Jakarta (ANTARA) - Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan Ketua KPK Firli Bahuri dan Deputi Penindakan KPK Karyoto ke Dewan Pengawas atas dugaan pelanggaran kode etik.
"Pada hari ini, Senin 26 Oktober 2020, Indonesia Corruption Watch melaporkan Firli Bahuri selaku Ketua KPK dan Karyoto selaku Deputi Penindakan atas dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku ke Dewan Pengawas. Latar belakang pelaporan ini berkaitan dengan kasus OTT Universitas Negeri Jakarta beberapa waktu lalu," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana di Jakarta, Senin.
Menurut Kurnia, berdasarkan petikan putusan Plt. Direktur Pengaduan Masyarakat KPK Aprizal, ICW menduga ada beberapa pelanggaran serius yang dilakukan Firli dan Karyoto.
"ICW mencatat setidaknya terdapat empat dugaan pelanggaran kode etik yang terjadi. Pertama, Firli Bahuri bersikukuh untuk mengambil alih penanganan yang saat itu dilakukan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan," ungkap Kurnia.
Padahal, menurut Kurnia, Aprizal sudah menjelaskan bahwa setelah tim Pengaduan Masyarakat melakukan pendampingan dan tidak ditemukan adanya unsur penyelenggara negara sehingga, berdasarkan Pasal 11 Ayat (1) Huruf a UU KPK, tidak memungkinkan bagi KPK untuk menindaklanjuti kejadian tersebut.
"Kedua, Firli Bahuri menyebutkan bahwa dalam pendampingan yang dilakukan oleh tim Pengaduan Masyarakat terhadap Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah ditemukan tindak pidananya," kata Kurnia.
Firli diduga tidak mengetahui kejadian sebenarnya sehingga menjadi janggal jika Firli langsung begitu saja menyimpulkan adanya tindak pidana korupsi dan dapat ditangani oleh KPK.
"Ketiga, tindakan Firli Bahuri dan Karyoto saat menerbitkan surat perintah penyelidikan dan pelimpahan perkara ke kepolisian diduga tidak didahului dengan mekanisme gelar perkara di internal KPK," kata Kurnia.
Dalam aturan internal KPK, telah diatur bahwa untuk dapat melakukan dua hal tersebut mesti didahului dengan gelar perkara yang diikuti oleh kedeputian penindakan serta para pimpinan KPK.
"Keempat, tindakan Firli Bahuri untuk mengambil alih penanganan yang dilakukan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan diduga atas inisiatif pribadi tanpa melibatkan ataupun mendengar masukan dari pimpinan KPK lainnya," kata Kurnia menambahkan.
Pasal 21 UU KPK menyebutkan bahwa pimpinan KPK bersifat kolektif kolegial.
Berdasarkan empat alasan di atas, ICW menduga tindakan keduanya telah melanggar Pasal 4 Ayat (1) Huruf b, Pasal 5 Ayat (1) Huruf c, Pasal 5 Ayat (2) Huruf a, Pasal 6 Ayat (1) Huruf e, Pasal 7 Ayat (1) Huruf a, Pasal 7 Ayat (1) Huruf b, Pasal 7 Ayat (1) Huruf c Peraturan Dewan Pengawas Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK.
"ICW pun mendesak agar Dewan Pengawas menyelenggarakan sidang dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Firli Bahuri dan Karyoto," ungkap Kurnia.
Kurnia meminta Dewan Pengawas KPK memanggil dan meminta keterangan dari keduanya serta saksi-saksi lainnya yang dianggap relevan dengan pelaporan tersebut.
Selanjutnya, Dewan Pengawas dapat menjatuhkan sanksi kepada Firli Bahuri dan Karyoto
Selain itu, ICW mengingatkan kembali ada dua pelanggaran etik yang telah terbukti dilakukan oleh Firli Bahuri.
Pelanggaran pertama pada tahun 2018 ketika menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK, Firli Bahuri diketahui bertemu dengan Tuan Guru Bajang.
"Pelanggaran etik yang terkini adalah, Firli Bahuri terbukti menggunakan moda transportasi mewah berupa helikopter pada sekitar Juni 2020. Untuk itu, Dewan Pengawas semestinya dapat menjatuhkan sanksi lebih berat berupa pemberhentian dengan tidak hormat terhadap yang bersangkutan," kata Kurnia menegaskan.
Sebelumnya, Dewan Pengawas KPK telah menjatuhkan sanksi ringan kepada Plt. Direktur Pengaduan Masyarakat KPK Aprizal karena dinilai terbukti melakukan pelanggaran etik yaitu menimbukan suasana kerja yang tidak kondusif dalam pelaporan pelanggaran etik dari OTT UNJ.
Sementara itu, Ketua KPK Firli Bahuri juga dinyatakan melakukan pelanggaran kode etik dan dijatuhi sanksi ringan berupa teguran tertulis 2 karena menggunakan helikopter dalam perjalan di Sumatera Selatan dan kembali ke Jakarta pada bulan Juni 2020.
