Jakarta (ANTARA) - Memang sudah cukup lama Pak Jakob Oetama (JO) mengurangi aktivitas sosialnya karena alasan kesehatan. Masuk kantor hanya untuk beberapa jam. Terima tamu dibatasi. Sementara hadiri undangan sudah lama tidak dilakukan.
Kesehatan beliau menurun karena kondisi uzur beberapa tahun terakhir. Tapi, toh berita kepergiannya menghadap Sang Pencipta tetap mengejutkan. Kita merasakan ia pergi terlalu cepat. Padahal, ada banyak harapan tertumpang di pundaknya.
Tokoh pers itu menghembuskan napas terakhir Rabu (9/9) pukul 13.05 dalam usia kurang 20 hari menjelang 89 tahun. Pak JO lahir pada 29 September 1931. Ia meninggal di RS Mitra Keluarga, Kelapa Gading, Jakarta Utara, setelah dirawat beberapa hari di sana.
Indonesia kehilangan Pak JO. Kehilangan harapannya. Kehilangan kecemasannya. Persis seperti yang diucapkan Presiden Jokowi. Pak JO bukan hanya pemimpin group media yang sukses dan tokoh besar pers nasional, tetapi almarhum adalah salah satu guru bangsa Indonesia.
Saya tidak akan menguraikan lagi perjalanan panjang Pak JO dan kecintaannnya pada bangsa, yang sudah diketahui banyak orang.
Unsur "I"
Lebih 40 tahun saya mengenal Pak JO. Dihitung sejak perkenalan pertama sebagai peserta didik, pada program KLW (Karya Latihan Wartawan) PWI pada tahun 1977. Ia menatar untuk mata pelajaran Etika Pers. Bersama sahabat kentalnya almarhum Rosihan Anwar, almarhum P Swantoro, Pak JO aktif mengajar ratusan wartawan dalam program penataran PWI itu.
Usia tiga pendekar masa itu masih di bawah 50 tahun, masih amat segar. Pak JO sudah tokoh besar wartawan dan penerbit media sukses. Tetapi ia selalu mengutarakan kecemasannya.
Ia mencemaskan Indonesia, mencemaskan pers yang berpengaruh besar pada perjalanan bangsa. Ia khawatir kalau “tidak tahu diri“ (ini kata yang sering diucapkan Pak JO), niscaya kelak pers justru akan menjadi unsur pemantik kerusakan bangsa. Maka, ia pun mengusulkan meninjau rumus berita 5 W + 1 H.
“Harus ditambahkan satu kata lagi katanya. Apa itu? "I", sahut JO. I adalah kependekan dari impact atau dampak. Dampak suatu berita bagi masyarakat, dan sistem nilai kehidupannya.
Saya mencatat itu. Selalu mengenang itu. Merasakan itu sudah terjadi sejak lama. Sampai sekarang. Merasakan dampak sebuah berita atau informasi tanpa pertimbangan “I” sejak hari -hari pertama JO mencetuskan itu.
Apalagi setelah reformasi, di masa semua orang merasa berhak atas kebebasannya berpendapat. Lalu mendapatkan sarana penyebarannya melalui teknologi informasi. Akibat mengabaikan pertimbangan huruh "I" paling tidak lima tahun terakhir masyarakat mengalami keterbelahan.
Puluhan kali saya bertemu, berbincang dengan Pak JO setelah KLW itu. Ia tetap memendam kecemasannya. "Bung, apakah merasakan pedagang, politisi begitu mudah mengklaim diri sebagai tokoh pers hanya karena punya uang menerbitkan media. Yang parah, mereka menggunakan itu untuk mempengaruhi publik, menjungkirbalikkan tatanan nilai,” ucapnya lirih sambil berbisik, khawatir terdengar beberapa tamu lain di ruang kerjanya, suatu hari.
Pak JO menyebut beberapa nama dimaksud, dan faktanya memang demikian. Siapa? Saya tidak akan menyebutkan di sini. Ingat. Pak JO menyampaikan itu secara berbisik, pasti amanahnya tidak untuk di-publish. Sebagai muridnya dalam mata pelajaran etika pers, saya mematuhi itu. Sambil berharap, Anda sendiri sudah mengetahui siapa yang dimaksud.
Saya masih sering bertemu Pak JO bersama pengurus PWI Pusat beraudiensi dengan beliau. Terutama ketika menyampaikan undangan Hari Pers Nasional.
