Jakarta (ANTARA) - Publik figur sejatinya merupakan orang-orang teladan yang diagung-agungkan oleh masyarakat berkat prestasi maupun akal budi mereka yang baik.

Namun, bagaimana jika mereka yang dipercaya untuk menjadi acuan atau role model bagi beberapa orang ternyata memberi luka dengan fakta yang tidak pernah terduga sebelumnya.

Mungkin 2019 adalah tahun yang sangat mengejutkan bagi dunia hiburan di Tanah Air. Sejak awal 2019, polisi telah menetapkan setidaknya lebih dari 10 artis Indonesia terkait dengan kasus penyalahgunaan narkoba, seperti Yanto Sari, Reva Alexa, dan Jupiter Fortissimo.

.Tidak berhenti di situ, bahkan pada bulan Juli 2019 masyarakat dikejutkan kembali dengan penangkapan komedian Tri Retno Prayudati atau Nunung Srimulat dan aktor Jefri Nichol karena terjerat barang haram tersebut.

Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono mengatakan pihaknya telah mengamankan komedian Nunung dan sang suami Jan Sambiran beserta satu klip sabu-sabu seberat 0,36 gram pada hari Jumat (19/7) sekitar pukul 13.15 WIB di rumahnya, Jalan Tebet Timur, Jakarta Selatan.

Hingga Rabu (24/7), kasus Nunung masih pada tahap menunggu hasil penilaian (assessment) yang disampaikan kepada Badan Narkotika Nasional (BNN) sebagai syarat penentuan rehabilitasi.

Belum sampai hati, tiba-tiba anggota Polres Metro Jakarta Selatan mengumumkan bahwa pihaknya baru saja menyiduk aktor muda yang sedang naik daun, Jefri Nichol, pada hari Senin (22/7) pukul 23.30 WIB di apartemen miliknya, kawasan Kemang, Jakarta Selatan, beserta 6,01 gram ganja yang sebelumnya disimpan dalam kulkas.

Dengan wajah terkulai lemas pucat pasi, Nunung dan Jefri terlihat pasrah ketika polisi menggeret mereka ke dalam jeruji besi. Tak mampu mengelak karena sudah ada bukti.

Hingga akhirnya Nunung mengakui bahwa dirinya telah mengosumsi narkoba sejak 20 tahun lalu, sedangkan Jefri baru merasakan lintingan ganja itu sebanyak dua kali. Jefri Nichol saat berada di Polres Jakarta Selatan, Rabu (24-7-2019). (Foto: PricaTriferna)

Di Balik Citra Baik

Kasus yang menimpa Nunung dan Jefri ini tentu sangat mengejutkan publik, mengingat sosok keduanya adalah panutan bagi banyak masyarakat Indonesia karena berhasil menjaga citra baiknya sebagai publik figur yang dikenal dengan segudang prestasi.

Nunung yang selalu terlihat wira-wiri di layar televisi dengan materi lelucon sederhana namun mampu membuat setiap orang terpingkal melihatnya, sukses membentuk citra baik bagi dirinya di depan masyarakat Indonesia.

Tak terkecuali, Jefri Nichol yang sedang memuncaki karier dengan memerankan karakter protagonis untuk puluhan judul layar lebar, ternyata mampu melekatkan karakter berbudi luhur itu dalam kehidupan di balik layar.

Bahkan, Jefri pun sempat dihelat sebagai duta antinarkoba beberapa waktu lalu. Dalam momen tersebut, dia menegaskan bahwa tidak akan mengizinkan tubuhnya untuk mendekati, apalagi mengosumsi.

Tentu banyak pro dan kontra maupun rasa percaya tidak percaya yang muncul dari berbagai pihak, mulai dari rekan seprofesi yang setiap hari bertemu mereka hingga masyarakat yang hanya bisa mengidolakan lewat layar kaca.

Seperti Faisal dan Chicco Jerikho yang merupakan teman syuting Jefri Nichol mengaku kaget dan tidak percaya dengan adanya kasus penyalahgunaan narkoba itu. Pribadi yang menyenangkan dan tenang menjadi salah satu alasan Faisal dalam mengelak hatinya untuk mempercayai jika Jefri adalah penikmat ganja.

Tidak jauh berbeda, rekan Nunung di grup Srimulat, seperti Tarzan dan Tessy, juga shock mendapat kabar buruk tersebut. Mereka tak percaya karena melihat fisik Nunung yang dinilai bertolak belakang dengan kondisi pecandu pada umumnya.

