Timika (Antaranews Papua) - Tokoh muda Suku Kamoro di Kabupaten Mimika Leonardus Tumuka menyatakan prihatin dengan krisis pendidikan generasi muda Kamoro yang bermukim di pesisir selatan Papua.
Ditemui di Timika, Minggu, Leonardus mengatakan semenjak era 1990-an hingga sekarang tidak banyak lagi warga Suku Kamoro yang mengenyam pendidikan tinggi hingga jenjang universitas.
Kondisi itu terjadi, katanya, lantaran belum adanya kesadaran para orang tua untuk menyekolahkan putra-putri mereka.
"Orang Kamoro mungkin termasuk orang-orang pertama Papua yang mengenyam pendidikan melalui para misionaris Gereja Katolik. Dulu pada 1970-an sampai 1980-an ada banyak orang Kamoro yang menjadi guru di berbagai daerah di Papua," katanya.
Sekarang, kata dia, hampir tidak ada lagi orang Kamoro yang menjadi guru. Kondisi pendidikan generasi muda Kamoro benar-benar sangat memprihatinkan.
Leonardus sendiri merupakan lulusan program studi doktoral pada University of the Philipines Los Banos, Filipina, tahun 2015 di bidang Community Development.
Kini, bekerja sebagai konsultan di Departemen Community Affairs PT Freeport Indonesia di Kuala Kencana, Timika dan separuh waktu menjadi staf pengajar pada Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Jambatan Bulan Timika.
Menurut dia, butuh kolaborasi yang baik antara pemerintah, swasta (PT Freeport Indonesia dan Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro/LPMAK) serta berbagai komponen yang lain untuk membangkitkan lagi semangat dinia pendidikan di kalangan suku Kamoro di Mimika.
Permasalahan yang dihadapi warga Suku Kamoro dewasa ini, katanya, sangat multi kompleks mulai dari kemampuan ekonomi rumah tangga yang minim, belum lagi soal kebiasaan adat dan budaya yang menghambat seseorang untuk bisa maju dan berkembang.
Salah satu contoh kasus, katanya, warga Kamoro memiliki kebiasaan hidup berpindah-pindah tempat (kapiri kame) untuk mengumpulkan bahan makanan yang disediakan oleh alam karena berpola hidup sebagai peramu.
"Ada banyak kebiasaan masayrakat Kamoro yang tidak begitu mudah dilepas, seperti kedekatan dengan anak. Anak selalu dibawa pergi dari kampung untuk mencari ikan dan memangkur sagu," katanya.
Komdisi ini, kata dia, mengakibatkan anak-anak tidak bisa sekolah. Seharusnya anak dibiarkan mandiri dan didorong oleh orang tua untuk pergi ke sekolah.
Leonardus mengatakan setiap orang tua Suku Kamoro harus menyadari bahwa pendidikan atau sekolah merupakan jalan bagi generasi muda untuk bisa menikmati hidup yang lebih baik di masa depan.
Para orang tua, katanya, harus mendorong dan memotivasi anak-anak mereka untuk sekolah.
Di sisi lain, katanya, warga Kamoro harus melepaskan diri dari ketergantungan pada bantuan dari pihak perusahaan (PT Freeport dan LPMAK) serta pemerintah.
"Yang terjadi di masyarakat kami yaitu adanya lompatan peradaban dari pola hidup masyarakat peramu ke peradaban modern atau industrialisasi dimana untuk bisa berhasil maka orang harus berkompetisi," ujarnya.
Dalam kondisi itu, masyarakat Kamoro belum siap karena mereka masih dimanjakan oleh alam dan terkekang dalam budaya yang begitu kental. Ini semua membutuhkan proses panjang untuk mengubah pola hidup dan cara pandang masyarakat Kamoro.
Dengan berbagai dukungan yang ditawarkan baik oleh Freeport, LPMAK maupun pemerintah, menurut Leonardus, seharusnya generasi muda Suku Kamoro dewasa ini lebih banyak yang berhasil dalam pendidikan mereka.
"Sekarang apa yang susah. Mau sekolah ada beasiswa dari Freeport dan LPMAK, belum lagi Pemda. Pertanyaannya, apakah anak-anak Kamoro dan Amungme mau memanfaatkan kesempatan yang ada untuk bisa sekolah atau tidak," katanya.
Menurut dia, semua berpulang pada kesadaran mereka sendiri termasuk kesadaran orang tua mereka. Bagi saya, kesempatan yang ada harus dapat digunakan sebaik-baiknya untuk membangun masa depan yang lebih baik.
Ia berharap para mahasiswa Mimika yang mendapatkan bantuan beasiswa dari Freeport, LPMAK dan Pemkab Mimika yang kini menempuh pendidikan di berbagai kota di Indonesia harus dapat memanfaatkan peluang dan kesempatan yang ada untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya.
Di berbagai kota studi tersebut, diharapkan para mahasiswa Mimika bisa hidup membaur atau berasimilasi dengan mahasiswa dari daerah lain sehingga bisa terjadi perubahan pola pikir dan tingkah laku mereka.
"Jangan sampai pergi kuliah di Jawa lalu tinggal bersama-sama mahasiswa asal Papua, minum mabuk sama-sama, buat kekacauan sama-sama, lalu kembali ke Papua sama-sama dengan membawa kegagalan. Itu tidak boleh terjadi," ujar Leonardus mengingatkan.
