan itu. Padahal kan ibu kota kabupaten itu tidak menyangkut Undang-undang Dasar 1945, tetapi menyangkut tata kelola pemerintahan. Jadi harusnya lewat PP cukup, secara hukum 'clear'," kata Tjahjo Kumolo usai mendatangi Kantor Ombudsman di Jakarta, Rabu.

Lokasi Ibu Kota Maybrat diperebutkan oleh dua distrik, yaitu Ayamaru dan Kumurkek. Perdebatan tersebut disebabkan oleh janji politik pejabat daerah setempat apabila pemekaran Kabupaten Maybrat dikabulkan oleh Pemerintah.

"Ini karena ada janji politik, jadi begini 'kalau saya jadi bupati, ibu kota pindah di sini' dan kebetulan jadi. Tetapi mayoritas (masyarakat) mintanya di Kumurkek. Kan saya tidak bisa memutuskan, maka silakan tokoh adat kumpul semua, rapat, tiga bulan selesai, ada perdamaian," jelas Tjahjo.

Perebutan lokasi ibu kota tersebut dibawa masyarakat sekitar hingga ke tingkat Mahkamah Konsititusi. Pada 2009, MK menolak gugatan atas pengujian Undang-undang Nomor 13 Tahun 2009 tentang Pembentukan Kabupaten Maybrat.

Putusan MK Nomor 18/PUU-VII/2009 tanggal 24 September 2009, yang diketuai Mahfud MD tersebut, menolak permohonan uji materi karena para pemohon tidak memiliki posisi hukum terkait materi yang diujikan tersebut, sehingga Ibu Kota Maybrat tetap di Kumurkek.

Lima tahun kemudian, MK yang diketuai oleh Akil Mochtar kembali menerima permohonan uji materi undang-undang yang sama tentang Pembentukan Kabupaten Maybrat.

Kali ini, MK mengabulkan permohonan pemohon melalui Putusan Nomor 66/PUU-XI/2013 tanggal 19 September 2013, dengan memutuskan Ibu Kota Maybrat berada di Ayamaru.

Meskipun keputusan Kemendagri bertentangan dengan putusan MK, Tjahjo mengatakan hal itu sudah sesuai peraturan perundangan terkait pemerintahan daerah otonom.

"Alasannya 'simple', wong hakim MK belum pernah menginjak di Papua kok bisa memutuskan, ya kan repot juga," ujarnya.

Pewarta : Fransiska Ninditya
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024