Jayapura (ANTARA) - Koordinator Forum Komunikasi Lintas Kerukunan Nusantara (FKLKN) Provinsi Papua Junaedi Rahim meminta kalangan media massa dalam memberikan sesuatu kejadian peristiwa harus sesuai fakta serta tidak menyajikan informasi tidak benar (hoaks) dan provokatif yang dapat menimbulkan banyak opini.

"Pemberitaan dari sebuah media lokal jubi di Jayapura bahwa guru yang ditembak KKB adalah mata-mata, dan ini tidak benar. Tentu kami minta aparat menyelidiki media bersangkutan,"harap Ketua FKLKN Junaedi Rahum dalam keterangan tertulis di Jayapura, Senin.

Ia mengakui, ketika informasi yang disajikan media salah maka sudah membuat provokasi yang tidak benar dan nanti akan menimbulkan banyak opini publik.

Junaedi Rahim mengigatkan, media harus memuat berita yang lebih berimbang dengan menghadirkan pernyataan dari pihak atau instansi terkait agar lengkap dan tidak menimbulkan pemahaman yang salah serta  tidak terkesan mendeskreditkan atau menyudutkan profesi seorang guru ataupun oknum warga.

Karena stigma sebagai mata-mata bisa tersemat kepada siapa saja, menurut Junaedi, terutama warga non Papua. Korban yang ditembak KKB adalah guru dan ada juga tukang ojek yang tidak pernah berafiliasi terhadap politik atau apapun.

"Mereka yang menjadi korban penembakan hanya masyarakat biasa dan guru. Dan itu kita sudah kami tanyakan kepada pihak keluarga, bahwa mereka betul-betul sebagai guru dan sekaligus membantah pernyataan dari kelompok tertentu atau pun pemberitaan dari Jubi yang beritakan hoax karena sumbernya tak jelas,"tambahnya.

Terkait hal ini, Junaedi mengaku pihaknya akan segera menelaah lebih detail lagi soal pemberitaan yang diyakini telah merugikan publik dan bisa menimbulkan pandangan yang salah soal keberadaan guru serta warga non Papua.

"Besok kita akan menelaah lebih detai tentang isi pemberitaan. Yang jelas dari rapat tadi sudah mengemuka soal pemberitaan media lokal Jayapura yang mengarah pada suatu pernyataan atau pemberitaan yang tidak bertangungjawab. Masa begitu cepat dinyatakan sebagai mata-mata, padahal itu adalah seorang guru,"katanya.

Junaedi mengingatkan, sarusnya pekerja media dalam membuat suatu berita perlu ada konfirmasi kepada pihak terkait sehingga tidak asal berita.

"Kami ada divisi hukum yang akan menelaah. Jika itu menyangkut pidana, kami akan ke Polda secepatnya untuk disikapi dan kami minta Kapolda harus tindak karena infornasinya sangat meresahkan orang banyak di pedalaman,"katanya.

Untuk itu, Junaedi meminta agar dalam pemberitaan lebih mengedepankan kesejukkan, bukan sebaliknya yang bisa membuat kegaduhan di tengah bulan Ramadhan.

Junaedi mengharapkan, hal ini tidak boleh terjadi karena seorang jurnalis dalam menyajikan informasi berita haruskan berimbang.

"Sampai hari ini saja disana, tidak ada berita bela sungkawa, sedikit pun rasa empati tidak ada bahwa dia sudah meninggal atau sudah dibunuh, mungkin karena berita itu juga membuat takut. Apakah seluruh pendatang ini mata-mata. Apalagi situasi politik di Papua sedang panas soal pembahasan Otsus. Sehingga hindari jangan sampai terjadi, kita hidup di Papua itu ingin damai, jangan hanya slogan saja,"ujarnya.

Pada momentum ini, Junaedi juga berpesan kepada semua pihak agar bisa menahan diri terkait masalah itu sehingga tidak meluas dan bijak dalam menyikapi informasi yang berkembang dengan tidak mudah terhasut isu yang menyesatkan yang bisa memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.

"Kepada saudara-saudara kita di daerah untuk sementara waktu menahan diri tidak terprovokasi, kita akan terus mendorong pemerintah, Polda dan Kodam XVII/Cenderawasih untuk usut kasus ini. Kami juga menyatakan keprihatinan dan turut belasungkawa sedalam-dalamnya atas kasus ini. Kita berdoa agar almarhum dapat diterima ibadahnya dan diterima disisiNya,” pesan Junaedi.

Sementara itu, tokoh masyarakat Jawa-Madura Sarminanto menambahkan jika saja guru tersebut seorang mata-mata seperti diberitakan di media Jubi, sudah pasti ada upacara militer yang dilakukan saat penguburan, tetapi hal ini tidak terjadi kepada guru yang dituding sebagaimana dalam berita tersebut.

"Kalau disebut mata-mata itu pasti anggota kan? Sementara guru yang meninggal itu tidak dimakamkan secara militer atau secara kepolisian, itu berarti bukan mata-mata. Jadi, tidak seperti yang dituduhkan,"katanya.

Guru honorer SD Inpres Kelemabet Beoga Kabupaten Puncak Oktovianus Rayo (40) dan Yiini ditembak dua kali hingga meninggal dunia pada Kamis (8/4) sekitar pukul 10.00 WIT di Kampung Julogoma Distrik Beoga.

 

Pewarta : Redaktur Papua
Editor : Editor Papua
Copyright © ANTARA 2024