Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia (UI) Hamdi Muluk mengatakan Tanah Papua merupakan mozaik Indonesia yang perlu dirawat dan dipertahankan.
“Merawat NKRI itu tugas kita bersama. Jadi tantangannya, kalau kita bisa merawat Papua, itu artinya kita bisa merawat NKRI secara keseluruhan. Papua adalah mozaik indonesia yang sangat penting,” kata Hamdi dalam keterangan diterima di Jakarta, Selasa.
Pernyataan itu disampaikan Hamdi dalam Bedah Buku Kapolda Papua Barat, Irjen Pol Tornagogo Sihombing berjudul Menyulam NKRI, Merawat Rasa Aman, Senin (12/4).
Banyak pendapat yang menyebut, persoalan Papua sudah banyak menghabiskan dana yang cukup besar dan pembangunan fisik yang masif tetapi belum juga selesai. Pandangan itu menurutnya keliru. Persoalan di Papua adalah terkait identitas sosial.
“Ini harus ada titik keseimbangan yang pas. Nasionalisme indonesia, itu loyalitas NKRI tidak bisa ditawar lagi. NKRI final. Penghargaan terhadap identitas lokal itu penting. Harus dicari pengaturan publik yang pas,” jelas Hamdin.
Senada dengan Hamdi Muluk, Irjen Tornagogo Sihombing menjelaskan Papua dan Papua Barat merupakan mozaik Indonesia yang perlu dirawat.
“Memerhatikan Papua sama dengan memerhatikan negara secara utuh. Tidak benar jika kita tidak memikirkan Papua, kita mengaku memikirkan Indonesia,” kata Tornagogo.
Menurut dia, tidak ada satu teori pun yang dapat menyelesaikan konflik di manapun termasuk konflik yang terjadi di tanah Papua. Menurut dia, dengan menerapkan kasih dan damai, bisa merawat keberagaman hingga penyelesaian masalah yang ada di Papua
Tornagogo menjelaskan persoalan utama di Papua Barat. Persoalan utama tersebut adalah penyalahgunaan Miras, perusakan lingkungan, serta revitalisasi adat termasuk kasus-kasus gerakan separatis.
“Kami berharap bisa lebih mudah menerapkan semboyan, Waaja Keema Nene Kapoka yang artinya melayani dengan hati dan membangun dengan kasih,” jelasnya.
Buku setebal 251 halaman ditulis berdasarkan buah pemikiran Tornagogo selama menjabat sebagai Kapolda Papua Barat Desember 2019. Bekerjasama dengan penerbit Arsip Metro, buku dibagi enam bab yang terdiri dari Kilau Emas di Pegunungan, Dijajah Miras , Separatis KNPB di Papua Barat, Kejahatan dan Peradaban, “Mantera” Manu Yaba Nonti dan Zamrud Raja Ampat.
Sementara itu, Guru Besar Kriminologi UI, Muhamad Mustofa menjelaskan, banyak kebijakan publik seragam dari Sabang sampai Marauke. Padahal Indonesia sangat sangat beragam dengan adat dan budaya. Kebijakan yang bercirikan pluralisme termasuk hukum nasional.
Kata Mustofa, itu harus mengakui pluralisme agar hukum nasional dan hukum adat yang asli bangsa Indonesia itu tidak
“Slogan Bhinneka Tunggal Ika sering disebutkan tapi kebijakan-kebijakannya tidak mencerminkan,” jelasnya.
Dia menyoroti persoalan konsumsi miras di Papua Barat yang dinilai sebagai bentuk manipulasi budaya oleh pendatang yang merusak tradisi dan adat.
“Oleh karena itu direkomendasikan untuk melakukan revitalisasi budaya. Tidak mudah dihilangkan secara seketika, perlu proses yang panjang untuk kebijakan yang ditawarkan
“Bukan melarang secara total tetapi harus ada pengaturan. Pengaturan itu harus disosialisasikan, siapa yang mensosialisasikan? Tokoh agama, adat,” jelasnya.
Dia menyebut, buku Menyulam NKRI, Merawat Rasa Aman merupakan hasil penelitian kualitatif yang bersifat komprehensif tentang gejala gangguan keamanan ketertiban masyarakat di wilayah Papua Barat.
“Ini merupakan data yang bermanfaat bagi pencarian jalan keluar dalam menghadapi masalah gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat yang dapat dijadikan landasan pembuatan kebijakan di tingkat Papua Barat,” kata Mustofa.
