Jakarta (ANTARA) - Anggota DPD RI Filep Wamafma menilai rencana pemerintah melakukan pemekaran di Papua dan Papua Barat jangan didasarkan pada pendekatan keamanan untuk pemetaan wilayah namun harus berlandaskan upaya penyejahterakan masyarakat.
Dia melihat wacana pemekaran tersebut menjadi landasan utama pemerintah pusat dari strategi nasional khususnya keamanan negara, terkait bagaimana meminimalisasi pergerakan kelompok separatis di Papua.
"Kalau filosofi utamanya adalah pemetaan wilayah Papua, itu keliru karena konstitusi sudah merumuskan bahwa tujuan bernegara adalah mewujudkan kesejahteraan masyarakat," kata Filep di Jakarta, Sabtu.
Karena itu menurut dia, penggunaan pendekatan keamanan dalam upaya pemekaran wilayah di Papua adalah langkah tidak tepat karena negara berkewajiban untuk memajukan kesejahteraan sosial seluruh warganya.
Senator asal Papua Barat itu mengingatkan bahwa syarat pemekaran wilayah di Papua dan Papua Barat berbeda dengan provinsi lain yaitu ditentukan melalui UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua.
"Syarat pemekaran di Provinsi Papua dan Papua Barat berbeda dengan provinsi lainnya yaitu ditentukan dalam UU Otsus, prosedur pemekaran dari Majelis Rakyat Papua (MRP), DPRP, dan Gubernur, dalam rangka persetujuan dilakukannya pemekaran," ujarnya.
Dia menilai pemekaran wilayah di Papua dan Papua Barat dapat dilakukan, namun harus ada ruang untuk mendengar berbagai masukan dari daerah.
Filep menegaskan masukan yang disampaikan-nya bukan menentang kebijakan yang akan dilakukan pemerintah namun untuk mengurangi terciptanya kebijakan yang menciptakan konflik baru di Papua.
Dia berharap, apa pun kebijakan nasional di Papua harus dibicarakan dengan arif dan bijaksana, serta sesuai kebutuhan di daerah karena jangan sampai menimbulkan konflik kembali yang menjadikan masyarakat sebagai korban.
"Saya mendukung kebijakan nasional kalau itu positif, namun jangan korbankan rakyat yang tidak berdosa karena itu harus berpikir arif dan bijaksana untuk selamatkan serta satukan pandangan," tutur-nya.
Dia meminta pemerintah bersikap terbuka terkait semua kebijakan tentang Papua, dengan melakukan dialog bersama semua kelompok agar bersinergi membangun Papua.
Sebelumnya, Pemerintah telah mengajukan revisi UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomsi Khusus Papua ke DPR dan ditindaklanjuti lembaga legislatif tersebut dengan membuat Panitia Khusus (Pansus) untuk membahas revisi tersebut.
Salah satu perubahan dalam revisi UU Otsus Papua-Papua Barat adalah terkait kewenangan pemekaran wilayah, yang sebelumnya diatur hanya satu ayat, saat ini dijabarkan hingga tiga ayat.
Dalam UU 21/2001 Pasal 76 disebutkan bahwa "Pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang".
Aturan pemekaran tersebut direvisi dalam draf RUU Otsus menjadi tiga ayat, yang disebutkan dalam Pasal 76 yang berbunyi:
Pasal 76
(1) Pemekaran daerah provinsi menjadi provinsi-provinsi dapat dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial budaya, kesiapan sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang.
(2) Pemerintah dapat melakukan pemekaran daerah provinsi menjadi daerah otonom untuk mempercepat pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat dengan memperhatikan kesatuan sosial budaya, kesiapan sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang.
(3) Pemekaran daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak melalui tahapan daerah persiapan sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai pemerintahan daerah.