Jakarta (ANTARA) - Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Adriana Elisabeth menyampaikan terdapat empat hal kunci dalam implementasi perubahan kedua Undang-Undang (UU) Otonomi Khusus (Otsus) Papua.
Menurut Adriana Elisabeth saat dihubungi ANTARA, Senin, empat hal penting tersebut yakni sosialisasi, pendampingan, evaluasi, dan komunikasi.
Hal ini disampaikannya seiring dengan disetujuinya perubahan kedua UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua oleh DPR pada Kamis (15/7).
Adriana mengatakan, sosialisasi perubahan kedua UU Otsus Papua tersebut perlu dilakukan dengan baik agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.
“Penting bagi pemerintah untuk menjelaskan (alasan) penambahan pasal, perubahan pasal, hingga penghapusan pasal agar tidak memunculkan kesalahpahaman,” kata peneliti asal LIPI (yang sekarang menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional/BRIN) tersebut.
Menurut Adriana hal ini merupakan tindakan utama yang harus dilakukan oleh pemerintah mengingat minimnya keterlibatan orang-orang Papua dalam proses revisi UU Otsus tersebut.
Untuk pendampingan implementeasi UU Otsus Papua, menurut Adriana dilakukan dengan durasi yang ditentukan, bisa saja selama 20 tahun maupun hanya 5 tahun. Hal ini berfungsi untuk melihat capaian-capaian yang terjadi selama proses implementasi.
Apabila capaian yang terealisasikan tidak sesuai dengan target, maka tindakan ketiga adalah evaluasi bersama. “Sebelumnya, baik Pusat maupun Papua melakukan evaluasi mereka sendiri-sendiri. (Sebaiknya) evaluasi dilakukan bersama.”
Tindakan terakhir adalah membuka ruang untuk berkomunikasi. Menurut Adriana, kegagalan Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B) yang terdahulu adalah kesalahan komunikasi.
UP4B merupakan unit yang dibentuk pada era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di tahun 2011. Unit ini dibubarkan pada era Joko Widodo (Jokowi), dan kini pemerintahan Jokowi membentuk Badan Khusus Percepatan Pembangunan Papua (BKP3) untuk mengawal dan meningkatkan efektifitas pembangunan di Papua.
Adriana menambahkan bahwa BKP3 harus mendengar opini maupun kritik yang disampaikan oleh orang Papua, karena meskipun badan tersebut dibentuk oleh Pusat, mereka bekerja untuk masyarakat Papua.
“Mendengar, kemudian mencari solusi dan aksi yang nyata,” ucap Adriana.
Sementara itu, akademisi Universitas Cenderawasih Marinus Yaung mengatakan pentingnya sosialisasi untuk menghapus perspektif serta narasi-narasi negatif terkait kebijakan pemerintah di kalangan masyarakat.
“Melalui sosialisasi, perspektif seseorang dapat berubah terhadap sebuah aturan hukum,” kata Marinus.
Adapun lapisan-lapisan masyarakat yang menurut Marinus harus menerima sosialisasi tersebut adalah mahasiswa, tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh adat, serta seluruh elemen masyarakat, baik yang berseberangan dengan kebijakan pemerintah maupun yang mendukung.
Ia juga menekankan bahwa penting bagi pemerintah untuk menyediakan ruang berdialog guna memperoleh dukungan dari masyarakat Papua untuk melakukan implementasi UU Otsus yang baru.
“Mulai adakan dialog damai dengan kelompok-kelompok nasionalis Papua, baik yang di luar negeri maupun yang ada di Papua tentang memperkuat dan memberi dukungan terhadap konsep UU Otsus Papua ke depan,” kata Marinus memaparkan.
Marinus juga menekankan bahwa elemen masyarakat yang patut diajak berdialog oleh pemerintah bukan hanya dari kalangan pendukung kebijakan, namun juga dengan kelompok-kelompok resisten atau kelompok-kelompok perlawanan yang berada di Papua.
Menurut Adriana Elisabeth saat dihubungi ANTARA, Senin, empat hal penting tersebut yakni sosialisasi, pendampingan, evaluasi, dan komunikasi.
Hal ini disampaikannya seiring dengan disetujuinya perubahan kedua UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua oleh DPR pada Kamis (15/7).
Adriana mengatakan, sosialisasi perubahan kedua UU Otsus Papua tersebut perlu dilakukan dengan baik agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.
“Penting bagi pemerintah untuk menjelaskan (alasan) penambahan pasal, perubahan pasal, hingga penghapusan pasal agar tidak memunculkan kesalahpahaman,” kata peneliti asal LIPI (yang sekarang menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional/BRIN) tersebut.
Menurut Adriana hal ini merupakan tindakan utama yang harus dilakukan oleh pemerintah mengingat minimnya keterlibatan orang-orang Papua dalam proses revisi UU Otsus tersebut.
Untuk pendampingan implementeasi UU Otsus Papua, menurut Adriana dilakukan dengan durasi yang ditentukan, bisa saja selama 20 tahun maupun hanya 5 tahun. Hal ini berfungsi untuk melihat capaian-capaian yang terjadi selama proses implementasi.
Apabila capaian yang terealisasikan tidak sesuai dengan target, maka tindakan ketiga adalah evaluasi bersama. “Sebelumnya, baik Pusat maupun Papua melakukan evaluasi mereka sendiri-sendiri. (Sebaiknya) evaluasi dilakukan bersama.”
Tindakan terakhir adalah membuka ruang untuk berkomunikasi. Menurut Adriana, kegagalan Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B) yang terdahulu adalah kesalahan komunikasi.
UP4B merupakan unit yang dibentuk pada era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di tahun 2011. Unit ini dibubarkan pada era Joko Widodo (Jokowi), dan kini pemerintahan Jokowi membentuk Badan Khusus Percepatan Pembangunan Papua (BKP3) untuk mengawal dan meningkatkan efektifitas pembangunan di Papua.
Adriana menambahkan bahwa BKP3 harus mendengar opini maupun kritik yang disampaikan oleh orang Papua, karena meskipun badan tersebut dibentuk oleh Pusat, mereka bekerja untuk masyarakat Papua.
“Mendengar, kemudian mencari solusi dan aksi yang nyata,” ucap Adriana.
Sementara itu, akademisi Universitas Cenderawasih Marinus Yaung mengatakan pentingnya sosialisasi untuk menghapus perspektif serta narasi-narasi negatif terkait kebijakan pemerintah di kalangan masyarakat.
“Melalui sosialisasi, perspektif seseorang dapat berubah terhadap sebuah aturan hukum,” kata Marinus.
Adapun lapisan-lapisan masyarakat yang menurut Marinus harus menerima sosialisasi tersebut adalah mahasiswa, tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh adat, serta seluruh elemen masyarakat, baik yang berseberangan dengan kebijakan pemerintah maupun yang mendukung.
Ia juga menekankan bahwa penting bagi pemerintah untuk menyediakan ruang berdialog guna memperoleh dukungan dari masyarakat Papua untuk melakukan implementasi UU Otsus yang baru.
“Mulai adakan dialog damai dengan kelompok-kelompok nasionalis Papua, baik yang di luar negeri maupun yang ada di Papua tentang memperkuat dan memberi dukungan terhadap konsep UU Otsus Papua ke depan,” kata Marinus memaparkan.
Marinus juga menekankan bahwa elemen masyarakat yang patut diajak berdialog oleh pemerintah bukan hanya dari kalangan pendukung kebijakan, namun juga dengan kelompok-kelompok resisten atau kelompok-kelompok perlawanan yang berada di Papua.