Jakarta (ANTARA) - Pekan Paralimpik Nasional (Peparnas) XVI Papua resmi ditutup oleh Presiden Joko Widodo. Pesta olahraga difabel tingkat nasional tersebut untuk selanjutnya akan digelar di dua provinsi di Aceh dan Sumatera Utara pada 2024.

Peparnas merupakan ajang kompetisi bagi atlet penyandang difabel. Pekan Paralimpik Nasional ini dilaksanakan pada 2-13 November 2021. Pada ajang kali ini, tak kurang dari 1985 atlet dari 34 provinsi bersaing dalam 12 cabang olah raga dengan 602 nomor pertandingan di dua klaster yakni Kota dan Kabupaten Jayapura.

Provinsi teratas peraih medali dalam Peparnas XVI adalah tuan rumah Provinsi Papua sebagai pemegang juara umum. Papua berhasil mengoleksi 294 medali, yang terdiri dari 124 emas, 85 perak, dan 85 perunggu.

Pada dasarnya, esensi dari pelaksanaan Peparnas XVI bukan sekadar kontes olahraga semata, namun ajang ini juga merupakan suatu medium yang mengajak masyarakat untuk sama-sama merayakan keberagaman, dan menghormati kesetaraan sambil mengukirkan prestasi yang dapat mengharumkan nama bangsa dan negara.

"Melalui PON dan Peparnas Papua ini kita juga menunjukkan kebangkitan besar olahraga nasional kita. Kita juga merayakan keberagaman, kita juga menghormati kesetaraan dan bersama-sama kita meraih prestasi yang mengharumkan bangsa dan negara," ujar Presiden Joko Widodo dalam penutupan Peparnas XVI.


Pemecahan rekor

Bukan hanya perolehan medali, ratusan rekor nasional juga berhasil dipecahkan oleh sejumlah atlet dalam Peparnas XVI. Total 150 rekor baru  pecah mulai dari rekor Peparnas, rekor Nasional, hingga rekor Asean Para Games.

Beberapa diantaranya dari cabang olahraga balap kursi roda melalui atlet DKI Jakarta Maria Goreti yang memecahkan rekor dengan waktu 4 menit 28.65 detik. Ada juga Zakaria, atlet lari Nusa Tenggara Barat yang memecahkan rekor 400 meter putra dengan catatan waktu 50,77 detik. Sedangkan pada kategori renang gaya dada putra, Gerry Pahker berhasil memecahkan rekor dengan catatan waktu 44,32 detik.

Rekor-rekor baru yang dipecahkan oleh atlet pada Peparnas XVI, membuktikan atlet difabel memiliki kualitas yang tidak boleh dipandang sebelah mata. Mereka mampu menunjukkan bahwa dalam kondisi kekurangan terdapat mentalitas pemenang yang kompetitif. Ratusan rekor yang dipecahkan dalam Peparnas XVI adalah bukti kuantitatif peningkatan kualitas atlet difabel di Indonesia.

Hal ini senada dengan pernyataan Menpora Zainudin Amali, “Ini membuktikan atlet-atlet paralimpik atau difabel tidak kalah dengan yang non difabel. Maka saya berharap pada masyarakat semua, kita beri semangat mereka. Kita dukung mereka setara sama dengan yang non difabel”.

Pernyataan ini pun semakin menegaskan Indonesia memiliki bibit-bibit atlet yang unggul dan siap bersaing dalam kancah atau kompetisi yang lebih tinggi lagi. Selain itu, sebagai ajang pesta olahraga, Peparnas memang merupakan wadah untuk menemukan mutiara terpendam untuk kemudian mendapatkan pembinaan pada Pemusatan Latihan Nasional (Pelatnas) NPC yang berlokasi di Solo, Jawa Tengah.


Pembinaan lanjutan

Berbagai torehan prestasi atlet difabel dalam penyelenggaraan Peparnas XVI Papua jangan sampai membuat mata ini berhenti menatap ke depan. Pekerjaan rumah sesungguhnya pasca Peparnas adalah pembinaan untuk ajang yang lebih kompetitif.

Pesta olahraga bergengsi pada skala regional seperti Asean Para Games dan Asian Para Games kemudian menjadi tantangan selanjutnya bagi para atlet Peparnas XVI.

Pada tingkat Asia Tenggara, Indonesia pernah memperoleh dua kali gelar juara umum, yaitu pada Asean Para Games 2014 di Myanmar dan Asean Para Games 2017 di Malaysia. Hal ini tentu menjadi prestasi yang perlu dipertahankan. Namun, juga menjadi catatan bahwa perolehan total medali yang diraih Indonesia selama kepesertaan dalam Asean Para Games berada  pada peringkat tiga di bawah Thailand dan Malaysia.

Dua kali gelar juara umum pada Asean Para Games membuktikan Indonesia merupakan kontingen yang patut diperhitungkan dalam kompetisi regional. Hal ini pula menjadi tantangan bagi para atlet dan National Paralympic Committee (NPC) Indonesia untuk mempertahankan prestasi ini melalui pembinaan yang berkualitas.

