Jakarta (ANTARA) - Pengamat Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia Makassar Fahri Bachmid menyatakan kepala daerah tidak berwenang menetapkan opsi karantina atau lockdown terkait dengan pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) secara sepihak karena tidak sejalan dengan undang-undang.

"Segala tindakan administratif pemerintah daerah mempunyai implikasi hukum yang serius di semua sektor lapangan hukum publik kendati kebijakan itu untuk menyelamatkan masyarakat," kata Fahri dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Ahad.
.
Berdasarkan desain hukum, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, kepala daerah tidak diberikan atribusi kewenangan untuk melakukan tindakan karantina wilayah, baik sebagian maupun keseluruhan.

Menurut dia, yang berwenang mengeluarkan bebijakan karantina adalah pemerintah pusat. Hal ini sesuai dengan UU Nomor 6 Tahun 2018, khususnya ketentuan dalam Pasal 11 Ayat (1).

Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa penyelengaraan kekarantinaan kesehatan pada kedaruratan kesehatan masyarakat dilaksanakan oleh pemerintah pusat secara cepat dan tepat berdasarkan besarannya ancaman, efektivitas, dukungan sumber daya, dan teknik operasional dengan mempertimbangkan kedaulatan negara, keamanan, ekonomi, sosial, dan budaya.

Ketentuan lebih lanjut diatur dalam Pasal 55 ayat (1) dan (2). Ayat (1) menyebutkan selama dalam karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.

Ayat (2) menjelaskan bahwa tanggung jawab pemerintah pusat dalam penyelenggaraan karantina wilayah dengan melibatkan pemerintah daerah dan pihak yang terkait.

"Begitu pun dengan kewenangan selain karantina wilayah yang menjadi domain serta rezim pemerintah pusat, yaitu kewenangan untuk melakukan pembatasan sosial berskala besar adalah menjadi kewenangan atribusi pemerintah pusat," kata Fahri menjelaskan.

Kewenangan pemerintah pusat lainnya, lanjut dia, sesuai amanat UU No. 6/2018, khususnya ketentuan Pasal 59 Ayat (1) yang menyebutkan bahwa pembatasan sosial berskala besar merupakan bagian dari respons kedaruratan kesehatan masyarakat.

Dalam Ayat (3) menyebutkan bahwa pembatasan sosial berskala besar paling sedikit meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan dan/atau, pembatasan kegiatan ditempat atau fasilitas umum.

Untuk pengaturan lebih teknis dan operasional atas ketentuan tersebut, kata dia, sesuai dengan UU Kekarantinaan Kesehatan, khususnya ketentuan Pasal 60 yang menyebutkan bahwa ketentuan lebih lenjut mengenai kriteria dan pelaksanaan karantina rumah, karantina wilayah, karantina rumah sakit, dan pembatasan sosial berskala besar diatur dengan peraturan pemerintah.

Meski demikian, lanjut Fahri, dari segi yuridis, terdapat sedikit masalah teknis terkait dengan berbagai hal kebijakan yang akan diambil oleh Pemerintah. Hal ini karena kriteria dan tata cara pelaksanaan karantina di berbagai tingkatan itu masih belum memiliki payung hukum, seperti yang diperintahkan oleh UU itu sendiri, seperti peraturan pemerintah (PP).

Menurut dia, sebaiknya Presiden secepatnya menetapkan PP tentang kriteria dan pelaksanaan karantina sebab merupakan aturan derivatif yang bersifat expressive verbis untuk secepatnya  mengatasi keadaan darurat nasional saat ini. Dengan demikian, ada keseragaman dalam bertindak, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah.

Setelah ada PP, kata Fahri, tidak ada lagi kepala daerah yang mengambil langkah serta menafsirkan situasi sendiri-sendiri terkait dengan pencegahan pandemi COVID-19.

Karena situasi yang sudah sangat mendesak serta genting seperti ini, Fahri meminta Presiden secepatnya mengambil langkah serta merespons cepat dan tepat dengan menetapkan PP yang lebih operasional sesuai dengan amanat UU Kekarantinaan Kesehatan.

"Peraturan pemerintah ini untuk selanjutnya dapat digunakan untuk kepentingan karantina sesuai dengan pertimbangan yang terukur, baik secara nasional maupun pada wilayah-wilayah tertentu, sesuai dengan tingkat ancaman pendemi serta kriteria yang terukur," kata Fahri.

Pencegahan wabah ini, menurut dia, sedikit terlambat dan infrastruktur hukum vital sebagai alat rekayasa atau instrumen pengendali keadaan belum tersedia. Hal ini dikhawatirkan pola dan bentuk penanganan wabah ini nantinya menjadi sporadis dan tidak sistemik.

Menurut Fahri, idealnya negara dalam menanganan COVID-19 harus terstruktur, sistematis, dan terkendali sesuai dengan kaidah-kaidah International Health Regulations (IHR) Tahun 2005 tertanggal 15 Juni 2007 yang ditetapkan oleh Sidang Majelis Kesehatan Dunia mengenai kemampuan sistem surveilans epidemiologi.

Ia percaya bahwa secara mitigatif Presiden telah mempunyai sejumlah rencana cadangan untuk mengendalikan serta mengatasi keadaan ini beberapa waktu ke depan.

Atas dasar itulah dia berharap PP bisa segera keluar dalam minggu ini agar berbagai hambatan yang potensial terjadi dapat diminimalisasi sedemikian rupa, dan dipastikan bahwa negara harus hadir untuk melakukan berbagai tindakan di semua aspek kehidupan rakyatnya.

Pewarta : Fathur Rochman
Editor : Muhsidin
Copyright © ANTARA 2024