Jakarta (ANTARA) - Mantan Kabareskrim Polri dan Dubes RI untuk Mesir Komjen Pol (Purn) Nurfaizi Suwandi mengatakan Indonesia membutuhkan semacam "benteng" guna menangkal paparan ideologi asing selain Pancasila dan menawarkan konsep The Greatwall Interception of Indonesia.
"Konsep keamanan berbasis teknologi informasi ini berperan sebagai tembok yang dapat membentengi rakyat Indonesia dari pengaruh luar, maupun dari dalam," kata dia melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.
Jika konsep itu diterima, Nurfaizi berpendapat pemerintah perlu membuat suatu undang-undang (UU) yang dapat membentengi serta mengakomodasi beragam tantangan dalam program sosialisasi nilai-nilai Pancasila. Pasalnya, UU yang ada saat ini belum bisa memenuhi kebutuhan tersebut.
Sementara itu, Pengamat Keamanan dan Pertahanan Prof Muradi mengakui bahwa sistem integritas keamanan nasional belum sempurna. Sebab, ada beberapa contoh kasus yang perlu diselesaikan seperti pencurian database kependudukan di Indonesia serta sanksi terhadap pelaku yang memperjualbelikan data.
"Masalah ini dan masalah krusial lain seperti pencurian rahasia negara perlu dilindungi dalam satu payung besar Undang Undang Keamanan Nasional," ujarnya.
Melihat pentingnya ekosistem keamanan, Muradi menilai kuncinya berada di tangan tiga pihak yang menjadi aktor, yakni intelijen, polisi, serta militer.
Para aktor penjaga keamanan tersebut harus senantiasa aktif dalam usaha membuat ekosistem yang terintegrasi baik demi menjaga keamanan nasional.
"Jika ketiga komponen keamanan tersebut sudah bersinergi baik, kita hanya tinggal merasakan manfaat dari ekosistem tersebut," kata Muradi.
Senada dengan itu, Pengamat Politik Boni Hargens memprediksi potensi ancaman untuk ketahanan nasional di masa mendatang yakni tindak pidana terorisme.
Boni meyakini akan terjadi fusi antara kelompok-kelompok teroris konvensional dengan kelompok-kelompok radikal.
"Yang kemungkinan muncul ke depan, saya petakan satu kemungkinan fusi atau terjadi penyatuan antara kelompok teroris konvensional dengan kelompok-kelompok radikal yang makin militan merespons hubungan mereka terhadap negara saat ini," tutur Boni.
Selain itu, Boni juga memprediksi akan lahir generasi kedua di kalangan radikal yang memang lebih mengarah pada tindak pidana terorisme. Hal semacam ini akan tetap terjadi bila negara masih kesulitan melakukan deradikalisasi.
"Konsep keamanan berbasis teknologi informasi ini berperan sebagai tembok yang dapat membentengi rakyat Indonesia dari pengaruh luar, maupun dari dalam," kata dia melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.
Jika konsep itu diterima, Nurfaizi berpendapat pemerintah perlu membuat suatu undang-undang (UU) yang dapat membentengi serta mengakomodasi beragam tantangan dalam program sosialisasi nilai-nilai Pancasila. Pasalnya, UU yang ada saat ini belum bisa memenuhi kebutuhan tersebut.
Sementara itu, Pengamat Keamanan dan Pertahanan Prof Muradi mengakui bahwa sistem integritas keamanan nasional belum sempurna. Sebab, ada beberapa contoh kasus yang perlu diselesaikan seperti pencurian database kependudukan di Indonesia serta sanksi terhadap pelaku yang memperjualbelikan data.
"Masalah ini dan masalah krusial lain seperti pencurian rahasia negara perlu dilindungi dalam satu payung besar Undang Undang Keamanan Nasional," ujarnya.
Melihat pentingnya ekosistem keamanan, Muradi menilai kuncinya berada di tangan tiga pihak yang menjadi aktor, yakni intelijen, polisi, serta militer.
Para aktor penjaga keamanan tersebut harus senantiasa aktif dalam usaha membuat ekosistem yang terintegrasi baik demi menjaga keamanan nasional.
"Jika ketiga komponen keamanan tersebut sudah bersinergi baik, kita hanya tinggal merasakan manfaat dari ekosistem tersebut," kata Muradi.
Senada dengan itu, Pengamat Politik Boni Hargens memprediksi potensi ancaman untuk ketahanan nasional di masa mendatang yakni tindak pidana terorisme.
Boni meyakini akan terjadi fusi antara kelompok-kelompok teroris konvensional dengan kelompok-kelompok radikal.
"Yang kemungkinan muncul ke depan, saya petakan satu kemungkinan fusi atau terjadi penyatuan antara kelompok teroris konvensional dengan kelompok-kelompok radikal yang makin militan merespons hubungan mereka terhadap negara saat ini," tutur Boni.
Selain itu, Boni juga memprediksi akan lahir generasi kedua di kalangan radikal yang memang lebih mengarah pada tindak pidana terorisme. Hal semacam ini akan tetap terjadi bila negara masih kesulitan melakukan deradikalisasi.