Jakarta (ANTARA) - Komisioner KPK Saut Situmorang mengatakan seharusnya revisi UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi sebaiknya dilakukan oleh anggota DPR 2019-2024.

"Lantik dulu anggota DPR-nya mari kita buka dari awal, dari naskah akademik," kata Saut Situmorang di gedung KPK Jakarta, Kamis.

Rapat paripurna DPR pada 3 September 2019 menyetujui usulan revisi UU yang diusulkan Badan Legislatif (Baleg) DPR yaitu usulan Perubahan atas UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).

Presiden lalu menandatangani surat presiden (surpres) revisi UU tersebut pada 11 September 2019 meski ia punya waktu 60 hari untuk mempertimbangkannya.

"Betul kita harus dikritik, betul kita harus di-challenge, siapa bilang KPK tidak pernah di-challenge? Praperadilan apa bukan challenge buat KPK? Jadi untuk saya tidak usah berdebat lagi, lanjutkan perang pikiran, rasio siapa yang benar di negara ini? Siapa yang berpikir logis di negara ini? Itu perlu kita evaluasi," tambah Saut.

"Sejak UU KPK dibuat sampai hari ini korupsi tetap extraordinary crime. Perilaku orang tidak berubah. Hampir setiap hari saya keliling Indonesia perilaku orang tidak berubah, oleh sebab itu kita harus sampaikan di UU KPK, APBN dapat berapa? Itu baru jelas," tegas Saut.

Pimpinan KPK sebelumnya sudah menyatakan menolak revisi UU KPK tersebut. Menurut Ketua KPK Agus Rahardjo, KPK berada di ujung tanduk bila rancangan tersebut jadi disahkan sebagai UU.

Sejumlah keberatan KPK terhadap RUU KPK tersebut adalah (1) pegawai KPK tidak lagi independen dan status pegawai tetap akan berubah dengan merujuk kepada UU Aparatur Sipil Negara (ASN), (2) KPK memiliki Dewan Pengawas dan menghapus penasihat karena dalam draf unsur KPK adalah pimpinan, Dewan Pengawas dan pegawai (3) KPK perlu minta izin kepada Dewan Pengawas dalam melakukan penyadapan, penyitaan dan penggeledahan.

Selanjutnya (4) penyelidik hanya boleh dari kepolisian, (5) tidak ada penyidik independen, (6) penuntutan KPK tidak lagi independen karena harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung, (7) Hilangnya kriteria penanganan kasus yang meresahkan publik, (8) KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan.

Kemudian (9) KPK hanya menangani tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU Tipikor, (10) Definisi penyelenggara negara dipersempit, (11) KPK tidak berwenang melakukan pendaftaran dan pemeriksaan LHKPN, (12) KPK hanya berwenang mengambil alih perkara dalam tahap penyidikan, (13) Kewenangan khusus penegakan hukum yang dimiliki KPK hanya dapat dilakukan pada tahap penyidikan, (14) Pimpinan KPK bukan lagi penyidik, penuntut umum dan penanggung jawab tertinggi KPK.

Masih ada (15) KPK harus mengikuti prosedur khusus jika memeriksa tersangka, (16) hasil penggeledahan dan penyitaan bisa dilelang tanpa mekanisme hukum yang jelas, (17) ketentuan peralihan tidak memberikan kepastian hukum.

Pewarta : Desca Lidya Natalia
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024