Jakarta (ANTARA) - Pakar hukum menyarankan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan gugatan perdata, menyusul putusan bebas Mahkamah Agung terhadap mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung dalam perkara penghapusan piutang Bantuan Langsung Bank Indonesia (BLBI) terhadap Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI).
"Saya tidak setuju JPU (jaksa penuntut umum) melakukan PK (Peninjauan Kembali), karena PK bukanlah terobosan hukum tapi noda hitam. Lalu bagaimana untuk mengembalikan kerugian keuangan negara. UU Pemberantasan Korupsi memberikan pintu bagi putusan bebas dan lepas, tidak menutup kemungkinan untuk gugatan perdata," kata Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada Eddy OS Hiarief, di Jakarta, Rabu.
Eddy menyampaikan hal tersebut dalam diskusi "Vonis Bebas Syafruddin Siapa Salah? KPK atau MA?" yang menghadirkan Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada Eddy OS Hiarief, pakar hukum administrasi negara Universitas Atmajaya Yogyakarta Rimawan Tjandra, Koordinator Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch Donal Fariz, penasihat hukum Sjamsul Nursalim Otto Hasibuan serta penasihat hukum Syafruddin Arsyad Temenggung, Hasbullah.
Pada 9 Juli 2019 lalu, Mahkamah Agung memutuskan Syafruddin tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi, sehingga memutuskan mantan Ketua BPPN itu lepas dari tahanan.
Vonis itu diambil karena ketua majelis Salman Luthan sependapat djudex factii pengadilan tingkat banding yaitu Syafruddin terbukti melakukan perbuatan pidana, namun hakim anggota I Syamsul Rakan Chaniago berpendapat bahwa perbuatan terdakwa merupakan perbuatan hukum perdata. Sedangkan hakim anggota II Mohamad Askin berpendapat bahwa perbuatan Syafruddin merupakan perbuatan hukum administrasi.
"Pasal 266 KUHAP mengunci jika MA memutuskan PK hanya ada empat putusan yaitu lepas dari tuntutan hukum, bebas, tidak menerima tuntutan penuntut umum dan menerapkan putusan pidana yang lebh ringan, masalahnya dalam putusan Syafruddin yaitu lepas dari tuntutan pidana tidak ada putusan yang lebih ringan dari itu, karena PK tidak boleh lebih berat dibanding putusan berkekuatan hukum tetap sebelumnya," ujar Eddy.
Eddy pun menjelaskan pengajuan PK adalah hak terpidana, bukan hak penuntut umum.
"Hak penuntut umum di kasasi adalah demi kepentingan hukum. Bila JPU mengajukan PK, maka JPU bertentangan dengan ketertiban hukum. Hanya ada 1 negara yang penuntut umumnya boleh PK, yaitu Jerman karena karena KUHAP Jerman ada yang berbunyi 'dalam rangka mencari kebenaran materiil penuntut umum mencari bukti termasuk yang meringankan, bahkan menghilangkan tuntutan terhadap terdakwa'. Di Indonesia tidak ada aturan tersebut karena logika penuntut umum pasti menghukum terdakwa," kata Eddy.
Opsi melimpahkan perkara ke ranah perdata diatur dalam pasal 32 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 32 ayat (1) berbunyi, "Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan. Sedangkan ayat (2) berbunyi, "Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara".
Praktik tersebut pernah dilakukan dalam perkara Yayasan Supersemar yang diselewengkan ke bisnis keluarga Cendana. Setelah proses hukum selama 11 tahun, Jamdatun berhasil melaksanakan pemulihan keuangan negara dari beberapa rekening deposito/giro/rekening milik Yayasan Supersemar/Yayasan Beasiswa Supersemar di bank dengan total keseluruhan sebesar Rp241,870 miliar dari total aset yang seharusnya disita adalah 315 juta dolar AS dan Rp139,438 miliar.
Dalam perkara BLBI ini, Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) milik Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim adalah salah satu bank yang dinyatakan tidak sehat dan harus ditutup saat krisis moneter pada 1998. BDNI mengikuti Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan pola perjanjian "Master Settlement Aqcuisition Agreement" (MSAA).
BPPN menentukan Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS) per 21 Agustus 1998 memiliki utang (kewajiban) sebesar Rp47,258 triliun yang terdiri dari Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai Rp35,6 triliun, dan sisanya adalah simpanan pihak ketiga maupun letter of credit.