Berbagai respons para netizen di media sosial pun menggambarkan betapa kedua tokoh tersebut benar-benar sukses dikenal sebagai publik figur yang baik, mulai dari Twitter, YouTube, Instagram, sampai Facebook penuh nama mereka sebagai trending topic beberapa hari ini.

Pengamat sosial Universitas Nasional Nia Elvina menyebutkan fenomena publik figur menggunakan narkoba akan menimbulkan paradigma negatif dari masyarakat terhadap artis yang menjadi panutan tersebut.

Lebih dalam lagi, jika terlalu banyak publik figur, seperti artis atau politikus yang bermasalah dalam berbagai kasus, termasuk narkoba, masyarakat akan kehilangan sosok yang bisa dijadikan acuan.

“Perhatian masyarakat kepada publik figur itu akan memudar, bahkan dampak lebih dalam lagi adalah hilangnya panutan terhadap figur masyarakat,” kata Nia saat dihubungi ANTARA, Rabu.

Adanya kalangan publik figur seperti artis menggunakan narkoba adalah sebagai bentuk tingkat kompetisi yang tinggi, baik itu secara ekonomi maupun simbolik, sehingga membuat mereka stres.

Hal tersebut disampaikan oleh pengamat sosial Universitas Indonesia Devie Rahmawati. Ia menjelaskan bahwa kompetisi simbolik muncul akibat pengaruh teknologi dan medium penyampaian pesan yang beragam sehingga membuat orang pamer kehidupan yang menghadirkan ilusi dan fatamorgana.

“Dalam studi global (kompetisi ekonomi dan simbolik) menimbulkan stres sehingga menimbulkan seseorang untuk memiliki kehidupan yang sama nikmatnya seperti yang selama ini mereka bayangkan,” kata Devie.

Dukungan dan Doa

Publik figur bukanlah superhero yang tahan banting ketika dihempas masalah apa pun. Mereka hanya manusia biasa. Rasa bersalah dan jera pasti dirasakan olehnya, setidaknya ketika melihat orang sekitar kecewa dengan kelakuannya.

Di balik perih yang dirasakan oleh keluarga dan kerabat dekat, mereka tetap mendukung dengan sepenuh hati. Tidak melihat sedikit pun bagaimana orang terkasih yang menjadi tumpuan harapan itu merobek kepercayaan dalam sekejap.

Seperti Junita Eka Putri yang merupakan Ibunda dari Jefri Nichol. Ia lari terbirit menjauh dari kerumunan wartawan dengan wajah memerah menahan tangis yang tak lama lagi akan pecah.

Sepatah dua patah kata keluar dari mulutnnya. “Iya sehat dan baik,” ujarnya.

Dukungan terus mengalir diberikan oleh para rekan sesama artis yang turut prihatin dengan nasib Jefri dan Nunung. Mereka datang dengan berbagai pengaruh positif yang siap disalurkan kepada keduanya.

Semua itu dilakukan dengan harapan agar mereka bisa kuat dan tegar.

Pengamat sosial Universitas Indonesia Devie Rahmawati mengatakan bahwa orang-orang yang mengosumsi narkoba sangat memerlukan dukungan psikososial dari keluarga agar bisa pulih dari jerat candu narkoba.

"Hukuman tidak akan pernah cukup untuk membuat mereka sadar. Akan tetapi, yang justru harus kita berikan adalah dukungan psikososial," kata Devie.

Menurut dia, kecanduan benda adiktif seperti narkoba tidak cukup hanya diberikan sanksi yang kemudian diharapkan mampu membuat efek jera. Mereka perlu effort yang lebih kuat, yaitu effort sosial.

Dalam konteks menyadarkan para penyalahguna narkoba tersebut diperlukan intervensi untuk memulihkan gangguan psikologis, yakni melalui pendekatan psikososial keluarga yang berkaitan dengan interaksi emosi dan motivasi.

"Mereka jangan diberi stigma, tetapi harus dirangkul dan diperhatikan. Dukungan sosial diberikan untuk memastikan mereka tidak lagi tergoda mengonsumsi narkoba," ujarnya.

Selain Devie, ada juga pengamat sosial Universitas Nasional Nia Elvina yang menyatakan bahwa konsisten juga menjadi kunci utama bagi para pecandu narkoba. Mereka harus yakin dan konsisten dalam bersikap positif agar bisa mengembalikan kepercayaan dari masyarakat.

“Mengembalikan kepercayaan yang pudar itu butuh waktu panjang. Mereka bisa melakukan berbagai hal kebaikan meskipun itu kecil. Konsisten untuk bebas dari jerat narkoba itu wajib,” kata Nia.

Wajah tampan penuh kharisma Jefri sirna dalam sekejap. Sambil tertunduk malu, dia mengaku teramat menyesal karena telah berteman dengan barang lintingan itu.

