Jayapura (ANTARA) - Mantan Komisioner Kompolnas 2016-2020 Andrea H Poeloengan mengungkapkan, Polri sudah menjalankan Standar Operasional Prosedur (SOP) penembakan terhadap teroris di Mabes Polri yang melakukan enam kali tembakan, diantaranya tembakan jarak dekat pada pos jaga.
"Dengan keadaan tidak tahu senjata yang digunakan pelaku apakah Air Gun yang sudah dimodifikasi atau tidak, yang jelas pada saat itu ancaman yang dapat mengakibatkan kematian atau luka berat bisa saja terjadi. Wajar tidak perlu ada peringatan dan langsung menembak hingga akhirnya mematikan,"ungkap mantan komisioner Kompolnas Anrea H Poelongan dalam keterangan tertulis diterima ANTARA, Jumat.
Penembakan terhadap pelaku teror, lanjutnya, hal ini telah sesuai dengan Peraturan Kapolri No 8 tahun 2009 tentang implementasi prinsip dan standar hak asasi manusia dalam penyelenggaraan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Andrea menyebut, pada pasal 47 ayat (1) penggunaan senjata api hanya boleh digunakan bila benar-benar diperuntukkan untuk melindungi nyawa manusia.
"Senjata api bagi petugas hanya boleh digunakan dalam hal menghadapi keadaan luar biasa, membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat dan membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka berat serta mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa orang,"katanya.
Bahkan dalam Perkapolri juga, lanjutnya, menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa dan menangani situasi yang membahayakan jiwa, dimana langkah-langkah yang lebih lunak tidak cukup.
Sementara di pasal 48 perkapolri tahun 2009, menurut Andrea, setiap petugas Polri dalam melakukan tindakan kepolisian dengan menggunakan senjata api harus memedomani prosedur penggunaan senjata api.
Petugas memahami prinsip penegakan hukum legalitas, nesesitas dan proporsionalitas dan sebelum menggunakan senjata api, petugas harus memberikan peringatan yang jelas dengan cara menyebutkan dirinya sebagai petugas atau anggota Polri yang sedang bertugas.
"Memberi peringatan dengan ucapan secara jelas dan tegas kepada sasaran untuk berhenti, angkat tangan, atau meletakkan senjatanya dan memberi waktu yang cukup agar peringatan dipatuhi,"katanya.
Bahkan dalam keadaan yang sangat mendesak lanjutnya, dimana penundaan waktu diperkirakan dapat mengakibatkan kematian atau luka berat bagi petugas atau orang lain disekitarnya, peringatan sebagaimana dimaksud pada huruf b tidak perlu dilakukan.
Andreas mengakui, sebagai instansi pelayanan publik Kantor Polisi tidak boleh berkesan menakutkan serta harus mencitrakan ramah dengan penuh salam, senyum dan sapa.
Untuk itu selain atmosfir ramah tersebut, menurut Andrea, demi keselamatan bersama, pelayanan markas polisi juga perlu dilengkapi dengan upaya dan alat pendeteksian dini serta pencegahan
Atas kejadian ini, lanjut Andrea, agar mencegah untuk tidak terulang kembali, maka perlu dilakukan evaluasi atas sistem pengamanan markas di Mabes Polri dan juga mengevaluasi kinerja personel di antaranya Kapolda PMJ sebagai penanggung jawab wilayah.
"Mabes Polri yang berada di Propinsi DKI bukan hanya sebagai simbol Polri, tetapi juga simbol dari keamanan wilayah Propinsi DKI yang merupakan Ibu Kota NKRI,"tegasnya.
Serta Kadensus sebagai penanggung jawab pendeteksian dan pencegahan aksi terorisme dan Kadiv Propam sebagai penanggung jawab Pengamanan Internal.
"Kayanma sebagai penanggung jawab detasemen markas dan pelayanan markas, termasuk dalam upaya pendeteksian dan pencegahan agar tidak terulang kembali lolosnya orang masuk membawa senjata. Akan tetapi nuansa ramah dalam pelayanan publik tidak boleh dihilangkan juga,"ujarnya.
Andrea berharap, untuk perbaikan kualitas dan sinergi internal Polri, maka perlu ada Irwasum yang memimpin langsung Pemeriksaan Khusus serta Audit Investigative yang dilakukan Irwasum beserta jajarannya terhadap mereka mereka yang disebut di atas terkait dengan kejadian di Mabes Polri tersebut.
"Saya agak bingung mengapa terutama Polda Metro Jaya dan Densus 88 Anti Teror dapat kecolongan seperti ini,"ungkapnya.
Diakui Andrea, mengingat sejak kejadian KM 50 hingga penangkapan di Makassar dan kemudian belakangan hari di Jakarta yang walau secara profesional seharusnya kejadian di Mabes Polri ini sudah bisa diprediksi.
