Jakarta (ANTARA) - Bawaslu Nusa Tenggara Barat (NTB) disarankan agar tidak ragu mendiskualifikasi pasangan calon kepala daerah yang terbukti berbuat curang.

Sekretaris Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) DPP Partai Demokrat Kamhar Lakumani, dalam rilis yang diterima di Jakarta, Kamis, mengatakan Bawaslu NTB saat ini sedang menyidangkan dugaan pelanggaran bersifat terstruktur sistematis dan masif (TSM) di Pilkada Sumbawa yang dilakukan pasangan calon (paslon) nomor 4.

Pengawas pemilu setempat didesak memberikan putusan diskualifikasi, seperti halnya putusan Bawaslu Lampung di Pilkada Bandar Lampung. Bawaslu RI, kata dia, juga sudah menekankan tidak perlu ada keraguan jika objektif memang ditemukan kecurangan TSM.

"Partai Demokrat sangat mendukung Bawaslu untuk menetapkan pilkada terjadi pelanggaran TSM jika memang saksi dan faktanya jelas dan nyata," kata Kamhar Lakumani.

Dia menentang keras adanya pelanggaran pilkada dan memastikan Partai Demokrat akan "mem-back up" perjuangan melawan praktik kecurangan TSM. Terlebih, lanjut dia, pihak yang dirugikan adalah figur yang diusung partainya di Pilkada Sumbawa.

"Standing position kami melawan kecurangan. Kami akan gunakan kekuatan kami untuk membongkar kecurangan tersebut, apalagi yang menjadi korban adalah kader kami atau figur yang diusung Partai Demokrat," kata Kamhar.

Ketua Bawaslu Abhan telah menegaskan paslon pada Pilkada serentak 2020 bisa gugur jika terbukti melakukan pelanggaran politik uang. Hal ini tercantum dalam Pasal 73 ayat 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

Pasal tersebut menyatakan Bawaslu provinsi dapat mengenakan sanksi administratif pembatalan sebagai pasangan calon apabila terbukti melakukan politik uang.

"Paslon yang terbukti melakukan politik uang secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) bisa terkena sanksi diskualifikasi," katanya.

Dia menjelaskan kata terstruktur adalah kecurangan yang tindakannya diatur sedemikian rupa baik yang dilakukan oleh sekelompok orang, aparat struktural, baik aparat pemerintah, penyelenggara pemilihan secara kolektif atau secara bersama-sama.

Kemudian, sistematis yaitu pelanggaran yang direncanakan secara matang, tersusun, bahkan sangat rapi. Sedangkan masif adalah dampak pelanggaran yang sangat luas pengaruhnya terhadap hasil pemilihan bukan hanya sebagian-sebagian.

"Pelanggaran politik uang TSM bisa saja dilakukan oleh orang lain seperti simpatisan atau tim kampanye manakala terbukti dilakukan atas perintah dan aliran dananya dari paslon maka dapat dikategorikan sebagai pelanggaran ketentuan pasal 187A," ucapnya.

Ketentuan pidana mengenai politik uang dalam pasal 187A ayat (1) menyatakan setiap orang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan memilih atau tidak memilih calon tertentu diancam kurungan paling lama 72 bulan dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan sanksi administrasi berupa pembatalan pencalonan masuk dalam kategori sanksi berat. Sanksi pembatalan ini dianggap lebih memberikan efek jera dibandingkan pidana.

“Artinya kepesertaan mereka dihilangkan dalam kompetisi, memang bisa memberikan efek jera. Misalnya kalau di Bandar Lampung politik uang, kalau tidak salah. Dalam UU Pilkada disebutkan sanksi memang bisa berupa diskualifikasi,” katanya.

Khoirunnisa juga berharap KPU dapat bersikap transparan jika menerima putusan Bawaslu yang merekomendasikan pembatalan keikutsertaan paslon yang telah terbukti melakukan pelanggaran TSM. Dalam UU Pilkada, KPU wajib menindaklanjuti putusan Bawaslu.

“Iya betul, harus transparan. Kewajibannya kan menindaklanjuti. Masalahnya, tindak lanjutnya itu bisa mengabulkan atau menolak,” ujarnya.


Pewarta : Boyke Ledy Watra
Editor : Muhsidin
Copyright © ANTARA 2024