"Pada hari ini, Senin 26 Oktober 2020, Indonesia Corruption Watch melaporkan Firli Bahuri selaku Ketua KPK dan Karyoto selaku Deputi Penindakan atas dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku ke Dewan Pengawas. Latar belakang pelaporan ini berkaitan dengan kasus OTT Universitas Negeri Jakarta beberapa waktu lalu," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana di Jakarta, Senin.
Menurut Kurnia, berdasarkan petikan putusan Plt. Direktur Pengaduan Masyarakat KPK Aprizal, ICW menduga ada beberapa pelanggaran serius yang dilakukan Firli dan Karyoto.
"ICW mencatat setidaknya terdapat empat dugaan pelanggaran kode etik yang terjadi. Pertama, Firli Bahuri bersikukuh untuk mengambil alih penanganan yang saat itu dilakukan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan," ungkap Kurnia.
Padahal, menurut Kurnia, Aprizal sudah menjelaskan bahwa setelah tim Pengaduan Masyarakat melakukan pendampingan dan tidak ditemukan adanya unsur penyelenggara negara sehingga, berdasarkan Pasal 11 Ayat (1) Huruf a UU KPK, tidak memungkinkan bagi KPK untuk menindaklanjuti kejadian tersebut.
"Kedua, Firli Bahuri menyebutkan bahwa dalam pendampingan yang dilakukan oleh tim Pengaduan Masyarakat terhadap Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah ditemukan tindak pidananya," kata Kurnia.
Firli diduga tidak mengetahui kejadian sebenarnya sehingga menjadi janggal jika Firli langsung begitu saja menyimpulkan adanya tindak pidana korupsi dan dapat ditangani oleh KPK.
"Ketiga, tindakan Firli Bahuri dan Karyoto saat menerbitkan surat perintah penyelidikan dan pelimpahan perkara ke kepolisian diduga tidak didahului dengan mekanisme gelar perkara di internal KPK," kata Kurnia.
Dalam aturan internal KPK, telah diatur bahwa untuk dapat melakukan dua hal tersebut mesti didahului dengan gelar perkara yang diikuti oleh kedeputian penindakan serta para pimpinan KPK.
"Keempat, tindakan Firli Bahuri untuk mengambil alih penanganan yang dilakukan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan diduga atas inisiatif pribadi tanpa melibatkan ataupun mendengar masukan dari pimpinan KPK lainnya," kata Kurnia menambahkan.
Pasal 21 UU KPK menyebutkan bahwa pimpinan KPK bersifat kolektif kolegial.
Berdasarkan empat alasan di atas, ICW menduga tindakan keduanya telah melanggar Pasal 4 Ayat (1) Huruf b, Pasal 5 Ayat (1) Huruf c, Pasal 5 Ayat (2) Huruf a, Pasal 6 Ayat (1) Huruf e, Pasal 7 Ayat (1) Huruf a, Pasal 7 Ayat (1) Huruf b, Pasal 7 Ayat (1) Huruf c Peraturan Dewan Pengawas Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK.
"ICW pun mendesak agar Dewan Pengawas menyelenggarakan sidang dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Firli Bahuri dan Karyoto," ungkap Kurnia.
Kurnia meminta Dewan Pengawas KPK memanggil dan meminta keterangan dari keduanya serta saksi-saksi lainnya yang dianggap relevan dengan pelaporan tersebut.
Selanjutnya, Dewan Pengawas dapat menjatuhkan sanksi kepada Firli Bahuri dan Karyoto
Selain itu, ICW mengingatkan kembali ada dua pelanggaran etik yang telah terbukti dilakukan oleh Firli Bahuri.
Pelanggaran pertama pada tahun 2018 ketika menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK, Firli Bahuri diketahui bertemu dengan Tuan Guru Bajang.
"Pelanggaran etik yang terkini adalah, Firli Bahuri terbukti menggunakan moda transportasi mewah berupa helikopter pada sekitar Juni 2020. Untuk itu, Dewan Pengawas semestinya dapat menjatuhkan sanksi lebih berat berupa pemberhentian dengan tidak hormat terhadap yang bersangkutan," kata Kurnia menegaskan.
Sebelumnya, Dewan Pengawas KPK telah menjatuhkan sanksi ringan kepada Plt. Direktur Pengaduan Masyarakat KPK Aprizal karena dinilai terbukti melakukan pelanggaran etik yaitu menimbukan suasana kerja yang tidak kondusif dalam pelaporan pelanggaran etik dari OTT UNJ.
Sementara itu, Ketua KPK Firli Bahuri juga dinyatakan melakukan pelanggaran kode etik dan dijatuhi sanksi ringan berupa teguran tertulis 2 karena menggunakan helikopter dalam perjalan di Sumatera Selatan dan kembali ke Jakarta pada bulan Juni 2020.