Sedangkan aset yang dimiliki BDNI adalah sebesar Rp18,85 triliun termasuk di dalamnya utang Rp4,8 triliun kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) milik Sjamsul Nursalim yang awalnya disebut Sjamsul sebagai piutang padahal sebenarnya adalah utang macet (misrepresentasi).
Dari Rp4,8 triliun itu, sebanyak Rp1,3 triliun dikategorikan sebagai utang yang dapat ditagihkan (sustainable debt) dan dibebankan kepada petambak plasma dan yang tidak dapat ditagihkan (unsustainable debt) sebesar Rp3,5 triliun yang dibebankan kepada Sjamsul sebagai pemilik PT DCD dan PT WM berdasarkan keputusan KKSK pada 27 April 2000 yang dipimpin Kwik Kian Gie.
Namun berdasarkan keputusan KKSK pada 29 Maret 2001 yang dipimpin Rizal Ramli, utang yang dapat ditagih menjadi Rp1,1 triliun dan utang tidak dapat ditagih menjadi Rp1,9 triliun berdasarkan kurs Rp7.000/dolar AS. Sjamsul tetap menolak membayarkan utang tersebut.
Syafruddin lalu memerintahkan anak buahnya membuat verifikasi utang tersebut dan berkesimpulan seluruh utang "sustainable" dan "unsustainable" adalah Rp3,9 triliun dengan kurs Rp8.500/dolar AS pada 21 Oktober 2003 yang dilaporkan dalam rapat terbatas pada 11 Februari 2004, yaitu utang yang dapat ditagih ke petambak Rp1,1 triliun dan utang tak tertagih Rp2,8 triliun.
Bahkan, pada 13 Februari 2004 di bawah kepemimpinan Dorodjatun, Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) menyetujui penghapusan utang PT DCD dan PT WM, sehingga tinggal utang petambak senilai Rp1,1 triliun dengan rincian utang petambak menjadi Rp100 juta/petambak dikalikan 11 ribu petambak, dari tadinya utang Rp135 juta/petambak.
Belakangan saat dijual ke investor, dana untuk negara tinggal Rp220 miliar karena Rp880 miliar dipergunakan sebagai utang baru petambak, yaitu Rp80 juta/petambak, sehingga pendapatan negara yang seharusnya Rp4,8 triliun menjadi tinggal Rp220 miliar atau negara dirugikan Rp4,58 triliun berdasarkan audit investigasi BPK RI.
Terkait perkara ini, KPK juga sudah menetapkan Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim sebagai tersangka perkara yang sama.
"Saya tidak setuju JPU (jaksa penuntut umum) melakukan PK (Peninjauan Kembali), karena PK bukanlah terobosan hukum tapi noda hitam. Lalu bagaimana untuk mengembalikan kerugian keuangan negara. UU Pemberantasan Korupsi memberikan pintu bagi putusan bebas dan lepas, tidak menutup kemungkinan untuk gugatan perdata," kata Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada Eddy OS Hiarief, di Jakarta, Rabu.
Eddy menyampaikan hal tersebut dalam diskusi "Vonis Bebas Syafruddin Siapa Salah? KPK atau MA?" yang menghadirkan Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada Eddy OS Hiarief, pakar hukum administrasi negara Universitas Atmajaya Yogyakarta Rimawan Tjandra, Koordinator Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch Donal Fariz, penasihat hukum Sjamsul Nursalim Otto Hasibuan serta penasihat hukum Syafruddin Arsyad Temenggung, Hasbullah.
Pada 9 Juli 2019 lalu, Mahkamah Agung memutuskan Syafruddin tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi, sehingga memutuskan mantan Ketua BPPN itu lepas dari tahanan.
Vonis itu diambil karena ketua majelis Salman Luthan sependapat djudex factii pengadilan tingkat banding yaitu Syafruddin terbukti melakukan perbuatan pidana, namun hakim anggota I Syamsul Rakan Chaniago berpendapat bahwa perbuatan terdakwa merupakan perbuatan hukum perdata. Sedangkan hakim anggota II Mohamad Askin berpendapat bahwa perbuatan Syafruddin merupakan perbuatan hukum administrasi.
"Pasal 266 KUHAP mengunci jika MA memutuskan PK hanya ada empat putusan yaitu lepas dari tuntutan hukum, bebas, tidak menerima tuntutan penuntut umum dan menerapkan putusan pidana yang lebh ringan, masalahnya dalam putusan Syafruddin yaitu lepas dari tuntutan pidana tidak ada putusan yang lebih ringan dari itu, karena PK tidak boleh lebih berat dibanding putusan berkekuatan hukum tetap sebelumnya," ujar Eddy.
