Tarakan, Kaltara (ANTARA) - Wajahnya cantik, usia masih muda namun yang tampak "menyeramkan" adalah sorot mata begitu tajam dan ada api amarah di sana.
"Lihat sorot matanya, ada amarah bukan? Ini adalah hasil doktrinisasi. Ia diberi pemahaman yang keliru tentang Islam," kata Suraiya Kamaruzzaman, seorang pembela hak-hak perempuan dari Aceh saat menampilkan sebuah foto wajah perempuan Indonesia yang bergabung dengan anggota terorisme ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah).
Dalam doktrinisasi itu, dicari diksi-diksi untuk membenci sehingga kemarahan itu terpancar dari sorot matanya.
Hal itu disampaikan saat jadi pembicara dalam kegiatan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kalimantan Utara di Tarakan, Kamis (15/10/2020).
Wanita secara alami lebih mudah terbawa emosional ketimbang logika. Sisi keunikan wanita ini ternyata dipelajari oleh ISIS untuk tujuan jahat.
Suraiya yang juga Presedium Balai Syura Aceh itu kemudian melanjutkan beberapa slide foto beberapa wanita Indonesia yang bergabung dengan kelompok terorisme seperti ISIS dengan sorot mata yang sama.
Karakter emosional menyebabkan wanita bisa memiliki totalitas dalam bekerja. Hal itu menyebabkan perempuan kini rentan direkrut jadi anggota terorisme.
"Jika sudah terdoktrin wanita bisa lebih radikal ketimbang pria," kata, tokoh perempuan penerima Penghargaan N-Peace 2012.
Alasan lain melibatkan wanita, pria lebih mudah terdeteksi sehingga kini agak susah melangkah untuk melakukan peran sebagai terorisme.
Sebagai pemikat, kelompok terorisme seperti ISIS kini menggunakan terminologi tentang kesetaraan wanita dengan pria dalam melaksanakan peran sebagai garda terdepan untuk melakukan aksi bom bunuh diri, termasuk melibatkan anaknya.
Sebelum ISIS, wanita di negara-negara Timur Tengah ditempatkan selalu di belakang namun ISIS berhasil memikat perempuan, yakni dengan menggunakan narasi atau dalil-dalil tentang kesetaraan wanita.
"Jika jihadis pria diiming-iming 72 bidadari maka jihadis wanita ditawarkan 40 tiket ke surga," ujarnya.
Karakter masyarakat Indonesia yang komunal sehingga tawaran 40 tiket ke surga sangat menarik.
Bayangan mendapat 40 tiket, ujarnya sangat menarik bagi karakter masyarakat yang komunal karena ia bisa membawa suami, anak, ibu, bapak, nenek dan keluarga lain ke surga.
Sejak deklarasi pendirian kekhalifahan ISIS oleh pemimpin kelompok Abu Bakar al Baghdadi bulan Juli 2014, terdapat setidaknya 18 kelompok ekstremis yang mendukung ISIS di Indonesia sebagian anggotanya wanita.
Acara digelar dengan tema "Pelibatan perempuan karena Perempuan agen perdamaian dalam pencegahan radikalisme dan terorisme melalui Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kalimantan Utara Bidang Perempuan dan Anak".
Peran perempuan
Karakter wanita yang yang secara alami punya ikatan emosional kedekatan dengan keluarga juga jadi "kelemahan".
"Ada sisi positif dan negatif, dari sisi positif, wanita bisa menjadi agen perubahan yang strategis, termasuk dalam melawan paham radikalisme atau kontra terorisme," ujarnya.
Kehadiran wanita sangat penting dalam melawan radikalisme dan terorisme dengan mengoptimalkan karakter mereka yang bisa lebih radikal dan militan dalam arti positif.
Hal senada disampaikan Kasubdit Pemberdayaan Masyarakat BNPT (Badan Nasional Pencegahan Terorisme) Dr Hj Andi Intang Dulung mengatakan dengan potensi totalitas dalam menjalankan fungsinya, wanita sangat strategis untuk dilibatkan dalan deradikalisasi.
Khusus melalui peran wanita di media sosial, baik oleh "kaum emak-emak" maupun milenial.
Ia menjelaskan lahirnya kelompok radikalisme dan terorisme yang melibatkan wanita tidak terlepas dari kemajuan teknologi komunikasi serta media sosial.
Sehingga, kata dia untuk melawan pengaruh radikalisme maka peran wanita, khususnya kaum milenial sangat penting dalam memberikan pemahaman yang benar tentang agama.
