Semarang (ANTARA) -
Sejumlah pakar ilmu sosial diundang Ganjar dalam Rapat Penanganan COVID-19 di kantor Gubernur Jateng, Semarang, Senin, di antaranya Profesor Mudjahirin Thohir, Profesor Saratri Wilonoyudho, Agustina Sulastri, dan Annastasia Ediati.
Dari pakar tersebut, Ganjar mendengarkan sejumlah masukan tentang bagaimana cara agar sosialisasi kepada masyarakat bisa efektif, salah satunya adalah dengan memaksimalkan peran tokoh agama.
Semua masukan dari para pakar ilmu sosial itu ditampung Ganjar untuk dirangkum menjadi kebijakan dan masukan dari para pakar ilmu sosial itu dinilai sangat membantu pemerintah untuk meningkatkan kepedulian masyarakat akan protokol kesehatan.
"Memang kami ingin masifkan lagi soal sosialisasi pada masyarakat. Sekarang banyak masyarakat yang sudah tidak peduli sehingga butuh terobosan-terobosan baru. Kami mengundang para pakar ilmu sosial ini untuk mencari strategi yang tepat dalam memasifkan sosialisasi. Sosialisasi ini penting, karena kami ingin menekan terus penyebaran COVID-19 di masyarakat," kata Ganjar.
Para pakar, lanjut dia, berpendapat lebih baik mengedukasi masyarakat dengan cara memberikan penguatan pada cerita sukses, daripada pemidanaan.
"Saya sepakat dengan masukan itu," ujarnya.
Profesor Mudjahirin Thohir menyebut banyak masyarakat yang tidak peduli dengan pencegahan COVID-19 karena berbagai faktor, salah satunya keyakinan bahwa urusan mati itu ada di tangan Tuhan.
"Jadi, agar lebih efektif adalah penggerakan tokoh-tokoh agama sebagai garda terdepan sosialisasi pada masyarakat," katanya.
Sementara itu, psikolog Annastasia Ediati mengatakan banyak orang tidak patuh pada protokol kesehatan tergantung keyakinan subjektif bahwa dirinya kuat dan tidak akan terkena penyakit itu.
"Ini memang 'problem', kalau orang tidak takut ya tidak akan patuh pada protokol kesehatan, tapi jangan sekali-kali memberikan hukuman sebagai punishment karena itu membuat rakyat takut dan marah. Ini justru berbahaya karena bisa menurunkan imunitas dan tingkat kepercayaan publik pada pemerintah," ujarnya.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengumpulkan sejumlah pakar ilmu sosial guna membahas sosialisasi yang efektif kepada masyarakat terkait dengan penerapan protokol kesehatan dan adaptasi kebiasaan baru.
Sejumlah pakar ilmu sosial diundang Ganjar dalam Rapat Penanganan COVID-19 di kantor Gubernur Jateng, Semarang, Senin, di antaranya Profesor Mudjahirin Thohir, Profesor Saratri Wilonoyudho, Agustina Sulastri, dan Annastasia Ediati.
Dari pakar tersebut, Ganjar mendengarkan sejumlah masukan tentang bagaimana cara agar sosialisasi kepada masyarakat bisa efektif, salah satunya adalah dengan memaksimalkan peran tokoh agama.
Semua masukan dari para pakar ilmu sosial itu ditampung Ganjar untuk dirangkum menjadi kebijakan dan masukan dari para pakar ilmu sosial itu dinilai sangat membantu pemerintah untuk meningkatkan kepedulian masyarakat akan protokol kesehatan.
"Memang kami ingin masifkan lagi soal sosialisasi pada masyarakat. Sekarang banyak masyarakat yang sudah tidak peduli sehingga butuh terobosan-terobosan baru. Kami mengundang para pakar ilmu sosial ini untuk mencari strategi yang tepat dalam memasifkan sosialisasi. Sosialisasi ini penting, karena kami ingin menekan terus penyebaran COVID-19 di masyarakat," kata Ganjar.
Para pakar, lanjut dia, berpendapat lebih baik mengedukasi masyarakat dengan cara memberikan penguatan pada cerita sukses, daripada pemidanaan.
"Saya sepakat dengan masukan itu," ujarnya.
Profesor Mudjahirin Thohir menyebut banyak masyarakat yang tidak peduli dengan pencegahan COVID-19 karena berbagai faktor, salah satunya keyakinan bahwa urusan mati itu ada di tangan Tuhan.
"Jadi, agar lebih efektif adalah penggerakan tokoh-tokoh agama sebagai garda terdepan sosialisasi pada masyarakat," katanya.
Sementara itu, psikolog Annastasia Ediati mengatakan banyak orang tidak patuh pada protokol kesehatan tergantung keyakinan subjektif bahwa dirinya kuat dan tidak akan terkena penyakit itu.
"Ini memang 'problem', kalau orang tidak takut ya tidak akan patuh pada protokol kesehatan, tapi jangan sekali-kali memberikan hukuman sebagai punishment karena itu membuat rakyat takut dan marah. Ini justru berbahaya karena bisa menurunkan imunitas dan tingkat kepercayaan publik pada pemerintah," ujarnya.