Tetapi yang paling saya kenang ketika sempat berbincang intens dengan beliau, bertiga dengan Mas Priyambodo, pengajar LPDS (Lembaga Pers Dr Sutomo) dan redaktur senior LKBN ANTARA. Tempatnya di Hotel Santika, di sela-sela acara tahlilan almarhum Rosihan Anwar, sembilan tahun lalu.
Mas Priyambodo menceritakan perkembangan media sosial dan media-media baru lainnya. Saya hampir menegur Mas Priyambodo ketika lanjut bicara teknis. Saya khawatir Pak JO tidak mudeng. Sepengetahuan saya, seperti halnya Pak Rosihan, Pak JO masih mengakrabi mesin ketik manual untuk menuliskan gagasan dan pikirannya.
Beliau sempat belajar menulis di komputer, namun sering hadapi masalah. Heh, ini lucu. Kalau menghadapi masalah teknis, Pak JO minta bantuan cucu. Tapi kalau itu terjadi pas cucu di sekolah, terpaksalah beliau menelepon kantor untuk minta bantuan tim monitoring.
Seperti yang saya alami awal-awal mengetik di komputer, bahkan sampai sekarang. Hambatan teknis itu sering mengganggu mood dan mengacaukan alur pikiran.
Namun, Pak JO tekun mengikuti uraian Mas Priyambodo yang memang ahli IT. Saat Mas Bob— panggilan akrab Priyambodo menyebut saya juga telah ikut menggunakan medsos, Pak JO menatap saya. “Ah, baru belajar Pak," saya menyahut cepat.
Saya hanya bercerita mengenai distribusi Tabloid C&R melalui aplikasi Scoop yang baru dimulai tahun itu. Dengan Scoop pembaca di mana pun dapat mengaksesnya. Kebetulan hari itu saya membawa Ipad. Saya langsung tunjukkan kepada Pak JO. "Bagus," sambut Pak JO spontan. Tidak lama kemudian Kompas bahkan membuat aplikasi sendiri untuk mendistribusikan media-medianya secara virtual.
Aplikasi itu tentulah tidak menyelesaikan substansi kecemasan Pak JO atas informasi yang disampaikan kepada publik tanpa “I”.
Tapi Tuhan rasanya sangat menyayangi Pak JO. Dia memberinya keadaan kesehatan menurun untuk melindungi beliau dari kegaduhan di media sosial.
Perhatikanlah informasi apa yang dominan di media sosial saat ini. Dengan smartphone, 175 juta warga negara Indonesia kini terhubung dengan internet dapat mengakses medsos. Di Eropa, di Amerika, serta warga negara maju lainnya, kini mereka kembali menggunakan ponsel biasa untuk menjaga ketenangan jiwanya.
Ponsel hanya digunakan memanggil dan menerima panggilan telepon. Diselingi dengan kirim pesan SMS. Mereka talak tiga dengan smartphone. Demi melindungi diri dari serbuan berbagai informasi.
Informasi tanpa “ I “ seperti anjuran Pak JO tampaknya sudah menjadi kredo usang di masa sekarang, juga oleh sebagian media mainstream, atau media konvensional.
Tuhan menjaga Pak JO dari pergaulan medsos-medsos yang sebagian besar informasinya memang sengaja diproduk untuk menjungkirbalikkan tata nilai di dalam masyarakat.
Paham jurnalisme bermakna yang ditanamkan Pak JO agar pers berfungsi mengawasi kekuasaan, sekarang sebagian justru dibangun untuk melindungi penumpukan dan penyimpangan kekuasaan. Hak rakyat untuk menyuarakan ketidakadilan kini dianggap sesuatu yang merongrong kewibawaan penguasa.
Berita bermakna untuk masyarakat kini berubah arah menjadi bermakna buat melanggengkan kekuasaan.
Sekali lagi beruntung Tuhan telah “mengistirahatkan” Pak JO beberapa lama dari kegaduhan informasi, sebelum memanggilnya pulang. Ia dibebaskan dari bebannya. Tuhan telah mengambil alih tanggung jawabnya.
Dan, kita percaya memang hanya Tuhan satu- satunya kekuatan yang bisa menyelesaikan karut marut yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Tidak bisa manusia biasa.
Selamat jalan Pak JO ke tempat lebih lapang, nyaman, tentram, dan indah di sisi-Nya.
