Jakarta (ANTARA) - Ketua Forum Komunikasi dan Aspirasi Anggota DPD-DPR RI Dapil Papua dan Papua Barat/For Papua Yorrys Raweyai meminta pemerintah pusat melibatkan lembaga formal dalam menangani persoalan yang masih terjadi di Papua dan Papua Barat.
Menurut anggota DPD RI asal Papua tersebut, penyelesaian masalah di Papua tidak bisa hanya diselesaikan dengan komunikasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, namun harus melibatkan lembaga formal seperti DPD dan DPR RI.
"Untuk masalah di Papua, kami meminta pemerintah pusat libatkan lembaga formal seperti DPD dan DPR RI karena kami adalah representasi rakyat," kata Yorrys di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat.
Baca juga: Bappenas : Pembangunan Papua butuh pendekatan baru
Dia mengatakan, langkah pemerintah pusat dalam menyelesaikan persoalan Papua cenderung "jalan sendiri", malah anggota DPD dan DPR RI lebih proaktif untuk menjadi terdepan dalam mengatasi persoalan.
Yorrys mencontohkan, DPD RI telah membuat Panitia Khusus (Pansus) Papua, untuk mencari akar persoalan di Papua sehingga akhirnya nanti bisa membuat konsep penyelesaian masalah secara komprehensif sesuai Nawacita Presiden Jokowi.
"Sebagai wadah, DPD dan DPR RI adalah lembaga formal yang diatur konstitusi. Dalam proses penyelesaian Papua, pemerintah pusat cenderung membuat kebijakan sendiri dengan komunikasi bersama daerah, sehingga lembaga formal tidak dilibatkan dengan aktif," ujarnya.
Yorrys mengatakan dinamika yang terjadi di Papua tidak terkesan dapat diredam meskipun Presiden Jokowi sudah 10 kali mengunjungi Papua termasuk daerah Nduga.
Baca juga: Mahfud: Fokus pendekatan kultural dan kemanusiaan dalam menangani Papua
Dia mengatakan, For Papua mendesak agar penyelesaian persoalan di Papua dilakukan melalui langkah komprehensif dengan pendekatan keadilan ekonomi-budaya, dan hukum.
"Misalnya tentang kasus terhadap soal isu rasis di Papua, banyak pemuda yang melakukan aksi unjuk rasa menentang rasisme justru ditahan dengan tuduhan makar," katanya.
Sekretaris For Papua Filep Wamafma mengatakan Pansus Papua DPD RI telah melakukan audiensi dengan berbagai pihak dan kesimpulan sementara yang diperoleh adalah Papua menjadi objek kebijakan negara yang belum berpihak dan berkeadilan untuk orang Papua.
Baca juga: Ma'ruf Amin: Pendekatan budaya diperlukan untuk selesaikan gejolak di Papua
Dia menjelaskan dalam kasus rasisme yang dialami warga Papua, seharusnya negara memberikan rasa adil dengan memberikan hukuman yang setimpal kepada pelaku ujaran rasisme untuk efek jera sehingga tidak ada warga negara yang terkotak-kotakan.
"Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) sudah final (bagi Papua) maka hak warga dan kewajiban warga negara melekat untuk Papua. Bintang Kejora jadi alasan pemberat untuk orang Papua dengan hukuman berat dengan dalil untuk efek jera, padahal itu keliru," ujarnya.
Dia menilai unjuk rasa menentang rasisme yang dilakukan masyarakat Papua merupakan perlawanan atas ketidakadilan yang diterima mereka sebagai warga negara.
Karena itu menurut dia, langkah menuntut keadilan itu jangan dituduhkan aksi makar dan jadikan Papua setara dengan semua warga negara sehingga tidak ada pengelompokan warga negara.
Menurut anggota DPD RI asal Papua tersebut, penyelesaian masalah di Papua tidak bisa hanya diselesaikan dengan komunikasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, namun harus melibatkan lembaga formal seperti DPD dan DPR RI.
"Untuk masalah di Papua, kami meminta pemerintah pusat libatkan lembaga formal seperti DPD dan DPR RI karena kami adalah representasi rakyat," kata Yorrys di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat.
Baca juga: Bappenas : Pembangunan Papua butuh pendekatan baru
Dia mengatakan, langkah pemerintah pusat dalam menyelesaikan persoalan Papua cenderung "jalan sendiri", malah anggota DPD dan DPR RI lebih proaktif untuk menjadi terdepan dalam mengatasi persoalan.
Yorrys mencontohkan, DPD RI telah membuat Panitia Khusus (Pansus) Papua, untuk mencari akar persoalan di Papua sehingga akhirnya nanti bisa membuat konsep penyelesaian masalah secara komprehensif sesuai Nawacita Presiden Jokowi.
"Sebagai wadah, DPD dan DPR RI adalah lembaga formal yang diatur konstitusi. Dalam proses penyelesaian Papua, pemerintah pusat cenderung membuat kebijakan sendiri dengan komunikasi bersama daerah, sehingga lembaga formal tidak dilibatkan dengan aktif," ujarnya.
Yorrys mengatakan dinamika yang terjadi di Papua tidak terkesan dapat diredam meskipun Presiden Jokowi sudah 10 kali mengunjungi Papua termasuk daerah Nduga.
Baca juga: Mahfud: Fokus pendekatan kultural dan kemanusiaan dalam menangani Papua
Dia mengatakan, For Papua mendesak agar penyelesaian persoalan di Papua dilakukan melalui langkah komprehensif dengan pendekatan keadilan ekonomi-budaya, dan hukum.
"Misalnya tentang kasus terhadap soal isu rasis di Papua, banyak pemuda yang melakukan aksi unjuk rasa menentang rasisme justru ditahan dengan tuduhan makar," katanya.
Sekretaris For Papua Filep Wamafma mengatakan Pansus Papua DPD RI telah melakukan audiensi dengan berbagai pihak dan kesimpulan sementara yang diperoleh adalah Papua menjadi objek kebijakan negara yang belum berpihak dan berkeadilan untuk orang Papua.
Baca juga: Ma'ruf Amin: Pendekatan budaya diperlukan untuk selesaikan gejolak di Papua
Dia menjelaskan dalam kasus rasisme yang dialami warga Papua, seharusnya negara memberikan rasa adil dengan memberikan hukuman yang setimpal kepada pelaku ujaran rasisme untuk efek jera sehingga tidak ada warga negara yang terkotak-kotakan.
"Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) sudah final (bagi Papua) maka hak warga dan kewajiban warga negara melekat untuk Papua. Bintang Kejora jadi alasan pemberat untuk orang Papua dengan hukuman berat dengan dalil untuk efek jera, padahal itu keliru," ujarnya.
Dia menilai unjuk rasa menentang rasisme yang dilakukan masyarakat Papua merupakan perlawanan atas ketidakadilan yang diterima mereka sebagai warga negara.
Karena itu menurut dia, langkah menuntut keadilan itu jangan dituduhkan aksi makar dan jadikan Papua setara dengan semua warga negara sehingga tidak ada pengelompokan warga negara.