Jakarta (ANTARA) - Netralitas aparatur sipil negara (ASN) bisa diibaratkan sebagai gejala penyakit yang selalu kambuh setiap lima tahun sekali pada pelaksanaan pemilihan umum (pemilu), baik di pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) maupun pemilihan kepala daerah serentak (pilkada).

Di tengah tahapan pelaksanaan Pilkada Serentak 2020, yang saat ini sudah memasuki masa kampanye, ASN di daerah benar-benar diuji independensinya untuk tidak berpihak pada pasangan calon tertentu, khususnya petahana yang bertarung di kontestasi lokal tersebut.

Melihat struktur peserta Pilkada Serentak 2020 di 270 daerah terdapat 737 pasangan calon yang memenuhi syarat, dimana 322 pasangan calon di antaranya merupakan petahana yang ingin mempertahankan kembali kekuasaannya di daerah.

Daerah dengan calon-calon petahana memiliki risiko tinggi terhadap pelanggaran netralitas ASN di pemerintahan daerah tersebut. Hal itu karena petahana mempunyai kuasa untuk mengintervensi jajaran birokrasi di daerahnya. Selain itu, risiko tinggi pelanggaran netralitas ASN juga terjadi di 25 daerah dengan pasangan calon tunggal.

Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Otda) Kemendagri Akmal Malik menilai daerah dengan pasangan calon tunggal di Pilkada Serentak 2020, hampir semua ASN di pemerintahan daerah tersebut akan berpihak kepada calon kepala daerah tunggal itu.

Hampir seluruh ASN, mulai dari pejabat pimpinan tinggi pratama, pejabat pimpinan tinggi madya, administrator dan pengawas akan merasa yakin bahwa pasangan calon tunggal itu yang akan menjadi pemenang Pilkada Serentak 2020. Apalagi kalau menang dan memimpin selama lima tahun, maka para ASN di daerah tersebut merasa penting untuk mendukung kesuksesan pasangan calon tunggal tersebut.

"Kami katakan 25 daerah ini sangat tinggi potensi pelanggaran netralitas ASN-nya. Maka kami memberikan saran agar teman-teman pengawas untuk lebih memperhatikan 25 daerah dimana ada pasangan calon tunggal," kata Akmal.

ASN jadi "amunisi" menarik

ASN menjadi amunisi yang menarik bagi pasangan calon untuk memenangkan kontes pilkada karena berbagai alasan. Alasan pertama, ASN diasumsikan memiliki tingkat pendidikan dan pengetahuan yang cukup memadai. Hal itu menjadi nilai tambah bagi pasangan calon kepala daerah untuk secara diam-diam merekrut ASN menjadi bagian dari tim pemenangannya. Pengetahuan tersebut sebagian besar dimanfaatkan untuk menjadi tim penyusun program dan materi kampanye karena ASN pada umumnya mengetahui program-program pembangunan di daerahnya.

Alasan kedua, keberadaan ASN yang tersebar luas di berbagai tingkatan daerah, mulai dari kabupaten, kota, kecamatan, kelurahan hingga desa, membuat kandidat petahana memanfaatkan potensi tersebut untuk menarik calon pemilih. Apalagi, di daerah pedesaan biasanya ASN dianggap sebagai figur yang dapat dipercaya; sehingga ajakan untuk memilih kandidat calon kepala daerah tertentu akan diikuti oleh masyarakat setempat.

Ketiga, ASN dengan jabatan struktural memiliki fungsi dan strategi dalam menggerakkan anggaran keuangan negara, sehingga akses untuk menggunakan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) akan semakin mudah digunakan untuk kepentingan calon tertentu.

Keempat, ASN dianggap memiliki akses dan kewenangan untuk menggunakan fasilitas milik negara yang sering disalahgunakan untuk mendukung pasangan calon tertentu.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat pelanggaran netralitas yang sering dilakukan ASN ialah memberikan dukungan kepada pasangan calon tertentu melalui media sosial dan menghadiri acara-acara kampanye. Ketua Bawaslu Abhan mengatakan laporan pelanggaran netralitas ASN sering berkaitan dengan unggahan, komentar dan membagikan konten kampanye terhadap pasangan calon tertentu.

Berbagai "kelebihan" ASN sebagai senjata pemenangan pasangan calon di pilkada tersebut membuat adanya anggapan bahwa ASN sebaiknya tidak diberikan hak pilih dalam pemilihan umum, seperti halnya anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian RI (Polri).