Ditemui di Timika, Minggu, Leonardus mengatakan semenjak era 1990-an hingga sekarang tidak banyak lagi warga Suku Kamoro yang mengenyam pendidikan tinggi hingga jenjang universitas.
Kondisi itu terjadi, katanya, lantaran belum adanya kesadaran para orang tua untuk menyekolahkan putra-putri mereka.
"Orang Kamoro mungkin termasuk orang-orang pertama Papua yang mengenyam pendidikan melalui para misionaris Gereja Katolik. Dulu pada 1970-an sampai 1980-an ada banyak orang Kamoro yang menjadi guru di berbagai daerah di Papua," katanya.
Sekarang, kata dia, hampir tidak ada lagi orang Kamoro yang menjadi guru. Kondisi pendidikan generasi muda Kamoro benar-benar sangat memprihatinkan.
Leonardus sendiri merupakan lulusan program studi doktoral pada University of the Philipines Los Banos, Filipina, tahun 2015 di bidang Community Development.
Kini, bekerja sebagai konsultan di Departemen Community Affairs PT Freeport Indonesia di Kuala Kencana, Timika dan separuh waktu menjadi staf pengajar pada Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Jambatan Bulan Timika.
Menurut dia, butuh kolaborasi yang baik antara pemerintah, swasta (PT Freeport Indonesia dan Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro/LPMAK) serta berbagai komponen yang lain untuk membangkitkan lagi semangat dinia pendidikan di kalangan suku Kamoro di Mimika.
Permasalahan yang dihadapi warga Suku Kamoro dewasa ini, katanya, sangat multi kompleks mulai dari kemampuan ekonomi rumah tangga yang minim, belum lagi soal kebiasaan adat dan budaya yang menghambat seseorang untuk bisa maju dan berkembang.
Salah satu contoh kasus, katanya, warga Kamoro memiliki kebiasaan hidup berpindah-pindah tempat (kapiri kame) untuk mengumpulkan bahan makanan yang disediakan oleh alam karena berpola hidup sebagai peramu.
"Ada banyak kebiasaan masayrakat Kamoro yang tidak begitu mudah dilepas, seperti kedekatan dengan anak. Anak selalu dibawa pergi dari kampung untuk mencari ikan dan memangkur sagu," katanya.
Komdisi ini, kata dia, mengakibatkan anak-anak tidak bisa sekolah. Seharusnya anak dibiarkan mandiri dan didorong oleh orang tua untuk pergi ke sekolah.
Leonardus mengatakan setiap orang tua Suku Kamoro harus menyadari bahwa pendidikan atau sekolah merupakan jalan bagi generasi muda untuk bisa menikmati hidup yang lebih baik di masa depan.
Para orang tua, katanya, harus mendorong dan memotivasi anak-anak mereka untuk sekolah.
Di sisi lain, katanya, warga Kamoro harus melepaskan diri dari ketergantungan pada bantuan dari pihak perusahaan (PT Freeport dan LPMAK) serta pemerintah.
"Yang terjadi di masyarakat kami yaitu adanya lompatan peradaban dari pola hidup masyarakat peramu ke peradaban modern atau industrialisasi dimana untuk bisa berhasil maka orang harus berkompetisi," ujarnya.
Dalam kondisi itu, masyarakat Kamoro belum siap karena mereka masih dimanjakan oleh alam dan terkekang dalam budaya yang begitu kental. Ini semua membutuhkan proses panjang untuk mengubah pola hidup dan cara pandang masyarakat Kamoro.
Dengan berbagai dukungan yang ditawarkan baik oleh Freeport, LPMAK maupun pemerintah, menurut Leonardus, seharusnya generasi muda Suku Kamoro dewasa ini lebih banyak yang berhasil dalam pendidikan mereka.
"Sekarang apa yang susah. Mau sekolah ada beasiswa dari Freeport dan LPMAK, belum lagi Pemda. Pertanyaannya, apakah anak-anak Kamoro dan Amungme mau memanfaatkan kesempatan yang ada untuk bisa sekolah atau tidak," katanya.
Menurut dia, semua berpulang pada kesadaran mereka sendiri termasuk kesadaran orang tua mereka. Bagi saya, kesempatan yang ada harus dapat digunakan sebaik-baiknya untuk membangun masa depan yang lebih baik.
Ia berharap para mahasiswa Mimika yang mendapatkan bantuan beasiswa dari Freeport, LPMAK dan Pemkab Mimika yang kini menempuh pendidikan di berbagai kota di Indonesia harus dapat memanfaatkan peluang dan kesempatan yang ada untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya.
Di berbagai kota studi tersebut, diharapkan para mahasiswa Mimika bisa hidup membaur atau berasimilasi dengan mahasiswa dari daerah lain sehingga bisa terjadi perubahan pola pikir dan tingkah laku mereka.
"Jangan sampai pergi kuliah di Jawa lalu tinggal bersama-sama mahasiswa asal Papua, minum mabuk sama-sama, buat kekacauan sama-sama, lalu kembali ke Papua sama-sama dengan membawa kegagalan. Itu tidak boleh terjadi," ujar Leonardus mengingatkan.