Banda Aceh (ANTARA) - Akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh Dr Salami Mahmud MA berpendapat bahwa kecerdasan sosial seorang anak akan berkurang apabila terus-menerus beraktivitas di rumah tanpa berinteraksi dengan orang lain ditengah wabah COVID-19.
"Yang jelas kecerdasan sosialnya itu berkurang. Karena dia (anak) enggak bersosialisasi keluar, di rumah saja gitu," kata Salami di Banda Aceh, Selasa.
Pendapat Dekan Fakultas Psikologi UIN Ar-Raniry itu saat diminta pandangan terkait dampak psikologi dialami anak-anak yang harus belajar dari rumah secara daring, guna mencegah penularan COVID-19.
Dia menjelaskan, dampak seperti itu juga akan sangat terlihat pada anak-anak yang suka berpetualang, bermain, bepergian bersama teman untuk mengaplikasikan bakatnya.
Namun, kata Salami, dengan kondisi aktivitas anak hanya berada di rumah dan belajar dari rumah saja maka pengembangan keterampilan interpersonal anak menjadi terhambat.
"Beda di rumah saja dengan pergi bersama kawan, ada eksperimen apa gitu, ada kegiatan, yang jelas untuk mengasah kecerdasan sosial itu. Interpersonal skillnya sudah tersekat, itu efek kalau di rumah saja," katanya.
Menurut Doktor Salami, memang tidak bisa dimungkiri bahwa perkembangan kasus virus corona yang terus meningkat di Aceh membuat pemerintah belum bisa mengizinkan aktivitas belajar mengajar di sekolah secara bertatap muka.
Sebab itu, kata dia, orang tua perlu memperhatikan sikap dan tingkah laku yang dapat berdampak kepada pertumbuhan psikologis anak ketika mengawasi mereka belajar daring.
"Ada efek lain juga kalau anak di rumah terus, maaf dalam tanda kutip kalau model orang tuanya suka merepet, itu (merepet) saja yang diterima anak setiap hari, itu akan berpengaruh ke kepribadian dia, apalagi anak dalam masa tumbuh," ujarnya.
Belum lagi, lanjut Salami, anak-anak dihadapkan dengan tugas sekolah, dan orang tuanya yang harus mengajarkan. Namun, tidak semua orang tua paham metode mendidik, cara belajar anak, sehingga mendelegasikan anak ke sekolah.
"Secara psikologis kalau orang tua enggak paham tugas anak di sekolah ini, jadinya anak jadi beban, orang tua jadi beban, itu pantauan saya sementara. Memang enggak semua, ada juga orang tua senang anaknya di rumah," ujarnya.
Menurut Salami, kebijakan terkait sekolah apakah sudah dapat dilakukan secara bertatap muka atau belum, itu diserahkan kepada pemerintah dengan segala analisisnya, serta pertimbangan efek positif dan negatif.
Namun dalam kondisi belajar dari rumah karena pademi itu, maka orang tua harus menciptakan kebahagiaan anak selama di rumah. Katanya, dengan membuat anak bahagia maka akan berefek pada hormon seretonin dan endorfin yang membuat daya tahan tubuh meningkat.
"Tapi kalau stress maka hormon kortisol yang banyak keluar, yang membuat imunitas tubuh juga menurun, besar pengaruhnya itu, juga pengaruh psikologi ke kesehatan fisik nanti," ujarnya.
Maka dalam mengadapi pandemi ini hidupkan lagi kebahagaian dalam keluarga, dan sumber kebahagaiaan itu dari rasa syukur yang Allah berikan, katanya lagi.
"Yang jelas kecerdasan sosialnya itu berkurang. Karena dia (anak) enggak bersosialisasi keluar, di rumah saja gitu," kata Salami di Banda Aceh, Selasa.
Pendapat Dekan Fakultas Psikologi UIN Ar-Raniry itu saat diminta pandangan terkait dampak psikologi dialami anak-anak yang harus belajar dari rumah secara daring, guna mencegah penularan COVID-19.
Dia menjelaskan, dampak seperti itu juga akan sangat terlihat pada anak-anak yang suka berpetualang, bermain, bepergian bersama teman untuk mengaplikasikan bakatnya.
Namun, kata Salami, dengan kondisi aktivitas anak hanya berada di rumah dan belajar dari rumah saja maka pengembangan keterampilan interpersonal anak menjadi terhambat.
"Beda di rumah saja dengan pergi bersama kawan, ada eksperimen apa gitu, ada kegiatan, yang jelas untuk mengasah kecerdasan sosial itu. Interpersonal skillnya sudah tersekat, itu efek kalau di rumah saja," katanya.
Menurut Doktor Salami, memang tidak bisa dimungkiri bahwa perkembangan kasus virus corona yang terus meningkat di Aceh membuat pemerintah belum bisa mengizinkan aktivitas belajar mengajar di sekolah secara bertatap muka.
Sebab itu, kata dia, orang tua perlu memperhatikan sikap dan tingkah laku yang dapat berdampak kepada pertumbuhan psikologis anak ketika mengawasi mereka belajar daring.
"Ada efek lain juga kalau anak di rumah terus, maaf dalam tanda kutip kalau model orang tuanya suka merepet, itu (merepet) saja yang diterima anak setiap hari, itu akan berpengaruh ke kepribadian dia, apalagi anak dalam masa tumbuh," ujarnya.
Belum lagi, lanjut Salami, anak-anak dihadapkan dengan tugas sekolah, dan orang tuanya yang harus mengajarkan. Namun, tidak semua orang tua paham metode mendidik, cara belajar anak, sehingga mendelegasikan anak ke sekolah.
"Secara psikologis kalau orang tua enggak paham tugas anak di sekolah ini, jadinya anak jadi beban, orang tua jadi beban, itu pantauan saya sementara. Memang enggak semua, ada juga orang tua senang anaknya di rumah," ujarnya.
Menurut Salami, kebijakan terkait sekolah apakah sudah dapat dilakukan secara bertatap muka atau belum, itu diserahkan kepada pemerintah dengan segala analisisnya, serta pertimbangan efek positif dan negatif.
Namun dalam kondisi belajar dari rumah karena pademi itu, maka orang tua harus menciptakan kebahagiaan anak selama di rumah. Katanya, dengan membuat anak bahagia maka akan berefek pada hormon seretonin dan endorfin yang membuat daya tahan tubuh meningkat.
"Tapi kalau stress maka hormon kortisol yang banyak keluar, yang membuat imunitas tubuh juga menurun, besar pengaruhnya itu, juga pengaruh psikologi ke kesehatan fisik nanti," ujarnya.
Maka dalam mengadapi pandemi ini hidupkan lagi kebahagaian dalam keluarga, dan sumber kebahagaiaan itu dari rasa syukur yang Allah berikan, katanya lagi.