Jakarta (ANTARA) -
Peneliti terorisme Ridlwan Habib menilai polisi harus menangkap provokator yang menyebut teroris yang melakukan aksi bom bunuh diri di gerbang Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan, adalah rekayasa.
Ridlwan Habib di Jakarta, Rabu, mengatakan hal itu pascaserangan teroris di gereja Katedral Makassar, dimana Densus 88 terus mengembangkan penyidikan.
Kemudian kata dia jaringan teroris yang sudah menyiapkan bom juga ditangkap di Bekasi. Namun, masih ada saja yang menyebut bahwa terorisme adalah rekayasa.
"Pihak yang menyebut bom Makassar rekayasa atau konspirasi harus ditangkap Densus 88 dan diperiksa. Sebab, provokator itu bisa mempengaruhi penyidikan yang sedang berlangsung," ucap Ridlwan menegaskan.
Menurut dia dalam JAD memang ada anggota kelompok teroris yang beroperasi di media sosial. Tujuannya, untuk mengaburkan penyidikan polisi sekaligus membuat masyarakat tidak percaya.
"Karena itu, pihak-pihak yang tidak percaya dan menyebut terorisme adalah rekayasa harus ditangkap dan dicek jangan-jangan dia adalah anggota teroris," kata alumni S2 Kajian Intelijen UI tersebut.
Penangkapan teroris di Bekasi ditemukan atribut dan identitas bekas ormas yang sekarang sudah dilarang. Ridlwan menyebut semuanya akan terbuka di pengadilan.
"Data pengadilan memang ada 35 mantan anggota ormas yang sekarang dilarang itu yang menjadi anggota JAD, termasuk Zainul Anshori mantan pengurus di Lamongan, mereka sudah dipenjara," tutur Ridlwan.
Orang-orang itu biasanya tidak puas dengan organisasi lamanya, dan memilih JAD yang secara langsung membolehkan melakukan serangan teror.
"Mereka ingin berjihad dengan kekerasan, dan kelompok JAD menghalalkan itu, karena itu mereka pindah ke JAD," ungkap dia.
Ridlwan menyebut aliran JAD adalah salafi jihadis yang memperbolehkan serangan kepada orang kafir. Latar belakang salafi jihadis memang aliran wahabi.
"Meski begitu, tidak semua pengikut wahabi yang menjadi 'salafi jihadis', ada juga salafi dakwah yang pro-pemerintah," ujar Ridlwan