*) Ilham Bintang adalah pendiri kelompok media Cek & Ricek (C&R), dan Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat.
Kesehatan beliau menurun karena kondisi uzur beberapa tahun terakhir. Tapi, toh berita kepergiannya menghadap Sang Pencipta tetap mengejutkan. Kita merasakan ia pergi terlalu cepat. Padahal, ada banyak harapan tertumpang di pundaknya.
Tokoh pers itu menghembuskan napas terakhir Rabu (9/9) pukul 13.05 dalam usia kurang 20 hari menjelang 89 tahun. Pak JO lahir pada 29 September 1931. Ia meninggal di RS Mitra Keluarga, Kelapa Gading, Jakarta Utara, setelah dirawat beberapa hari di sana.
Indonesia kehilangan Pak JO. Kehilangan harapannya. Kehilangan kecemasannya. Persis seperti yang diucapkan Presiden Jokowi. Pak JO bukan hanya pemimpin group media yang sukses dan tokoh besar pers nasional, tetapi almarhum adalah salah satu guru bangsa Indonesia.
Saya tidak akan menguraikan lagi perjalanan panjang Pak JO dan kecintaannnya pada bangsa, yang sudah diketahui banyak orang.
Unsur "I"
Lebih 40 tahun saya mengenal Pak JO. Dihitung sejak perkenalan pertama sebagai peserta didik, pada program KLW (Karya Latihan Wartawan) PWI pada tahun 1977. Ia menatar untuk mata pelajaran Etika Pers. Bersama sahabat kentalnya almarhum Rosihan Anwar, almarhum P Swantoro, Pak JO aktif mengajar ratusan wartawan dalam program penataran PWI itu.
Usia tiga pendekar masa itu masih di bawah 50 tahun, masih amat segar. Pak JO sudah tokoh besar wartawan dan penerbit media sukses. Tetapi ia selalu mengutarakan kecemasannya.
Ia mencemaskan Indonesia, mencemaskan pers yang berpengaruh besar pada perjalanan bangsa. Ia khawatir kalau “tidak tahu diri“ (ini kata yang sering diucapkan Pak JO), niscaya kelak pers justru akan menjadi unsur pemantik kerusakan bangsa. Maka, ia pun mengusulkan meninjau rumus berita 5 W + 1 H.
“Harus ditambahkan satu kata lagi katanya. Apa itu? "I", sahut JO. I adalah kependekan dari impact atau dampak. Dampak suatu berita bagi masyarakat, dan sistem nilai kehidupannya.
Saya mencatat itu. Selalu mengenang itu. Merasakan itu sudah terjadi sejak lama. Sampai sekarang. Merasakan dampak sebuah berita atau informasi tanpa pertimbangan “I” sejak hari -hari pertama JO mencetuskan itu.
Apalagi setelah reformasi, di masa semua orang merasa berhak atas kebebasannya berpendapat. Lalu mendapatkan sarana penyebarannya melalui teknologi informasi. Akibat mengabaikan pertimbangan huruh "I" paling tidak lima tahun terakhir masyarakat mengalami keterbelahan.
Puluhan kali saya bertemu, berbincang dengan Pak JO setelah KLW itu. Ia tetap memendam kecemasannya. "Bung, apakah merasakan pedagang, politisi begitu mudah mengklaim diri sebagai tokoh pers hanya karena punya uang menerbitkan media. Yang parah, mereka menggunakan itu untuk mempengaruhi publik, menjungkirbalikkan tatanan nilai,” ucapnya lirih sambil berbisik, khawatir terdengar beberapa tamu lain di ruang kerjanya, suatu hari.
Pak JO menyebut beberapa nama dimaksud, dan faktanya memang demikian. Siapa? Saya tidak akan menyebutkan di sini. Ingat. Pak JO menyampaikan itu secara berbisik, pasti amanahnya tidak untuk di-publish. Sebagai muridnya dalam mata pelajaran etika pers, saya mematuhi itu. Sambil berharap, Anda sendiri sudah mengetahui siapa yang dimaksud.
Saya masih sering bertemu Pak JO bersama pengurus PWI Pusat beraudiensi dengan beliau. Terutama ketika menyampaikan undangan Hari Pers Nasional.