“Merawat NKRI itu tugas kita bersama. Jadi tantangannya, kalau kita bisa merawat Papua, itu artinya kita bisa merawat NKRI secara keseluruhan. Papua adalah mozaik indonesia yang sangat penting,” kata Hamdi dalam keterangan diterima di Jakarta, Selasa.
Pernyataan itu disampaikan Hamdi dalam Bedah Buku Kapolda Papua Barat, Irjen Pol Tornagogo Sihombing berjudul Menyulam NKRI, Merawat Rasa Aman, Senin (12/4).
Banyak pendapat yang menyebut, persoalan Papua sudah banyak menghabiskan dana yang cukup besar dan pembangunan fisik yang masif tetapi belum juga selesai. Pandangan itu menurutnya keliru. Persoalan di Papua adalah terkait identitas sosial.
“Ini harus ada titik keseimbangan yang pas. Nasionalisme indonesia, itu loyalitas NKRI tidak bisa ditawar lagi. NKRI final. Penghargaan terhadap identitas lokal itu penting. Harus dicari pengaturan publik yang pas,” jelas Hamdin.
Senada dengan Hamdi Muluk, Irjen Tornagogo Sihombing menjelaskan Papua dan Papua Barat merupakan mozaik Indonesia yang perlu dirawat.
“Memerhatikan Papua sama dengan memerhatikan negara secara utuh. Tidak benar jika kita tidak memikirkan Papua, kita mengaku memikirkan Indonesia,” kata Tornagogo.
Menurut dia, tidak ada satu teori pun yang dapat menyelesaikan konflik di manapun termasuk konflik yang terjadi di tanah Papua. Menurut dia, dengan menerapkan kasih dan damai, bisa merawat keberagaman hingga penyelesaian masalah yang ada di Papua
Tornagogo menjelaskan persoalan utama di Papua Barat. Persoalan utama tersebut adalah penyalahgunaan Miras, perusakan lingkungan, serta revitalisasi adat termasuk kasus-kasus gerakan separatis.
“Kami berharap bisa lebih mudah menerapkan semboyan, Waaja Keema Nene Kapoka yang artinya melayani dengan hati dan membangun dengan kasih,” jelasnya.
Buku setebal 251 halaman ditulis berdasarkan buah pemikiran Tornagogo selama menjabat sebagai Kapolda Papua Barat Desember 2019. Bekerjasama dengan penerbit Arsip Metro, buku dibagi enam bab yang terdiri dari Kilau Emas di Pegunungan, Dijajah Miras , Separatis KNPB di Papua Barat, Kejahatan dan Peradaban, “Mantera” Manu Yaba Nonti dan Zamrud Raja Ampat.
Sementara itu, Guru Besar Kriminologi UI, Muhamad Mustofa menjelaskan, banyak kebijakan publik seragam dari Sabang sampai Marauke. Padahal Indonesia sangat sangat beragam dengan adat dan budaya. Kebijakan yang bercirikan pluralisme termasuk hukum nasional.
Kata Mustofa, itu harus mengakui pluralisme agar hukum nasional dan hukum adat yang asli bangsa Indonesia itu tidak
“Slogan Bhinneka Tunggal Ika sering disebutkan tapi kebijakan-kebijakannya tidak mencerminkan,” jelasnya.
Dia menyoroti persoalan konsumsi miras di Papua Barat yang dinilai sebagai bentuk manipulasi budaya oleh pendatang yang merusak tradisi dan adat.
“Oleh karena itu direkomendasikan untuk melakukan revitalisasi budaya. Tidak mudah dihilangkan secara seketika, perlu proses yang panjang untuk kebijakan yang ditawarkan
“Bukan melarang secara total tetapi harus ada pengaturan. Pengaturan itu harus disosialisasikan, siapa yang mensosialisasikan? Tokoh agama, adat,” jelasnya.
Dia menyebut, buku Menyulam NKRI, Merawat Rasa Aman merupakan hasil penelitian kualitatif yang bersifat komprehensif tentang gejala gangguan keamanan ketertiban masyarakat di wilayah Papua Barat.
“Ini merupakan data yang bermanfaat bagi pencarian jalan keluar dalam menghadapi masalah gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat yang dapat dijadikan landasan pembuatan kebijakan di tingkat Papua Barat,” kata Mustofa.