Timika, Papua (ANTARA) - Suku Kamoro adalah salah satu suku yang berada di wilayah pesisir selatan Provinsi Papua, tepatnya di Kabupaten Mimika. Dari suku ini, muncul prestasi yang membanggakan, di mana salah satu putra daerah itu berhasil menjadi doktor pertama.
Ya, sosok itu adalah Dr Leonardus Tumuka, doktor pertama dari Suku Kamoro yang menyelesaikan studi strata tiga (S3) pada pada University of the Philipines Los Banos, Filipina, tahun 2015.
Ada yang menarik dari capaian prestasi putra Suku Kamoro itu. Rupanya, Leonardus Tumuka menjadi salah satu peserta penerima beasiswa dari Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah Umum Kemendikbud pada 2002 hingga 2005.
Dalam perbincangan dengan ANTARA di Timika, Rabu (2/6) 2021, Leo, demikian sapaan akrabnya, menceritakan bahwa pada 2002 setelah menamatkan pendidikan di bangku SMP YPPK Santo Bernadus Timika, ia terpilih bersama 71 putra-putri Papua lainnya untuk dikirim ke berbagai SMA di Pulau Jawa.
Ia bersama empat rekannya melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri 2 Madiun, Jawa Timur.
"Kami ada 72 orang dari seluruh Papua yang dikirim ke Pulau Jawa. Kami yang di Madiun ada 15 orang, 5 orang di antaranya, termasuk saya masuk di SMA Negeri 2 Madiun. Rekan-rekan yang lain tersebar di berbagai kota, ada yang di Jombang, Gresik, Sidoarjo, Solo, Ambarawa, bahkan Jakarta," katanya.
Bekal pendidikan di Pulau Jawa itu rupanya sangat membantu Leo dan rekan-rekannya untuk bisa menapak ke jenjang pendidikan lebih tinggi.
"Saya bersyukur ikut dalam program afirmasi itu dan kami 72 orang ditempatkan di sekolah-sekolah unggulan di Pulau Jawa yang rata-rata siswanya cerdas semua. Masuk ke sekolah unggulan di Pulau Jawa tentu menjadi tantangan berat bagi kami dari Papua," kata pria kelahiran Kampung Koperapoka, Mimika, 20 Juli 1984 itu.
Usai tamat dari SMA Negeri 2 Madiun, Leo melanjutkan studi strata satu (S1) ke Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Pasundan, Bandung, hingga lulus pada 2009.
Pada saat awal kuliah, Leo mengaku menggantungkan hidup dari kiriman orang tua yang hanya berprofesi sebagai petani serabutan.
Sambil kuliah itu, ia menyambi bekerja sebagai salesman atau tenaga penjualan.
Memasuki semester 5, Leo mendapatkan bantuan beasiswa BBM dari Pemerintak Kabupaten Bandung lantaran tergolong mahasiswa dari keluarga kurang mampu.
Selanjutnya, ia mendapatkan bantuan beasiswa dari Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK) yang kini berubah nama menjadi YPMAK hingga jenjang strata dua (S2) pada Universitas Katolik Soegiyapranoto, Semarang hingga lulus pada 2011, dan bahkan bisa melanjutkan studi hingga jenjang strata tiga (S-3) di Filipina.
Wakil Bupati Mimika, Provinsi Papua, Johannes Rettob foto bersama putra-putri Mimika yang menjadi peserta program beasiswa YPMAK di Sekolah Lokon, Tomohon, Sulawesi Utara. (FOTO ANTARA/Evarianus Supar)
Dana Otsus
Leo menyebutkan bahwa dengan banyaknya tawaran beasiswa yang disediakan oleh pemerintah saat ini kepada anak-anak asli Papua, terutama melalui program afirmasi dari sumber dana Otonomi Khusus (Otsus) Papua, maka sudah seharusnya hal itu memotivasi generasi muda Papua untuk bisa meraih prestasi akademik yang membanggakan.
Hanya saja dalam praktiknya, kata Leo, program afirmasi pendidikan melalui dana Otsus Papua itu belum menjangkau seluruh generasi muda asli Papua di berbagai kabupaten/kota.
"Saya belum pernah mendengar ada pengumuman resmi dari pemerintah daerah yang membuka peluang dan kesempatan bagi anak-anak asli Papua untuk bisa melanjutkan pendidikan melalui program afirmasi yang didanai dari sumber dana Otsus Papua itu. Kalau di Mimika, selama ini anak-anak asli, terutama tujuh suku berharap satu-satunya beasiswa itu dari PT Freeport Indonesia melalui YPMAK," katanya.
Sehubungan dengan itu, Leo berharap Pemprov Papua maupun pemkab/pemkot di daerah masing-masing membuka secara terang-benderang ruang informasi perekrutan calon mahasiswa penerima bantuan beasiswa program afirmasi dari sumber dana Otsus.
Salah satu kelemahan utama yang mengakibatkan anak-anak asli Papua terutama di wilayah Mimika tidak banyak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, bahkan tidak sedikit yang gagal alias drop-out, yaitu karena kualitas pendidikan dasar yang tidak memadai.
"Kita punya persoalan serius dengan kualitas pendidikan dasar di Mimika dan Papua secara umum. Padahal pendidikan dasar merupakan cikal bakal bagi setiap anak apakah mereka siap untuk bersaing hingga pendidikan lanjutan," katanya.
Selain itu, keterlibatan dan dukungan orang tua bagi pendidikan putra-putrinya juga memainkan peran yang sangat penting.
Rata-rata para orang tua di Mimika, terutama dari Suku Kamoro, kata Leo, belum begitu paham apa pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka.
Ketika orang tua tidak mendorong bahkan memaksa anak-anaknya untuk sekolah, maka tidak heran anak-anak tidak memiliki motivasi untuk belajar.
Peduli pendidikan
Leo mengaku bersyukur karena lahir dari orang tua yang sangat peduli terhadap pendidikan putra-putrinya.
Masa kecil Leo dilalui dengan penuh tantangan dan kesulitan. Orang tuanya sakit-sakitan. Bahkan Leo sekeluarga harus terusir dari rumah besarnya di Koperapoka dan harus tinggal di kawasan gorong-gorong.
Sebagai anak tertua dari 10 bersaudara, Leo harus membanting tulang membantu orang tuanya agar keluarganya bisa bertahan hidup.
"Setiap hari saya pergi menjaring ikan, mencari kangkung liar, mencari keladi, memasak dan mencari kayu bakar untuk bisa menghidupi keluarga," tutur Leo.
Kondisi hidup yang begitu sulit dan keras membuat Leo sempat tidak masuk sekolah selama berbulan-bulan. Beruntung guru SD Inpres Koperapoka, tempat Leo bersekolah, membujuk dan merayunya untuk kembali ke sekolah.
"Perjalanan hidup saya bagaikan mukjizat dari Tuhan. Saya sebetulnya sudah tidak mau sekolah lagi, tapi bapak guru cari saya di rumah lalu mengajak untuk datang lagi ke sekolah. Mungkin karena hidup kami saat itu susah sekali, Tuhan lalu membuka jalan untuk saya," katanya.
Kini sehari-hari Leo bekerja pada Departemen Community Affairs PT Freeport Indonesia di Kuala Kencana dengan jabatan sebagai Senior Liaison Officer merangkap sebagai Ketua Yayasan Caritas Timika (YCTP) yang mengelola Rumah Sakit Mitra Masyarakat (RSMM) Timika.
Kepada generasi muda Papua, Leo berpesan agar menimba ilmu setinggi-tingginya dengan memanfaatkan sarana dan prasarana yang sudah disiapkan oleh pemerintah maupun berbagai pemangku kepentingan lainnya.
"Kita sekolah jangan karena ada beasiswa. Tapi sekolahlah untuk hidup dan masa depan. Ketika dikasi kesempatan untuk mendapatkan beasiswa dari pemerintah atau perusahaan, belajar yang serius dengan merain Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang bagus," katanya.
Saat ini, katanya, jabatan-jabatan penting dan strategis di lingkup manajemen PT Freeport Indonesia diisi oleh putra-putri asli Papua karena mereka memiliki kapasitas kemampuan yang memadai untuk bisa bersaing dengan orang lain.
Ia berpesan yang paling penting itu membangun karakter diri yang baik. Jangan mentang-mentang anak asli, lalu belajar santai-santai dan kemudian pulang menuntut mau dapat jabatan.
Bekerja di dunia industri butuh orang-orang profesional. Kalau kita memiliki keunggulan, melamar kerja di mana pun pasti akan diterima.
Pengalaman Leonardus Tumuka, doktor pertama dari Suku Kamoro itu, agaknya bisa menjadi pemicu putra-putri Papua lainnya mengikuti jejak keberhasilan itu.
Ya, sosok itu adalah Dr Leonardus Tumuka, doktor pertama dari Suku Kamoro yang menyelesaikan studi strata tiga (S3) pada pada University of the Philipines Los Banos, Filipina, tahun 2015.
Ada yang menarik dari capaian prestasi putra Suku Kamoro itu. Rupanya, Leonardus Tumuka menjadi salah satu peserta penerima beasiswa dari Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah Umum Kemendikbud pada 2002 hingga 2005.
Dalam perbincangan dengan ANTARA di Timika, Rabu (2/6) 2021, Leo, demikian sapaan akrabnya, menceritakan bahwa pada 2002 setelah menamatkan pendidikan di bangku SMP YPPK Santo Bernadus Timika, ia terpilih bersama 71 putra-putri Papua lainnya untuk dikirim ke berbagai SMA di Pulau Jawa.
Ia bersama empat rekannya melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri 2 Madiun, Jawa Timur.
"Kami ada 72 orang dari seluruh Papua yang dikirim ke Pulau Jawa. Kami yang di Madiun ada 15 orang, 5 orang di antaranya, termasuk saya masuk di SMA Negeri 2 Madiun. Rekan-rekan yang lain tersebar di berbagai kota, ada yang di Jombang, Gresik, Sidoarjo, Solo, Ambarawa, bahkan Jakarta," katanya.
Bekal pendidikan di Pulau Jawa itu rupanya sangat membantu Leo dan rekan-rekannya untuk bisa menapak ke jenjang pendidikan lebih tinggi.
"Saya bersyukur ikut dalam program afirmasi itu dan kami 72 orang ditempatkan di sekolah-sekolah unggulan di Pulau Jawa yang rata-rata siswanya cerdas semua. Masuk ke sekolah unggulan di Pulau Jawa tentu menjadi tantangan berat bagi kami dari Papua," kata pria kelahiran Kampung Koperapoka, Mimika, 20 Juli 1984 itu.
Usai tamat dari SMA Negeri 2 Madiun, Leo melanjutkan studi strata satu (S1) ke Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Pasundan, Bandung, hingga lulus pada 2009.
Pada saat awal kuliah, Leo mengaku menggantungkan hidup dari kiriman orang tua yang hanya berprofesi sebagai petani serabutan.
Sambil kuliah itu, ia menyambi bekerja sebagai salesman atau tenaga penjualan.
Memasuki semester 5, Leo mendapatkan bantuan beasiswa BBM dari Pemerintak Kabupaten Bandung lantaran tergolong mahasiswa dari keluarga kurang mampu.
Selanjutnya, ia mendapatkan bantuan beasiswa dari Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK) yang kini berubah nama menjadi YPMAK hingga jenjang strata dua (S2) pada Universitas Katolik Soegiyapranoto, Semarang hingga lulus pada 2011, dan bahkan bisa melanjutkan studi hingga jenjang strata tiga (S-3) di Filipina.
Dana Otsus
Leo menyebutkan bahwa dengan banyaknya tawaran beasiswa yang disediakan oleh pemerintah saat ini kepada anak-anak asli Papua, terutama melalui program afirmasi dari sumber dana Otonomi Khusus (Otsus) Papua, maka sudah seharusnya hal itu memotivasi generasi muda Papua untuk bisa meraih prestasi akademik yang membanggakan.
Hanya saja dalam praktiknya, kata Leo, program afirmasi pendidikan melalui dana Otsus Papua itu belum menjangkau seluruh generasi muda asli Papua di berbagai kabupaten/kota.
"Saya belum pernah mendengar ada pengumuman resmi dari pemerintah daerah yang membuka peluang dan kesempatan bagi anak-anak asli Papua untuk bisa melanjutkan pendidikan melalui program afirmasi yang didanai dari sumber dana Otsus Papua itu. Kalau di Mimika, selama ini anak-anak asli, terutama tujuh suku berharap satu-satunya beasiswa itu dari PT Freeport Indonesia melalui YPMAK," katanya.
Sehubungan dengan itu, Leo berharap Pemprov Papua maupun pemkab/pemkot di daerah masing-masing membuka secara terang-benderang ruang informasi perekrutan calon mahasiswa penerima bantuan beasiswa program afirmasi dari sumber dana Otsus.
Salah satu kelemahan utama yang mengakibatkan anak-anak asli Papua terutama di wilayah Mimika tidak banyak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, bahkan tidak sedikit yang gagal alias drop-out, yaitu karena kualitas pendidikan dasar yang tidak memadai.
"Kita punya persoalan serius dengan kualitas pendidikan dasar di Mimika dan Papua secara umum. Padahal pendidikan dasar merupakan cikal bakal bagi setiap anak apakah mereka siap untuk bersaing hingga pendidikan lanjutan," katanya.
Selain itu, keterlibatan dan dukungan orang tua bagi pendidikan putra-putrinya juga memainkan peran yang sangat penting.
Rata-rata para orang tua di Mimika, terutama dari Suku Kamoro, kata Leo, belum begitu paham apa pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka.
Ketika orang tua tidak mendorong bahkan memaksa anak-anaknya untuk sekolah, maka tidak heran anak-anak tidak memiliki motivasi untuk belajar.
Peduli pendidikan
Leo mengaku bersyukur karena lahir dari orang tua yang sangat peduli terhadap pendidikan putra-putrinya.
Masa kecil Leo dilalui dengan penuh tantangan dan kesulitan. Orang tuanya sakit-sakitan. Bahkan Leo sekeluarga harus terusir dari rumah besarnya di Koperapoka dan harus tinggal di kawasan gorong-gorong.
Sebagai anak tertua dari 10 bersaudara, Leo harus membanting tulang membantu orang tuanya agar keluarganya bisa bertahan hidup.
"Setiap hari saya pergi menjaring ikan, mencari kangkung liar, mencari keladi, memasak dan mencari kayu bakar untuk bisa menghidupi keluarga," tutur Leo.
Kondisi hidup yang begitu sulit dan keras membuat Leo sempat tidak masuk sekolah selama berbulan-bulan. Beruntung guru SD Inpres Koperapoka, tempat Leo bersekolah, membujuk dan merayunya untuk kembali ke sekolah.
"Perjalanan hidup saya bagaikan mukjizat dari Tuhan. Saya sebetulnya sudah tidak mau sekolah lagi, tapi bapak guru cari saya di rumah lalu mengajak untuk datang lagi ke sekolah. Mungkin karena hidup kami saat itu susah sekali, Tuhan lalu membuka jalan untuk saya," katanya.
Kini sehari-hari Leo bekerja pada Departemen Community Affairs PT Freeport Indonesia di Kuala Kencana dengan jabatan sebagai Senior Liaison Officer merangkap sebagai Ketua Yayasan Caritas Timika (YCTP) yang mengelola Rumah Sakit Mitra Masyarakat (RSMM) Timika.
Kepada generasi muda Papua, Leo berpesan agar menimba ilmu setinggi-tingginya dengan memanfaatkan sarana dan prasarana yang sudah disiapkan oleh pemerintah maupun berbagai pemangku kepentingan lainnya.
"Kita sekolah jangan karena ada beasiswa. Tapi sekolahlah untuk hidup dan masa depan. Ketika dikasi kesempatan untuk mendapatkan beasiswa dari pemerintah atau perusahaan, belajar yang serius dengan merain Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang bagus," katanya.
Saat ini, katanya, jabatan-jabatan penting dan strategis di lingkup manajemen PT Freeport Indonesia diisi oleh putra-putri asli Papua karena mereka memiliki kapasitas kemampuan yang memadai untuk bisa bersaing dengan orang lain.
Ia berpesan yang paling penting itu membangun karakter diri yang baik. Jangan mentang-mentang anak asli, lalu belajar santai-santai dan kemudian pulang menuntut mau dapat jabatan.
Bekerja di dunia industri butuh orang-orang profesional. Kalau kita memiliki keunggulan, melamar kerja di mana pun pasti akan diterima.
Pengalaman Leonardus Tumuka, doktor pertama dari Suku Kamoro itu, agaknya bisa menjadi pemicu putra-putri Papua lainnya mengikuti jejak keberhasilan itu.