Timika (Antaranews Papua) - Dinas Tenaga Kerja(Disnaker) Kabupaten Mimika, Provinsi Papua kini tengah memediasi kasus "furlough" atau merumahkan karyawan hingga batas waktu tidak tentu, lebih dari 300 karyawan PT Freeport Indonesia.
Kepala Disnaker Mimika, Ronny S Marjen, di Timika, Kamis, mengatakan, lebih dari 300 karyawan PT Freeport tersebut terkena kebijakan "furlough" oleh perusahaan saat pemerintah menghentikan izin ekspor konsentrat pada awal 2017.
Istilah "furlogh" diadopsi pihak Freeport dari National Labor Relation Act atau Undang Undang Hubungan Industrial di Ameriksa Serikat.
"Awalnya ada sekitar 1.300-an karyawan Freeport yang terkena furlough. Istilah itu tidak kita kenal dalam UU Ketenagakerjaan. Itu persepsi perusahaan, silakan. Dalam perkembangan, sebagian besar karyawan ada yang mengambil paket pensiun yang ditawarkan perusahaan. Sekarang tinggal sekitar 300-an karyawan yang belum jelas penyelesaiannya," katanya.
Menurut dia, Disnaker Mimika sudah empat kali melakukan mediasi kasus tersebut, namun sampai sekarang belum juga ada titik temu antarpara pihak terkait.
Pihak karyawan "furlough" telah mencatatkan permasalahan tersebut ke Disnaker Mimika dengan memberikan kuasa kepada dua kantor pengacara dan sebagian diwakilkan kepada Pengurus Unit Kerja Serikat Pekerja Kimia, Energi dan Pertambangan (PUK SP-KEP) SPSI PT Freeport periode sebelumnya.
"Ini ada tiga kelompok. Dua kelompok dengan jumlah 116 orang dan 77 orang memberikan kuasa kepada kantor pengacara. Sementara satu kelompok lainnya diwakilkan oleh pengurus PUK PT Freeport yang lama," ujar Ronny.
Ia menjelaskan, terdapat dua permasalahan ketenagakerjaan di lingkungan Freeport pada 2017 yaitu permasalahan "furlough" kepada 1.300-an karyawan dan mogok kerja yang dilakukan oleh sekitar 8.300 karyawan permanen Freeport ditambah karyawan perusahaan subkontraktornya.
"Sampai saat ini tidak ada status PHK kepada para karyawan tersebut. Yang ada yaitu furlough dan mogok kerja. Penanganan kedua persoalan ini pun berbeda," kata Ronny.
Untuk diketahui, manajemen Freeport menerapkan kebijakan "furlough" kepada 1.300-an karyawannya saat Pemerintah Indonesia tidak lagi memperpanjang izin ekspor konsentrat yang berakhir pada 10 Januari 2017.
Saat itu, Freeport yang mengaku merugi miliaran rupiah akibat tidak bisa mengekspor konsentratnya ke perusahaan smelting di luar negeri lalu merumahkan sementara hingga batas waktu tidak tentu kepada ribuan karyawannya.
Tindakan perusahaan yang secara sepihak merumahkan karyawan lantas mendapat reaksi penolakan oleh pihak PUK SP-KEP SPSI Freeport hingga berujung pada aksi mogok kerja sekitar 8.300 karyawan permanen Freeport dan perusahaan subkontraktornya sejak 1 Mei 2017 bertepatan dengan peringatan Hari Buruh Internasional (May Day).
Hingga kini permasalahan mogok kerja ribuan karyawan Freeport tersebut belum juga diselesaikan oleh pemerintah.
Kepala Disnaker Mimika, Ronny S Marjen, di Timika, Kamis, mengatakan, lebih dari 300 karyawan PT Freeport tersebut terkena kebijakan "furlough" oleh perusahaan saat pemerintah menghentikan izin ekspor konsentrat pada awal 2017.
Istilah "furlogh" diadopsi pihak Freeport dari National Labor Relation Act atau Undang Undang Hubungan Industrial di Ameriksa Serikat.
"Awalnya ada sekitar 1.300-an karyawan Freeport yang terkena furlough. Istilah itu tidak kita kenal dalam UU Ketenagakerjaan. Itu persepsi perusahaan, silakan. Dalam perkembangan, sebagian besar karyawan ada yang mengambil paket pensiun yang ditawarkan perusahaan. Sekarang tinggal sekitar 300-an karyawan yang belum jelas penyelesaiannya," katanya.
Menurut dia, Disnaker Mimika sudah empat kali melakukan mediasi kasus tersebut, namun sampai sekarang belum juga ada titik temu antarpara pihak terkait.
Pihak karyawan "furlough" telah mencatatkan permasalahan tersebut ke Disnaker Mimika dengan memberikan kuasa kepada dua kantor pengacara dan sebagian diwakilkan kepada Pengurus Unit Kerja Serikat Pekerja Kimia, Energi dan Pertambangan (PUK SP-KEP) SPSI PT Freeport periode sebelumnya.
"Ini ada tiga kelompok. Dua kelompok dengan jumlah 116 orang dan 77 orang memberikan kuasa kepada kantor pengacara. Sementara satu kelompok lainnya diwakilkan oleh pengurus PUK PT Freeport yang lama," ujar Ronny.
Ia menjelaskan, terdapat dua permasalahan ketenagakerjaan di lingkungan Freeport pada 2017 yaitu permasalahan "furlough" kepada 1.300-an karyawan dan mogok kerja yang dilakukan oleh sekitar 8.300 karyawan permanen Freeport ditambah karyawan perusahaan subkontraktornya.
"Sampai saat ini tidak ada status PHK kepada para karyawan tersebut. Yang ada yaitu furlough dan mogok kerja. Penanganan kedua persoalan ini pun berbeda," kata Ronny.
Untuk diketahui, manajemen Freeport menerapkan kebijakan "furlough" kepada 1.300-an karyawannya saat Pemerintah Indonesia tidak lagi memperpanjang izin ekspor konsentrat yang berakhir pada 10 Januari 2017.
Saat itu, Freeport yang mengaku merugi miliaran rupiah akibat tidak bisa mengekspor konsentratnya ke perusahaan smelting di luar negeri lalu merumahkan sementara hingga batas waktu tidak tentu kepada ribuan karyawannya.
Tindakan perusahaan yang secara sepihak merumahkan karyawan lantas mendapat reaksi penolakan oleh pihak PUK SP-KEP SPSI Freeport hingga berujung pada aksi mogok kerja sekitar 8.300 karyawan permanen Freeport dan perusahaan subkontraktornya sejak 1 Mei 2017 bertepatan dengan peringatan Hari Buruh Internasional (May Day).
Hingga kini permasalahan mogok kerja ribuan karyawan Freeport tersebut belum juga diselesaikan oleh pemerintah.