Eddy pun menjelaskan pengajuan PK adalah hak terpidana, bukan hak penuntut umum.
"Hak penuntut umum di kasasi adalah demi kepentingan hukum. Bila JPU mengajukan PK, maka JPU bertentangan dengan ketertiban hukum. Hanya ada 1 negara yang penuntut umumnya boleh PK, yaitu Jerman karena karena KUHAP Jerman ada yang berbunyi 'dalam rangka mencari kebenaran materiil penuntut umum mencari bukti termasuk yang meringankan, bahkan menghilangkan tuntutan terhadap terdakwa'. Di Indonesia tidak ada aturan tersebut karena logika penuntut umum pasti menghukum terdakwa," kata Eddy.
Opsi melimpahkan perkara ke ranah perdata diatur dalam pasal 32 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 32 ayat (1) berbunyi, "Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan. Sedangkan ayat (2) berbunyi, "Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara".
Praktik tersebut pernah dilakukan dalam perkara Yayasan Supersemar yang diselewengkan ke bisnis keluarga Cendana. Setelah proses hukum selama 11 tahun, Jamdatun berhasil melaksanakan pemulihan keuangan negara dari beberapa rekening deposito/giro/rekening milik Yayasan Supersemar/Yayasan Beasiswa Supersemar di bank dengan total keseluruhan sebesar Rp241,870 miliar dari total aset yang seharusnya disita adalah 315 juta dolar AS dan Rp139,438 miliar.
Dalam perkara BLBI ini, Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) milik Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim adalah salah satu bank yang dinyatakan tidak sehat dan harus ditutup saat krisis moneter pada 1998. BDNI mengikuti Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan pola perjanjian "Master Settlement Aqcuisition Agreement" (MSAA).
BPPN menentukan Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS) per 21 Agustus 1998 memiliki utang (kewajiban) sebesar Rp47,258 triliun yang terdiri dari Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai Rp35,6 triliun, dan sisanya adalah simpanan pihak ketiga maupun letter of credit.
Sedangkan aset yang dimiliki BDNI adalah sebesar Rp18,85 triliun termasuk di dalamnya utang Rp4,8 triliun kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) milik Sjamsul Nursalim yang awalnya disebut Sjamsul sebagai piutang padahal sebenarnya adalah utang macet (misrepresentasi).
Dari Rp4,8 triliun itu, sebanyak Rp1,3 triliun dikategorikan sebagai utang yang dapat ditagihkan (sustainable debt) dan dibebankan kepada petambak plasma dan yang tidak dapat ditagihkan (unsustainable debt) sebesar Rp3,5 triliun yang dibebankan kepada Sjamsul sebagai pemilik PT DCD dan PT WM berdasarkan keputusan KKSK pada 27 April 2000 yang dipimpin Kwik Kian Gie.
Namun berdasarkan keputusan KKSK pada 29 Maret 2001 yang dipimpin Rizal Ramli, utang yang dapat ditagih menjadi Rp1,1 triliun dan utang tidak dapat ditagih menjadi Rp1,9 triliun berdasarkan kurs Rp7.000/dolar AS. Sjamsul tetap menolak membayarkan utang tersebut.
Syafruddin lalu memerintahkan anak buahnya membuat verifikasi utang tersebut dan berkesimpulan seluruh utang "sustainable" dan "unsustainable" adalah Rp3,9 triliun dengan kurs Rp8.500/dolar AS pada 21 Oktober 2003 yang dilaporkan dalam rapat terbatas pada 11 Februari 2004, yaitu utang yang dapat ditagih ke petambak Rp1,1 triliun dan utang tak tertagih Rp2,8 triliun.
Bahkan, pada 13 Februari 2004 di bawah kepemimpinan Dorodjatun, Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) menyetujui penghapusan utang PT DCD dan PT WM, sehingga tinggal utang petambak senilai Rp1,1 triliun dengan rincian utang petambak menjadi Rp100 juta/petambak dikalikan 11 ribu petambak, dari tadinya utang Rp135 juta/petambak.
Belakangan saat dijual ke investor, dana untuk negara tinggal Rp220 miliar karena Rp880 miliar dipergunakan sebagai utang baru petambak, yaitu Rp80 juta/petambak, sehingga pendapatan negara yang seharusnya Rp4,8 triliun menjadi tinggal Rp220 miliar atau negara dirugikan Rp4,58 triliun berdasarkan audit investigasi BPK RI.
Terkait perkara ini, KPK juga sudah menetapkan Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim sebagai tersangka perkara yang sama.