Tetapi yang paling saya kenang ketika sempat berbincang intens dengan beliau, bertiga dengan Mas Priyambodo, pengajar LPDS (Lembaga Pers Dr Sutomo) dan redaktur senior LKBN ANTARA. Tempatnya di Hotel Santika, di sela-sela acara tahlilan almarhum Rosihan Anwar, sembilan tahun lalu.
Mas Priyambodo menceritakan perkembangan media sosial dan media-media baru lainnya. Saya hampir menegur Mas Priyambodo ketika lanjut bicara teknis. Saya khawatir Pak JO tidak mudeng. Sepengetahuan saya, seperti halnya Pak Rosihan, Pak JO masih mengakrabi mesin ketik manual untuk menuliskan gagasan dan pikirannya.
Beliau sempat belajar menulis di komputer, namun sering hadapi masalah. Heh, ini lucu. Kalau menghadapi masalah teknis, Pak JO minta bantuan cucu. Tapi kalau itu terjadi pas cucu di sekolah, terpaksalah beliau menelepon kantor untuk minta bantuan tim monitoring.
Seperti yang saya alami awal-awal mengetik di komputer, bahkan sampai sekarang. Hambatan teknis itu sering mengganggu mood dan mengacaukan alur pikiran.
Namun, Pak JO tekun mengikuti uraian Mas Priyambodo yang memang ahli IT. Saat Mas Bob— panggilan akrab Priyambodo menyebut saya juga telah ikut menggunakan medsos, Pak JO menatap saya. “Ah, baru belajar Pak," saya menyahut cepat.
Saya hanya bercerita mengenai distribusi Tabloid C&R melalui aplikasi Scoop yang baru dimulai tahun itu. Dengan Scoop pembaca di mana pun dapat mengaksesnya. Kebetulan hari itu saya membawa Ipad. Saya langsung tunjukkan kepada Pak JO. "Bagus," sambut Pak JO spontan. Tidak lama kemudian Kompas bahkan membuat aplikasi sendiri untuk mendistribusikan media-medianya secara virtual.
Aplikasi itu tentulah tidak menyelesaikan substansi kecemasan Pak JO atas informasi yang disampaikan kepada publik tanpa “I”.
Tapi Tuhan rasanya sangat menyayangi Pak JO. Dia memberinya keadaan kesehatan menurun untuk melindungi beliau dari kegaduhan di media sosial.
Perhatikanlah informasi apa yang dominan di media sosial saat ini. Dengan smartphone, 175 juta warga negara Indonesia kini terhubung dengan internet dapat mengakses medsos. Di Eropa, di Amerika, serta warga negara maju lainnya, kini mereka kembali menggunakan ponsel biasa untuk menjaga ketenangan jiwanya.
Ponsel hanya digunakan memanggil dan menerima panggilan telepon. Diselingi dengan kirim pesan SMS. Mereka talak tiga dengan smartphone. Demi melindungi diri dari serbuan berbagai informasi.
Informasi tanpa “ I “ seperti anjuran Pak JO tampaknya sudah menjadi kredo usang di masa sekarang, juga oleh sebagian media mainstream, atau media konvensional.
Tuhan menjaga Pak JO dari pergaulan medsos-medsos yang sebagian besar informasinya memang sengaja diproduk untuk menjungkirbalikkan tata nilai di dalam masyarakat.
Paham jurnalisme bermakna yang ditanamkan Pak JO agar pers berfungsi mengawasi kekuasaan, sekarang sebagian justru dibangun untuk melindungi penumpukan dan penyimpangan kekuasaan. Hak rakyat untuk menyuarakan ketidakadilan kini dianggap sesuatu yang merongrong kewibawaan penguasa.
Berita bermakna untuk masyarakat kini berubah arah menjadi bermakna buat melanggengkan kekuasaan.
Sekali lagi beruntung Tuhan telah “mengistirahatkan” Pak JO beberapa lama dari kegaduhan informasi, sebelum memanggilnya pulang. Ia dibebaskan dari bebannya. Tuhan telah mengambil alih tanggung jawabnya.
Dan, kita percaya memang hanya Tuhan satu- satunya kekuatan yang bisa menyelesaikan karut marut yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Tidak bisa manusia biasa.
Selamat jalan Pak JO ke tempat lebih lapang, nyaman, tentram, dan indah di sisi-Nya.
*) Ilham Bintang adalah pendiri kelompok media Cek & Ricek (C&R), dan Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat.