Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif The Indonesian Institute (TII) Adinda Tenriangke Muchtar menilai Hari Lahir Pancasila menjadi momentum bagi bangsa Indonesia melindungi kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat khususnya dalam mengkritisi kebijakan publik di ruang digital.
Dia menilai salah satu sila yang sangat penting dalam upaya menegakkan demokrasi di Indonesia adalah Sila ke-4 Pancasila.
"Namun, kondisi kebebasan berekspresi di Indonesia, khususnya dalam mengkritisi kebijakan publik di ruang digital, berada dalam situasi yang rentan dan meresahkan," kata Adinda dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.
Dia menilai ada berbagai alasan yang digunakan untuk menjerat suara kritis warga negara seperti kasus peretasan terhadap suara-suara kritis terhadap pemerintah di ruang digital.
Selain itu menurut dia, rentan-nya perlindungan data pribadi terutama dalam kasus yang rentan dengan aspek relasi kuasa, beserta kriminalisasi dengan dasar UU ITE dan alasan seperti penghinaan, pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan, dan stabilitas dan ketertiban publik.
"Sejati-nya, ekspresi publik seharusnya dilihat sebagai bagian dari partisipasi publik dalam proses kebijakan, termasuk di ranah digital dan dalam konteks demokrasi dan tata kelola pemerintahan digital," ujarnya.
Adinda menyampaikan keresahan itu juga diangkat dalam studi kebijakan TII melalui pendekatan kualitatif (Januari-Mei 2021) dan studi TII tersebut memfokuskan pada kondisi kebebasan berekspresi di dunia maya, khususnya terkait suara kritis terhadap pemerintah dan UU ITE.
Menggunakan model penerapan kebijakan publik Merilee S. Grindle, TII mengelaborasi permasalahan ini dengan merujuk pada aspek dan dinamika konten UU ITE dan konteks penerapannya.
Dalam studi itu menurut dia, TII menggunakan beberapa kerangka konsep seperti kebebasan berekspresi; ruang digital; "digital democracy and governance", politik legal, serta kebijakan publik pemetaan dan penerapannya untuk menganalisis topik ini dan memberikan rekomendasi kebijakan yang relevan dan kontekstual.
Adinda menjelaskan, TII mengajukan rekomendasi untuk mendorong dan melindungi kebebasan berekspresi, termasuk dalam mengkritisi pemerintah di dunia maya di Indonesia.
"Di aspek legal, TII juga mendesak revisi UU ITE, khususnya terkait pasal-pasal yang multi interpretasi dan mengancam HAM dan kebebasan, serta memformulasikan peraturan dan peraturan pelaksana dengan perspektif HAM dan kebebasan agar dapat diterapkan oleh panegak hukum dan para pihak terkait," tutur-nya.
Menurut dia, TII juga mendesak agar pasal-pasal terkait sanksi UU ITE tidak lagi menerapkan sanksi pidana dan harus melindungi data pribadi.
Dia menilai, Pemerintah dan DPR juga harus mendefinisikan dengan jelas perbedaan ekspresi yang dijustifikasi sebagai bagian kebebasan dan yang terhitung sebagai penghinaan.
Menurut dia, masyarakat sipil harus dilibatkan dalam prosesnya untuk menghapus ketentuan yang mengancam HAM dan mengembalikan UU ITE seperti tujuan awalnya yaitu melindungi warga dalam melakukan transaksi elektronik maupun berhubungan dengan informasi di dunia digital, dengan tetap melindungi aspek HAM dan kebebasan berekspresi.
"Dengan kata lain, sanksi pidana seharusnya dikembalikan ke Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)," ujarnya.
Adinda menjelaskan, aspek legal dan politik legal yang mendasari-nya, juga tidak lepas dari aspek penerapannya oleh pelaksana kebijakan.
Menurut dia, TII merekomendasikan perbaikan penegakan hukum UU IT dengan mendorong penegak hukum yang berperspektif HAM yang lebih baik, apakah melalui PTIK dan jalur pendidikan dan sosialisasi, serta internalisasi lainnya.
"Kami juga mendorong penerapan keadilan restoratif dan tidak diskriminatif dengan pembagian tugas yang jelas antara Kominfo, Polisi, dan Pengadilan," ujarnya.
Adinda menilai kebebasan berekspresi di dunia digital juga sangat membutuhkan literasi digital oleh semua pihak, bukan hanya pemerintah dan penegak hukum, namun juga masyarakat umum.
Hal itu menurut dia sangat penting agar masyarakat bijak dan memahami konteks dalam berekspresi di dunia maya.
"Studi TII merekomendasikan kolaborasi Kominfo dengan Kepolisian dan Kemendikbudristek, serta masyarakat sipil terkait untuk mendorong literasi digital yang lebih baik di Indonesia," ujarnya.
Dia menilai dibutuhkan kesadaran dan komitmen bersama untuk mendorong dan melindungi kebebasan berekspresi, termasuk bersuara kritis di dunia digital, di Indonesia.