Dr. Nurasikin, Ketua Bidang Perempuan dan Anak FKPT Kaltara menjelaskan bahwa terkait besarnya peranan wanita dalam memerangi radikalisme dan terorisme maka pihaknya melibatkan 37 organisasi wanita dalam acara itu.
Acara digelar dengan tema "Perempuan Agen Perdamaian dalam pencegahan Radikalisme dan Terorisme melalui FKPT Kalimantan Utara Kegiatan bidang perempuan dan anak".
Kegiatan ini dihadiri oleh sekitar 90 peserta dari berbagai organisasi perempuan yang ada di Tarakan.
Kegiatan melibatkan antara lain Badan Kontak majelis Taklim, GOW, Asyiah, Forhati dan Kohati.
Wakil Wali Kota Tarakan Effendy Djuprianto pada acara itu menyampaikan tentang komitmen untuk terus mendukung upaya pencegahan terorisme dan penyebaran faham radikal.
Pemerintah Kota Tarakan berharap peran wanita kian besar dalam memberikan gambaran secara jelas kepada masyarakat tentang bahaya radikalisme dan terorisme.
Khususnya kaum wanita mengenai terorisme di Indonesia, sebagai bahan kewaspadaan bersama dalam upaya pencegahan terorisme. Ia berpesan kepada kaum ibu dapat secara aktif melakukan pembinaan dan pengawasan di rumah tangga dan lingkungan masing-masing.
"Para orang tua harus secara aktif menanamkan pemikiran anti radikalisme dan anti terorisme didalam percakapan di rumah," ujarnya.
Peranan penceramah perempuan
Peran penceramah sangat penting bagi deradikalisasi, khusus dalam memberikan pemahaman yang benar tentang ajaran Islam namun sayangnya jumlah perempuan sangat sedikit yang terlibat dalam kegiatan ini.
"Peran penceramah sangat strategis, yakni dengan bekal ilmu mereka bisa memberikan pemahaman yang benar dalam kontra terorisme atau deradikalisasi, khususnya di medsos," kata Ketua Forum Komunikasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kaltara Datu Iskandar Zulkarnaen di Tarakan, pekan ini (15/10/2020)
Hal itu disampaikan saat menjadi pembicara dalam Penguatan Kompetensi Penceramah Agama di Lingkungan Kementerian Agama Kaltara Tahun 2020.
Namun, ada beberapa hal yang perlu ditingkat khususnya belum optimalnya pemanfaatan media sosial dalam melawan radikalisme.
"Masalah lain, secara kuantitas jumlah penceramah wanita sangat terbatas," katanya.
Seperti acara tersebut, dari puluhan anggota, hanya terlihat dua orang peserta penceramah wanita.
Padahal peran wanita bisa begitu berpengaruh dalam deradikalisasi atau kontra terorisme.
Deradikalisasi adalah upaya preventif kontra terorisme atau stratregi untuk menetralisir paham-paham radikal agar kembali kejalan pemikiran moderat.
"Kemajuan dunia digital sehingga salah satu jalur cepat dan efektif menyebarkan paham radikal adalah melalui media sosial sehingga hal harus mendapat perhatian serius," katanya.
Misalnya, dengan menggunakan hadist-hadist lemah atau dhaib, maka dijadikan pembenaran untuk radikalisme atau terorisme.
"Masalahnya, bagi orang awam, begitu disebutkan atas nama agama ditambah ada dasar hukumnya (hadist palsu), maka diyakini itu hal benar dan wajib diperjuangkan sebagai jalan jihad," katanya.
Padahal tidak semua orang paham itu hadist palsu atau shahih sehingga peran para dai atau ustadz sangat penting memberi pencerahan kepada netizen.
"Jika kita amati di medsos belum berimbang antara radikalisasi dengan yang deradikalisasi pemahaman agama, lebih banyak postingan yang berisi hoaks dan hasutan ketimbang pencerahan agama," katanya.
Contohnya masih banyak yang memahami jihad sebagai sebuah tindakan yang disertai tindakan kekerasan.
Padahal dalam Islam, pengertian jihad sangat mulia karena untuk menghidupkan bukan untuk mematikan.
Secara filosoti, jihad (perjuangan dengan fisik) tidak terpisah dengan ijtihad (perjuangan dengan nalar), dan mujahadah (perjuangan dengan kekuatan rohani).
"Jadi harapan kita, para penceramah tidak saja aktif melalui ceramah tatap muka namun lebih rajin memberikan pencerahan untuk deredikalisasi melalui media sosial dan media massa," ujarnya.
Harapan lain agar jumlah penceramah wanita lebih ditingkatkan karena ternyata peran wanita begitu strategis dalam agen perubahan, khususnya dalam deradikalisasi atau kontra terorisme.