Namun, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Tjahjo Kumolo berpandangan bahwa hak pilih terhadap ASN tidak boleh dicabut karena partisipasi masyarakat sipil dalam pemilu menjadi salah satu kunci sistem demokrasi berjalan di suatu negara.

Oleh karena itu, Tjahjo menilai perlu dibangun kesadaran bahwa ASN tetap harus memiliki hak pilih; dan untuk meminimalkan penyalahgunaan netralitas ASN dalam pemilu, maka perlu dilakukan antisipasi lewat penegakan aturan dan sanksi bagi yang melanggar.

Sikap partian ASN hanya boleh direfleksikan di dalam bilik suara pada saat hari pemungutan suara; sementara di luar itu, ASN harus dapat menempatkan dirinya pada posisi yang tidak memihak kandidat pasangan calon tertentu.

"ASN tidak boleh menjadi partisan karena ada identitas negara yang dia bawa. Saya kira, di luar bilik suara, ASN tidak perlu mengekspresikan sikap partisannya karena marwahnya sebagai 'alat negara' harus dijaga dengan baik," kata Tjahjo.

Sanksi bagi ASN tidak netral

Sebagai langkah antisipatif untuk mencegah ASN berpihak pada pasangan calon kepala daerah tertentu, Pemerintah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pengawasan Netralitas ASN dalam Penyelenggaraan Pilkada Serentak Tahun 2020.

SKB tersebut ditandatangani bersama oleh Menteri PANRB Tjahjo Kumolo, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, Ketua Bawaslu Abhan, Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana dan Ketua KASN Agus Pramusinto.

Tujuan penerbitan SKB tersebut ialah untuk membangun sinergitas, meningkatkan efektivitas dan efisiensi instansi Pemerintah pusat dan daerah dalam melakukan pengawasan, penanganan pengaduan dan mewujudkan kepastian hukum terhadap penanganan pelanggaran asas netralitas pegawai ASN.

SKB yang ditandatangani pada 10 September 2020 tersebut mengatur upaya dan langkah pencegahan pelanggaran netralitas pegawai ASN, penjatuhan sanksi atas berbagai jenis dan tingkatan pelanggaran netralitas pegawai ASN, pembentukan Satuan Tugas Pengawasan Netralitas Pegawai ASN serta tata cara penanganan laporan dugaan pelanggaran netralitas pegawai ASN pada Pilkada Serentak Tahun 2020.

Prosedur penjatuhan sanksi bagi ASN yang melanggar netralitas diawali dengan pemeriksaan oleh Bawaslu. Bawaslu kemudian mengirim surat rekomendasi kepada KASN supaya menugaskan Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) untuk memberikan sanksi kepada ASN tersebut.

Namun, seringkali kinerja PPK yang lamban dalam menjatuhkan sanksi kepada ASN pelanggar netralitas tersebut menjadi kendala dalam penyelesaian persoalan. Dalam hal ini, BKN memiliki fungsi sebagai sistem peringatan dini atau early warning system untuk mendesak PPK agar segera menindaklanjuti rekomendasi Bawaslu.

Meskipun PPK tidak kunjung menjatuhkan sanksi, Bawaslu masih memiliki wewenang untuk mengadili dan memutus bersalah terhadap ASN yang melanggar netralitas tersebut . Berdasarkan keputusan Bawaslu tersebut, BKN kemudian melakukan pemblokiran data informasi ASN bersangkutan, yang berimplikasi pada proses kenaikan pangkat, kenaikan jabatan dan mutasi pegawai.

Pembukaan data yang sudah diblokir tersebut akan dilakukan apabila ASN sudah menjalani hukuman atau terbukti tidak bersalah atas dugaan pelanggaran netralitas selama pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2020.

Hingga akhir Oktober, KASN mencatat terdapat 793 ASN yang dilaporkan oleh Bawaslu karena melanggar netralitas selama tahapan Pilkada Serentak Tahun 2020. Dari total laporan tersebut, 571 di antaranya telah mendapat rekomendasi dari PPK untuk dijatuhi sanksi, sementara sisanya masih dalam proses pemeriksaan bukti-bukti pelanggaran.

Sementara jumlah ASN yang terbukti melanggar netralitas dan mendapat sanksi hingga kini tercatat sebanyak 325 orang atau sekitar 56,9 persen. Agus Pramusinto mengatakan angka tersebut mengalami peningkatan karena di pilkada sebelumnya jumlah ASN pelanggar netralitas yang dijatuhi sanksi berada di bawah 30 persen.
 


Pewarta : Fransiska Ninditya
Editor : Muhsidin
Copyright © ANTARA 2024