Jakarta (ANTARA) - Pendiri Sa Perempuan Papua Faransina Olivia Rumere mengatakan bahwa pendekatan komunitas akan efektif untuk mengadvokasi isu-isu kekerasan seksual di daerah terpencil, khususnya di daerah yang memiliki keterbatasan akses terhadap internet.
"Kami memahami bahwa (ada, red.) keterbatasan dalam menjangkau perempuan, anak muda, atau kelompok rentan tanpa akses internet, sehingga kami mencoba melakukan pendampingan atau pendekatan berbasis komunitas di beberapa titik di wilayah tanah Papua," kata Olivia ketika menyampaikan paparan dalam seminar bertajuk "Kekerasan Seksual di Mata Orang Muda" yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube Komnas Perempuan, dan disaksikan dari Jakarta, Jumat.
Kekurangan dari pemanfaatan platform daring atau digital, tutur Olivia melanjutkan, adalah ketidakmampuan para advokat untuk menyasar kelompok-kelompok rentan yang tidak memiliki akses ke internet, dan bahkan mungkin tidak memiliki akses terhadap ponsel biasa.
Oleh karena itu, salah satu strategi utama yang dapat diterapkan oleh para advokat dalam mengedukasi masyarakat mengenai isu kekerasan seksual adalah dengan melakukan pendekatan komunitas atau melibatkan anak-anak muda dari komunitas-komunitas tertentu.
Strategi lain yang bisa diterapkan oleh para advokat adalah pendekatan kontekstual berbasis budaya. Para advokat dapat menerapkan pendekatan ini secara daring maupun luring.
Esensi dari pendekatan kontekstual berbasis budaya adalah melakukan advokasi isu yang relevan, tetapi tanpa meninggalkan nilai budaya atau adat-adat setempat.
"Bisa melakukan pendekatan dengan bahasa atau aksen lokal (dalam, red.) konsep kegiatan dan advokasi," ucap dia.
Meskipun demikian, Sa Perempuan Papua juga tetap melakukan advokasi dengan memanfaatkan teknologi dan ruang digital. Ia meyakini bahwa pemanfaatan ruang digital dapat memberi jangkauan yang lebih luas untuk mengadvokasi, kolaborasi, dan bekerja secara tim.
"Kami memproduksi konten-konten edukasi dan konten-konten dalam konsep kegiatan yang relevan dengan keutuhan perempuan di Papua," kata Olivia.
"Kami memahami bahwa (ada, red.) keterbatasan dalam menjangkau perempuan, anak muda, atau kelompok rentan tanpa akses internet, sehingga kami mencoba melakukan pendampingan atau pendekatan berbasis komunitas di beberapa titik di wilayah tanah Papua," kata Olivia ketika menyampaikan paparan dalam seminar bertajuk "Kekerasan Seksual di Mata Orang Muda" yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube Komnas Perempuan, dan disaksikan dari Jakarta, Jumat.
Kekurangan dari pemanfaatan platform daring atau digital, tutur Olivia melanjutkan, adalah ketidakmampuan para advokat untuk menyasar kelompok-kelompok rentan yang tidak memiliki akses ke internet, dan bahkan mungkin tidak memiliki akses terhadap ponsel biasa.
Oleh karena itu, salah satu strategi utama yang dapat diterapkan oleh para advokat dalam mengedukasi masyarakat mengenai isu kekerasan seksual adalah dengan melakukan pendekatan komunitas atau melibatkan anak-anak muda dari komunitas-komunitas tertentu.
Strategi lain yang bisa diterapkan oleh para advokat adalah pendekatan kontekstual berbasis budaya. Para advokat dapat menerapkan pendekatan ini secara daring maupun luring.
Esensi dari pendekatan kontekstual berbasis budaya adalah melakukan advokasi isu yang relevan, tetapi tanpa meninggalkan nilai budaya atau adat-adat setempat.
"Bisa melakukan pendekatan dengan bahasa atau aksen lokal (dalam, red.) konsep kegiatan dan advokasi," ucap dia.
Meskipun demikian, Sa Perempuan Papua juga tetap melakukan advokasi dengan memanfaatkan teknologi dan ruang digital. Ia meyakini bahwa pemanfaatan ruang digital dapat memberi jangkauan yang lebih luas untuk mengadvokasi, kolaborasi, dan bekerja secara tim.
"Kami memproduksi konten-konten edukasi dan konten-konten dalam konsep kegiatan yang relevan dengan keutuhan perempuan di Papua," kata Olivia.