"Lihat sorot matanya, ada amarah bukan? Ini adalah hasil doktrinisasi. Ia diberi pemahaman yang keliru tentang Islam," kata Suraiya Kamaruzzaman, seorang pembela hak-hak perempuan dari Aceh saat menampilkan sebuah foto wajah perempuan Indonesia yang bergabung dengan anggota terorisme ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah).
Dalam doktrinisasi itu, dicari diksi-diksi untuk membenci sehingga kemarahan itu terpancar dari sorot matanya.
Hal itu disampaikan saat jadi pembicara dalam kegiatan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kalimantan Utara di Tarakan, Kamis (15/10/2020).
Wanita secara alami lebih mudah terbawa emosional ketimbang logika. Sisi keunikan wanita ini ternyata dipelajari oleh ISIS untuk tujuan jahat.
Suraiya yang juga Presedium Balai Syura Aceh itu kemudian melanjutkan beberapa slide foto beberapa wanita Indonesia yang bergabung dengan kelompok terorisme seperti ISIS dengan sorot mata yang sama.
Karakter emosional menyebabkan wanita bisa memiliki totalitas dalam bekerja. Hal itu menyebabkan perempuan kini rentan direkrut jadi anggota terorisme.
"Jika sudah terdoktrin wanita bisa lebih radikal ketimbang pria," kata, tokoh perempuan penerima Penghargaan N-Peace 2012.
Alasan lain melibatkan wanita, pria lebih mudah terdeteksi sehingga kini agak susah melangkah untuk melakukan peran sebagai terorisme.
Sebagai pemikat, kelompok terorisme seperti ISIS kini menggunakan terminologi tentang kesetaraan wanita dengan pria dalam melaksanakan peran sebagai garda terdepan untuk melakukan aksi bom bunuh diri, termasuk melibatkan anaknya.
Sebelum ISIS, wanita di negara-negara Timur Tengah ditempatkan selalu di belakang namun ISIS berhasil memikat perempuan, yakni dengan menggunakan narasi atau dalil-dalil tentang kesetaraan wanita.
"Jika jihadis pria diiming-iming 72 bidadari maka jihadis wanita ditawarkan 40 tiket ke surga," ujarnya.
Karakter masyarakat Indonesia yang komunal sehingga tawaran 40 tiket ke surga sangat menarik.
Bayangan mendapat 40 tiket, ujarnya sangat menarik bagi karakter masyarakat yang komunal karena ia bisa membawa suami, anak, ibu, bapak, nenek dan keluarga lain ke surga.
Sejak deklarasi pendirian kekhalifahan ISIS oleh pemimpin kelompok Abu Bakar al Baghdadi bulan Juli 2014, terdapat setidaknya 18 kelompok ekstremis yang mendukung ISIS di Indonesia sebagian anggotanya wanita.
Acara digelar dengan tema "Pelibatan perempuan karena Perempuan agen perdamaian dalam pencegahan radikalisme dan terorisme melalui Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kalimantan Utara Bidang Perempuan dan Anak".
Peran perempuan
Karakter wanita yang yang secara alami punya ikatan emosional kedekatan dengan keluarga juga jadi "kelemahan".
"Ada sisi positif dan negatif, dari sisi positif, wanita bisa menjadi agen perubahan yang strategis, termasuk dalam melawan paham radikalisme atau kontra terorisme," ujarnya.
Kehadiran wanita sangat penting dalam melawan radikalisme dan terorisme dengan mengoptimalkan karakter mereka yang bisa lebih radikal dan militan dalam arti positif.
Hal senada disampaikan Kasubdit Pemberdayaan Masyarakat BNPT (Badan Nasional Pencegahan Terorisme) Dr Hj Andi Intang Dulung mengatakan dengan potensi totalitas dalam menjalankan fungsinya, wanita sangat strategis untuk dilibatkan dalan deradikalisasi.
Khusus melalui peran wanita di media sosial, baik oleh "kaum emak-emak" maupun milenial.
Ia menjelaskan lahirnya kelompok radikalisme dan terorisme yang melibatkan wanita tidak terlepas dari kemajuan teknologi komunikasi serta media sosial.
Sehingga, kata dia untuk melawan pengaruh radikalisme maka peran wanita, khususnya kaum milenial sangat penting dalam memberikan pemahaman yang benar tentang agama.
Dr. Nurasikin, Ketua Bidang Perempuan dan Anak FKPT Kaltara menjelaskan bahwa terkait besarnya peranan wanita dalam memerangi radikalisme dan terorisme maka pihaknya melibatkan 37 organisasi wanita dalam acara itu.
