Sentani (Antaranews Papua) - Warga Kampung Abar, Distrik Ebungfauw, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua, terus mempertahankan produksi kerajinan gerabah yang telah digeluti para pendahulunya sejak puluhan tahun silam.

"Kerajinan gerabah ini sudah ada sejak nenek moyang zaman dahulu dan digeluti secara turun-temurun, hingga kini sudah 13 generasi yang masih membuat gerabah," kata Naftali Fele, Kepala Suku Kampung Abar di Sentani, Selasa.

Dia mengatakan awalnya pembuatan gerabah ini dilakukann oleh kaum laki-laki, dan sekitar tujuh sampai delapan generasi berikut mulai beralih ke kaum wanita.

"Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa laki-laki juga bisa buat gerabah, bapak juga bisa buat gerabah, bahan baku gerabah yakni tanah liat. Bapak-bapak bantu angkat ke rumah untuk dibuatkan gerabah," ujarnya.

Menurut dia, tanah liat itu merupakan sumber ekonomi masyarakat setempat, yang juga sumber untuk membayar maskawin berupa piring dan harta benda lainnya yang terbuat dari tanah liat.

"Jika pembayaran maskawin kurang, maka para orang tua dulu mengambil tanah liat lalu membuat gerabah dengan beragam bentuk yakni bentuk sempe, belanga untuk ikan, tempat simpan sagu, dan lainnya," ujarnya.

Selanjutnya, beragam bentuk gerabah yang dibuat ditukarkan dengan manik-manik berwarna hijau dan tomako batu/kapak batu yang selalu digunakan untuk membayar maskawin lalu dipakai untuk membayar maskawin.

"Jadi gerabah ini dipertahankan terus sampai sekarang, bahan baku yang diambil juga tidak pernah berkurang, terus ada untuk diambil guna membuat gerabah," ujarnya.

Tak hanya menjadi peganti alat tukar maskawin, kini gerabah dijadikan sumber pendapatan keluarga masyarakat Kampung Abar.

Harga gerabah relatif beragam, yang berukuran besar atau biasanya disebut sempen dijual dengan harga Rp500 ribu, gerabah sedang Rp200 ribu, dan gerabah kecil Rp100 ribu per unit.

Pewarta : Musa Abubar
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024