Jayapura (Antaranews Papua) - Yayasan Intsia yang bergerak di bidang lingkungan hidup bersama mahasiswa asal wilayah adat Mamta, Mee Pago dan La Pago menggelar diskusi bersama tentang tanah Papua dalam ruang investasi, masa depan kawasan konservasi dan posisi masyarakat adat.

Diskusi yang digelar di gedung pertemuan P3W, Padang Bulan, Distrik Abepura, Kota Jayapura, Kamis, dihadiri oleh 20 mahasiswa yang sedang menempuh kuliah dengan berbagai program dan jurusan bidang studi.

Dalam diskusi dengan menggunakan metode penggambaran dan tanya jawab itu terungkap sejumlah hal terkait pemanfaatn ruang invetasi, kawasan konservasi dan posisi masyarakat adat.

Permasalah tersebut mulai dari maraknya jual beli tanah ulayat yang menimbulkan pro dan kontra, penebangan pohon dan olahannya, penambangan emas tradisional hingga pengajuan izin bagi perusahaan-perusahan yang menggunakan cara-cara tidak elegan.

"Bahkan ada ondoafi atau pemilik hak ulayat yang enggan tanda tangan surat pelepasan adat, tetapi kemudian diajak ke Jakarta, kemudian langsung berubah sikap dan menyetujui izin tersebut," kata Nelson Alle, mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ) asal Kabupaten Mamberamo Raya.

Mengenai hak ulayat di Kabupaten Keerom, di beberapa kampung juga ditemui ada lahan yang sudah berpindah tangan, tetapi ada juga yang tidak seperti di Towe Hitam dan sekitarnya, namun sudah ada perusahaan yang sedang berinvestasi.

"Kami mengusulkan agar lahan-lahan itu tidak dijual oleh pemilik hak ulayat, tetapi disewakan saja, karena harus memikirkan masa depan anak cucu," kata Yakobus Ibe, mahasiswa Universitas Cenderawasih (Uncen) asal Kabupaten Keerom.

Di Yahukimo dan Mamberamo ada penambangan emas tradisional yang menggunakan alat-alat yang bisa dikatakan sudah cukup canggih, termasuk penggunaan zat-zat terlarang seperti mercury.

"Di Yahukimo bahkan sudah ada seperti perkampungan yang kesehariannya hanya menambang saja dengan menggunakan mercury yang tidak larut dalam air dan bisa berdampak pada lingkungan, sudah pasti ikan mati," kata Julian A Puhili mahasiswa Uncen, asal Sentani, Kabupaten Jayapura.

Menurut Julian yang pernah ikut survey geologi ke sejumlah daerah, ?maraknya penambangan tradisional itu bisa beroperasi dengan leluasa tidak lepas dari campur tangan pemerintah yang kurang memperhatikan soal Amdal.

"Solusinya semua pihak harus peduli, duduk bersama diskusi bagaimana mencari jalan keluar terbaik, jangan sampai warga jadi korban. Di Mamberamo juga sama dengan Yahukimo, banyak pendulang tradisional, satu ons emas bisa puluhan juta, kira-kira Rp45 juta, kalau tidak salah," kata Julian.

Manager Program Yayasan Intsia Josep Watopa mengatakan 60 persen masyarakat adat Papua masih bermukim di kawasan hutan, sementara di lahan dan kawasan hutan tentu akan mempengaruhi kehidupan masyarakat adat.

Karena itu, katanya, masyarakat perlu dan berhak mendapatkan informasi dan hak mendapatkan kepastian terkait hak ulayat miliknya, namun juga investasi ruang atas nama pembangunan adat mempengaruhi eksistensi dan pola hidup masyarakat setempat, termasuk keberlanjutan kawasan konservasi.

"Untuk itu kami gelar diskusi ini bersama mahasiswa dengan harapan bisa melahirkan ide-ide yang cemerlang, termasuk mengakomodir pendapat terkait persoalan lahan, hutan dan masyarakat adat," katanya.

Pewarta : Alfian Rumagit
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024