Acara digelar dengan tema "Perempuan Agen Perdamaian dalam pencegahan Radikalisme dan Terorisme melalui FKPT Kalimantan Utara Kegiatan bidang perempuan dan anak".
Kegiatan ini dihadiri oleh sekitar 90 peserta dari berbagai organisasi perempuan yang ada di Tarakan.
Kegiatan melibatkan antara lain Badan Kontak majelis Taklim, GOW, Asyiah, Forhati dan Kohati.
Wakil Wali Kota Tarakan Effendy Djuprianto pada acara itu menyampaikan tentang komitmen untuk terus mendukung upaya pencegahan terorisme dan penyebaran faham radikal.
Pemerintah Kota Tarakan berharap peran wanita kian besar dalam memberikan gambaran secara jelas kepada masyarakat tentang bahaya radikalisme dan terorisme.
Khususnya kaum wanita mengenai terorisme di Indonesia, sebagai bahan kewaspadaan bersama dalam upaya pencegahan terorisme. Ia berpesan kepada kaum ibu dapat secara aktif melakukan pembinaan dan pengawasan di rumah tangga dan lingkungan masing-masing.
"Para orang tua harus secara aktif menanamkan pemikiran anti radikalisme dan anti terorisme didalam percakapan di rumah," ujarnya.
Peranan penceramah perempuan
Peran penceramah sangat penting bagi deradikalisasi, khusus dalam memberikan pemahaman yang benar tentang ajaran Islam namun sayangnya jumlah perempuan sangat sedikit yang terlibat dalam kegiatan ini.
"Peran penceramah sangat strategis, yakni dengan bekal ilmu mereka bisa memberikan pemahaman yang benar dalam kontra terorisme atau deradikalisasi, khususnya di medsos," kata Ketua Forum Komunikasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kaltara Datu Iskandar Zulkarnaen di Tarakan, pekan ini (15/10/2020)
Hal itu disampaikan saat menjadi pembicara dalam Penguatan Kompetensi Penceramah Agama di Lingkungan Kementerian Agama Kaltara Tahun 2020.
Namun, ada beberapa hal yang perlu ditingkat khususnya belum optimalnya pemanfaatan media sosial dalam melawan radikalisme.
"Masalah lain, secara kuantitas jumlah penceramah wanita sangat terbatas," katanya.
Seperti acara tersebut, dari puluhan anggota, hanya terlihat dua orang peserta penceramah wanita.
Padahal peran wanita bisa begitu berpengaruh dalam deradikalisasi atau kontra terorisme.
Deradikalisasi adalah upaya preventif kontra terorisme atau stratregi untuk menetralisir paham-paham radikal agar kembali kejalan pemikiran moderat.
"Kemajuan dunia digital sehingga salah satu jalur cepat dan efektif menyebarkan paham radikal adalah melalui media sosial sehingga hal harus mendapat perhatian serius," katanya.
Misalnya, dengan menggunakan hadist-hadist lemah atau dhaib, maka dijadikan pembenaran untuk radikalisme atau terorisme.
"Masalahnya, bagi orang awam, begitu disebutkan atas nama agama ditambah ada dasar hukumnya (hadist palsu), maka diyakini itu hal benar dan wajib diperjuangkan sebagai jalan jihad," katanya.
Padahal tidak semua orang paham itu hadist palsu atau shahih sehingga peran para dai atau ustadz sangat penting memberi pencerahan kepada netizen.
"Jika kita amati di medsos belum berimbang antara radikalisasi dengan yang deradikalisasi pemahaman agama, lebih banyak postingan yang berisi hoaks dan hasutan ketimbang pencerahan agama," katanya.
Contohnya masih banyak yang memahami jihad sebagai sebuah tindakan yang disertai tindakan kekerasan.
Padahal dalam Islam, pengertian jihad sangat mulia karena untuk menghidupkan bukan untuk mematikan.
Secara filosoti, jihad (perjuangan dengan fisik) tidak terpisah dengan ijtihad (perjuangan dengan nalar), dan mujahadah (perjuangan dengan kekuatan rohani).
"Jadi harapan kita, para penceramah tidak saja aktif melalui ceramah tatap muka namun lebih rajin memberikan pencerahan untuk deredikalisasi melalui media sosial dan media massa," ujarnya.
Harapan lain agar jumlah penceramah wanita lebih ditingkatkan karena ternyata peran wanita begitu strategis dalam agen perubahan, khususnya dalam deradikalisasi atau kontra terorisme.