Jakarta (ANTARA) - Epidemiolog dari Universitas Andalas (Unand), Sumatera Barat Defriman Djafri mengatakan pemerintah harus mengevaluasi kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang diterapkan, karena kasus COVID-19 di Tanah Air masih terus meningkat.
"Perlu kita evaluasi. Kalau jumlah kasus naik itu jelas, dan kalau turun maka pastikan pembatasan yang akan dilakukan," katanya saat dihubungi di Jakarta, Minggu.
Ia mengatakan pada dasarnya pembatasan pergerakan masyarakat seharusnya berimbas pada penurunan jumlah kasus COVID-19. Namun, kebijakan PPKM Jawa dan Bali 11 hingga 25 Januari belum menunjukkan hasil yang diharapkan.
Salah satu persoalannya ialah pembatasan pergerakan masyarakat tidak bisa hanya dititikberatkan pada satu atau dua pulau saja.
Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Unand tersebut berpendapat seharusnya jika ingin membatasi pergerakan publik, pembatasan secara menyeluruh harus diterapkan dan tidak terkonsentrasi pada dua pulau saja.
Jalan tengah yang selama ini dilakukan pemerintah, yakni menyelamatkan aspek kesehatan dan ekonomi secara bersamaan dinilai belum cukup efektif dalam menekan kasus COVID-19.
"Ada satu hal yang tidak bisa dibantah, yakni pergerakan atau mobilitas orang sangat berkaitan erat dengan peningkatan kasus," ujar dia.
Secara umum, jika pemerintah hanya memberlakukan pembatasan pergerakan masyarakat di satu atau dua pulau saja, sementara wilayah lainnya tidak, kasus COVID-19 akan sulit ditekan. "Sebab orang akan tetap keluar masuk ke daerah itu," katanya.
Lebih parah lagi, lanjutnya, saat ini banyak masyarakat sepertinya sudah tidak peduli dengan ancaman pandemi. Bahkan, tak jarang ditemukan individu yang berusaha mengakali untuk menuju suatu daerah yang menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Defriman menilai jika kebijakan yang diambil pemerintah tetap seperti ini, selamanya kasus COVID-19 akan tarik ulur dan sulit diatasi.
"Perlu kita evaluasi. Kalau jumlah kasus naik itu jelas, dan kalau turun maka pastikan pembatasan yang akan dilakukan," katanya saat dihubungi di Jakarta, Minggu.
Ia mengatakan pada dasarnya pembatasan pergerakan masyarakat seharusnya berimbas pada penurunan jumlah kasus COVID-19. Namun, kebijakan PPKM Jawa dan Bali 11 hingga 25 Januari belum menunjukkan hasil yang diharapkan.
Salah satu persoalannya ialah pembatasan pergerakan masyarakat tidak bisa hanya dititikberatkan pada satu atau dua pulau saja.
Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Unand tersebut berpendapat seharusnya jika ingin membatasi pergerakan publik, pembatasan secara menyeluruh harus diterapkan dan tidak terkonsentrasi pada dua pulau saja.
Jalan tengah yang selama ini dilakukan pemerintah, yakni menyelamatkan aspek kesehatan dan ekonomi secara bersamaan dinilai belum cukup efektif dalam menekan kasus COVID-19.
"Ada satu hal yang tidak bisa dibantah, yakni pergerakan atau mobilitas orang sangat berkaitan erat dengan peningkatan kasus," ujar dia.
Secara umum, jika pemerintah hanya memberlakukan pembatasan pergerakan masyarakat di satu atau dua pulau saja, sementara wilayah lainnya tidak, kasus COVID-19 akan sulit ditekan. "Sebab orang akan tetap keluar masuk ke daerah itu," katanya.
Lebih parah lagi, lanjutnya, saat ini banyak masyarakat sepertinya sudah tidak peduli dengan ancaman pandemi. Bahkan, tak jarang ditemukan individu yang berusaha mengakali untuk menuju suatu daerah yang menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Defriman menilai jika kebijakan yang diambil pemerintah tetap seperti ini, selamanya kasus COVID-19 akan tarik ulur dan sulit diatasi.