"Karena diantaranya ada upaya menunjukan bahwa FPI terkait dengan beberapa kegiatan terorisme atau radikalisme kaitannya dengan penangkapan beberapa waktu belakangan ini seperti di Makassar dan Condet,"demikian Andrea yang juga dosen STIK-PTIK.
"Dengan keadaan tidak tahu senjata yang digunakan pelaku apakah Air Gun yang sudah dimodifikasi atau tidak, yang jelas pada saat itu ancaman yang dapat mengakibatkan kematian atau luka berat bisa saja terjadi. Wajar tidak perlu ada peringatan dan langsung menembak hingga akhirnya mematikan,"ungkap mantan komisioner Kompolnas Anrea H Poelongan dalam keterangan tertulis diterima ANTARA, Jumat.
Penembakan terhadap pelaku teror, lanjutnya, hal ini telah sesuai dengan Peraturan Kapolri No 8 tahun 2009 tentang implementasi prinsip dan standar hak asasi manusia dalam penyelenggaraan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Andrea menyebut, pada pasal 47 ayat (1) penggunaan senjata api hanya boleh digunakan bila benar-benar diperuntukkan untuk melindungi nyawa manusia.
"Senjata api bagi petugas hanya boleh digunakan dalam hal menghadapi keadaan luar biasa, membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat dan membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka berat serta mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa orang,"katanya.
Bahkan dalam Perkapolri juga, lanjutnya, menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa dan menangani situasi yang membahayakan jiwa, dimana langkah-langkah yang lebih lunak tidak cukup.
Sementara di pasal 48 perkapolri tahun 2009, menurut Andrea, setiap petugas Polri dalam melakukan tindakan kepolisian dengan menggunakan senjata api harus memedomani prosedur penggunaan senjata api.
Petugas memahami prinsip penegakan hukum legalitas, nesesitas dan proporsionalitas dan sebelum menggunakan senjata api, petugas harus memberikan peringatan yang jelas dengan cara menyebutkan dirinya sebagai petugas atau anggota Polri yang sedang bertugas.
"Memberi peringatan dengan ucapan secara jelas dan tegas kepada sasaran untuk berhenti, angkat tangan, atau meletakkan senjatanya dan memberi waktu yang cukup agar peringatan dipatuhi,"katanya.
Bahkan dalam keadaan yang sangat mendesak lanjutnya, dimana penundaan waktu diperkirakan dapat mengakibatkan kematian atau luka berat bagi petugas atau orang lain disekitarnya, peringatan sebagaimana dimaksud pada huruf b tidak perlu dilakukan.
Andreas mengakui, sebagai instansi pelayanan publik Kantor Polisi tidak boleh berkesan menakutkan serta harus mencitrakan ramah dengan penuh salam, senyum dan sapa.
Untuk itu selain atmosfir ramah tersebut, menurut Andrea, demi keselamatan bersama, pelayanan markas polisi juga perlu dilengkapi dengan upaya dan alat pendeteksian dini serta pencegahan
Atas kejadian ini, lanjut Andrea, agar mencegah untuk tidak terulang kembali, maka perlu dilakukan evaluasi atas sistem pengamanan markas di Mabes Polri dan juga mengevaluasi kinerja personel di antaranya Kapolda PMJ sebagai penanggung jawab wilayah.
"Mabes Polri yang berada di Propinsi DKI bukan hanya sebagai simbol Polri, tetapi juga simbol dari keamanan wilayah Propinsi DKI yang merupakan Ibu Kota NKRI,"tegasnya.
Serta Kadensus sebagai penanggung jawab pendeteksian dan pencegahan aksi terorisme dan Kadiv Propam sebagai penanggung jawab Pengamanan Internal.
"Kayanma sebagai penanggung jawab detasemen markas dan pelayanan markas, termasuk dalam upaya pendeteksian dan pencegahan agar tidak terulang kembali lolosnya orang masuk membawa senjata. Akan tetapi nuansa ramah dalam pelayanan publik tidak boleh dihilangkan juga,"ujarnya.
Andrea berharap, untuk perbaikan kualitas dan sinergi internal Polri, maka perlu ada Irwasum yang memimpin langsung Pemeriksaan Khusus serta Audit Investigative yang dilakukan Irwasum beserta jajarannya terhadap mereka mereka yang disebut di atas terkait dengan kejadian di Mabes Polri tersebut.
"Saya agak bingung mengapa terutama Polda Metro Jaya dan Densus 88 Anti Teror dapat kecolongan seperti ini,"ungkapnya.
Diakui Andrea, mengingat sejak kejadian KM 50 hingga penangkapan di Makassar dan kemudian belakangan hari di Jakarta yang walau secara profesional seharusnya kejadian di Mabes Polri ini sudah bisa diprediksi.
"Karena diantaranya ada upaya menunjukan bahwa FPI terkait dengan beberapa kegiatan terorisme atau radikalisme kaitannya dengan penangkapan beberapa waktu belakangan ini seperti di Makassar dan Condet,"demikian Andrea yang juga dosen STIK-PTIK.