“Yang saya ingin sampaikan kesalahan saya, kebodohan saya mencoba ganja, buat orang-orang jadikan saya contoh,” kata Jefri di Polres Jakarta Selatan, Rabu.

Nunung pun demikian. Bahkan sambil terisak menangis, dia mencoba meyakinkan kepada masyarakat bahwa dirinya menyesal dan memang sudah lama ingin berhenti dari ketergantungan obat terlarang itu.

Semua orang berhak mendapatkan kesempatan kedua. Jika tidak ada, ciptakanlah kesempatan itu.

Indonesia Darurat Narkoba

Tak mengherankan jika kasus penyalahgunaan narkoba yang menjerat pesohor hingga masyarakat biasa membuat Indonesia dalam darurat narkoba menjadi satu-satunya peringatan keras yang saat ini marak digencarkan.

Pengamat sosial Universitas Indonesia Devie Rahmawati mengatakan bahwa profil penyalahgunaan narkoba di Indonesia tidak hanya kalangan selebritis, tetapi juga anak-anak dan pekerja produktif.

“Data terkini yang rilis BNN justru profil pengguna narkoba terbesar adalah anak-anak dan pekerja produktif,” ujarnya.

Berdasarkan situs resmi BNN menyebutkan, dalam kurun waktu 1 bulan saja, pada bulan Mei 2019, telah mengamankan 639 kilogram ganja, sekitar 252,4 kilogram sabu-sabu, 73.029 butir pil ekstasi, 10.000 butir happy five, dan 9.900 butir pil PMMA.

Ratusan kilogram barang bukti tersebut didapat dari pengungkapan tujuh kasus yang berasal dari berbagai daerah seperti Cilegon, Berau Kalimantan Timur, Depok, Bekasi, Pekan Baru Riau, Aceh, dan Dumai Riau.

Bahkan, aksi terakhir yang dilakukan oleh BNN adalah pengungkapan aset senilai lebih dari Rp5 miliar yang berasal dari tindak pidana pencucian uang (TPPU) kasus penyelundupan 74 kilogram sabu-sabu asal Malaysia di Kabupaten Asahan dan Aceh Tamiang, Selasa (2/7).

Dengan diamankannya barang bukti tersebut, setidaknya 1,7 juta orang di Indonesia terselamatkan dari bahaya penyalahgunaan narkoba.

Anggota Fraksi PDIP Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Henry Yosodiningrat saat menjadi narasumber dalam diskusi Empat Pilar MPR RI bertema "Narkoba dan Kehancuran Kedaulatan NKRI" di Gedung Nusantara III, kompleks MPR/DPR/DPR RI, Jakarta, Jumat (8/3), mengatakan bahwa narkotika di Indonesia merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.

“Narkotika merupakan kejahatan yang dilakukan oleh sebuah sindikat bertujuan menghancurkan bangsa Indonesia dengan cara yang konsepsional dan sistematis. Tindakan pembusukan untuk generasi muda,” katanya.

Henry melanjutkan, saat ini upaya yang paling mungkin untuk dilakukan adalah merevisi Undang-Undang (UU) tentang Narkotika karena UU tersebut hanya berisi 155 pasal dengan 37 pasal yang memberi kewenangan kepada BNN. Kewenangan pada 118 pasal sisanya diberikan kepada Badan POM dan Kementerian Kesehatan.

Berbagai pihak yang selama ini terus berusaha memberantas kehadiran barang haram itu patut diapresiasi. Berkat kegigihannya yang tak pandang bulu menebas semua jaringan pembawa petaka tersebut seharusnya bisa menjadi suatu kegetiran tersendiri bagi mereka yang saat ini masih bersembunyi.

Seharusnya dari tertangkapnya para idola itu bisa menjadi pukulan keras bagi masyarakat agar tidak berani untuk mendekati narkoba dalam jarak seribu langkah kaki pun.

Kesadaran masyarakat memang semestinya dipupuk melalui berbagai sosialisasi dan peristiwa yang bisa dijadikan cermin kehidupan.

Tidak hanya menjadi efek jera bagi para tersangka, tetapi yang jelas memberikan rasa miris serta kecewa terhadap keluarga dan kerabat dekat, bahkan masyarakat yang melihat.

Diri sendiri adalah benteng pertama dan terakhir untuk kasus ini. Tergantung masing-masing orang akan membawa dirinya ke sudut sebelah mana. Memajukan bangsa dengan menyambung asa, atau membelenggu diri dengan ketergantungan yang tiada henti.

Pewarta : Astrid Faidlatul Habibah
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024