Sementara pada tingkat Asia, Indonesia menduduki peringkat lima di bawah Jepang saat tanah air menjadi tuan rumah Asian Para Games 2019. Sementara peringkat satu, kedua dan ketiga, masing-masing ditempati oleh Tiongkok, Korea Selatan, dan Iran. Hasil ini lebih baik jika dibandingkan dengan Asian Para Games 2014 di Korea Selatan, saat itu Indonesia hanya menempati posisi ke 9 dengan total 38 medali.

Pada tingkat dunia dalam Paralimpiade Tokyo 2020, Indonesia berhasil meraih total sembilan medali dari 23 para atlet yang turun dengan rincian 2 medali emas, 3 perak dan 4 perunggu. Hasil ini membuat Indonesia berada pada peringkat ke-43 dari 162 negara. Raihan sembilan medali itu merupakan pencapaian terbaik sepanjang sejarah keikutsertaan Indonesia dalam Paralimpiade.

Pencapaian Indonesia pada Paralimpiade Tokyo 2020 bisa dikatakan jauh lebih baik jika dibandingkan dengan Paralimpiade Rio de Janeiro 2016 ketika kontingen Indonesia hanya memperoleh 1 medali perunggu dan berada pada peringkat 76.

Hal yang menarik diperhatikan bahwa prestasi atlet difabel nasional pada Paralimpiade Tokyo 2020 justru lebih baik dibandingkan dengan prestasi atlet pada Olimpiade Tokyo 2020. Pada ajang Olimpiade di negeri Sakura, kontingen Indonesia menempati peringkat 55 dengan torehan 1 emas, 1 perak dan 3 perunggu.

Peningkatan prestasi atlet difabel Indonesia pada ajang regional, Asia dan dunia menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi sumber daya manusia yang unggul. Namun bukan hanya itu, peran pembinaan yang berkualitas dan persisten sangat dibutuhkan agar atlet Indonesia dapat mempertahankan dan meningkatkan prestasinya.

Paralimpiade Paris 2024 akan menjadi ladang pertempuran selanjutnya bagi atlet-atlet difabel Indonesia. Dalam wawancara dengan awak media, Wakil Sekjen National Paralympic Committee (NPC) Indonesia Rima Ferdianto menjelaskan bahwa Indonesia dapat mengikuti minimal delapan cabang olahraga. Ini melebihi keikutsertaan pada tujuh cabang olah raga di Paralimpiade Tokyo 2020.

NPC Indonesia juga telah memiliki peta jalan bagi atlet difabel. Peta jalan itu pun selaras dengan Desain Besar Olah Raga Nasional (DBON) yang memprioritaskan lima cabang olah raga untuk perolehan medali diantaranya atletik, renang, angkat berat, bulu tangkis dan tenis meja.


Olahraga dan Kesetaraan

Guna mendukung prestasi atlet difabel Indonesia, pemerintah juga perlu memberikan perhatian lebih terhadap National Paralympic Committee (NPC) Indonesia, berhubung organisasi ini adalah wadah yang menaungi dan memberikan pembinaan terhadap atlet-atlet difabel Indonesia.

Presiden National Paralympic Committee (NPC) Indonesia Senny Marbun menjelaskan bahwa dulu kondisi pembinaan atlet difabel masih sangat miris.

"Bila mengenang masa lalu, kondisinya sangat miris. Jauh berbeda perlakuan ataupun perhatian dari pemerintah kepada para atlet para. Bahkan independensi NPC saat itu sama sekali tidak ada karena masih dalam kungkungan KONI," kata Senny dalam wawancara dengan awak media.

Senny juga menjelaskan bahwa perlakuan sebelah mata yang diperoleh atlet di masa itu merupakan hal yang lumrah. Diskriminasi sering terjadi, misalnya saja, perlakuan tidak setara terkait kuota atlet untuk kompetisi internasional. Sama halnya dari sisi anggaran, persiapan, dan peralatan, sulit didapatkan. Bahkan atlet difabel saat itu tidak mendapatkan gaji saat berada dalam pelatnas karena dipandang bukan olahraga untuk prestasi, tetapi rehabilitasi (Mahendra, 2021).

Kini, perlakuan terhadap atlet difabel dan organisasi NPC yang mewadahinya telah jauh lebih baik. Senny juga mengakui bahwa dukungan pemerintah untuk atlet dan masyarakat difabel sudah jauh lebih baik.

"Presiden banyak mengeluarkan kebijakan yang mendukung pengembangan kaum difabel," kata dia dalam wawancara dengan awak media.

Sesungguhnya, prestasi olahraga atlet difabel di Indonesia sangat tergantung kepada kepercayaan masyarakat dan juga pemerintah. Persepsi yang menganggap atlet difabel kelompok marjinal perlu dirubah. Atlet difabel pada dasarnya juga masyarakat unggul yang memiliki posisi sejajar dengan masyarakat non difabel.

Ke depan, dukungan semua kalangan dan kesetaraan terhadap atlet difabel perlu dipertahankan dan ditingkatkan. Berbagai prestasi yang berhasil diukir oleh atlet difabel membuktikan sumber daya manusia Indonesia adalah mutiara unggul yang memiliki daya saing kompetitif baik dalam tingkat lokal maupun tingkat global.

*Faris Budiman Annas adalah Peneliti dan Akademisi Universitas Paramadina

Pewarta : Faris Budiman Annas*
Editor : Muhsidin
Copyright © ANTARA 2024