Jakarta (ANTARA) - Institut Teknologi Bandung (ITB) mengusulkan solusi "living lab" untuk pengembangan Kota Pintar atau Smart City yang diajukan dalam ringkasan kebijaksanaan atau policy brief dalam pertemuan negara G20 RI.
“Living lab adalah area terbatas dari sebuah kota yang dapat dikendalikan dan dapat diawasi untuk menguji sebuah solusi dan melakukan penyesuaian variabel- variabel penting," kata ujar Rektor ITB Reini Wirahadikusumah dalam webinar bertajuk “Setting Priorities: Smart Ways to Make Indonesian Cities Smarter”, Kamis.
Pusat penelitian ini diharapkan mengundang semua pihak, pemerintah, industri, dan siapapun yang ingin bergabung dalam upaya untuk meningkatkan pendekatan yang dilakukan living lab.
Dengan pengalaman yang telah dikumpulkan lebih dari setengah abad, ITB berkomitmen untuk dapat terus berkontribusi bagi Indonesia terutama dalam hal pengembangan kota- kota yang mampu membantu proses transformasi digital lebih optimal.
ITB bahkan mempunyai sebuah pusat riset bernama SCCIC atau Smart City and Community Innovation Center (Pusat Kota Pintar dan Inovasi Masyarakat).
SCCIC juga dipercaya sebagai institusi tuan rumah untuk gugus tugas nomor 2 atau Host Institution for Task Force number 2, salah satu Think Tank 20 of G20.
Tanggung jawab itu merupakan bukti nyata kontribusi ITB dalam memajukan negara-negara G20 dan dunia secara umum.
“Ini merupakan kehormatan bagi ITB, dan tentunya yang lebih penting adalah bukti nyata kontribusi ITB dalam memajukan negara-negara G20 dan dunia secara umum,” ujar perempuan pertama yang menjabat sebagai Rektor ITB itu.
Sebelum memasuki era kota pintar, bidang-bidang keahlian perencanaan perkotaan, arsitektur, dan rekayasa lingkungan mempunyai kontribusi lebih kepada pengembangan berbagai kota di Indonesia.
SCCIC merupakan salah satu pusat riset dan pengembangan multidisiplin dengan para ahli dari berbagai bidang untuk mendukung pengembangan sistem-sistem pintar, termasuk kota-kota pintar.
Pusat penelitian ini telah memproduksi dan menjalankan banyak hal. SCCIC juga mengadakan Penilaian Kota Pintar Indonesia (Indonesian Smart City Rating) setiap tahunnya yang bertujuan untuk mengukur kemajuan pengembangan kota di Indonesia untuk menjadi kota-kota pintar.
“Jadi, lewat aktivitas ini, kota-kota yang inovatif dapat diidentifikasi, dan kota-kota lain dapat belajar serta mengadopsi solusi yang sudah terbukti dari kota-kota inovatif tersebut. Setiap kota juga akan menyadari di mana kelebihan dan kekurangan mereka sehingga bisa lebih efektif dalam melaksanakan upaya-upaya perbaikan,” kata Reini.
Pada kesempatan tersebut, Reini mengakui jika salah satu faktor kegagalan dalam mengimplementasikan solusi-solusi kota pintar adalah penerapan solusi secara langsung di seluruh wilayah kota.
Maka dari itu diperlukan sebuah pusat untuk melakukan evaluasi berkala seperti living lab agar Smart City dapat berjalan dengan maksimal.
“Living lab adalah area terbatas dari sebuah kota yang dapat dikendalikan dan dapat diawasi untuk menguji sebuah solusi dan melakukan penyesuaian variabel- variabel penting," kata ujar Rektor ITB Reini Wirahadikusumah dalam webinar bertajuk “Setting Priorities: Smart Ways to Make Indonesian Cities Smarter”, Kamis.
Pusat penelitian ini diharapkan mengundang semua pihak, pemerintah, industri, dan siapapun yang ingin bergabung dalam upaya untuk meningkatkan pendekatan yang dilakukan living lab.
Dengan pengalaman yang telah dikumpulkan lebih dari setengah abad, ITB berkomitmen untuk dapat terus berkontribusi bagi Indonesia terutama dalam hal pengembangan kota- kota yang mampu membantu proses transformasi digital lebih optimal.
ITB bahkan mempunyai sebuah pusat riset bernama SCCIC atau Smart City and Community Innovation Center (Pusat Kota Pintar dan Inovasi Masyarakat).
SCCIC juga dipercaya sebagai institusi tuan rumah untuk gugus tugas nomor 2 atau Host Institution for Task Force number 2, salah satu Think Tank 20 of G20.
Tanggung jawab itu merupakan bukti nyata kontribusi ITB dalam memajukan negara-negara G20 dan dunia secara umum.
“Ini merupakan kehormatan bagi ITB, dan tentunya yang lebih penting adalah bukti nyata kontribusi ITB dalam memajukan negara-negara G20 dan dunia secara umum,” ujar perempuan pertama yang menjabat sebagai Rektor ITB itu.
Sebelum memasuki era kota pintar, bidang-bidang keahlian perencanaan perkotaan, arsitektur, dan rekayasa lingkungan mempunyai kontribusi lebih kepada pengembangan berbagai kota di Indonesia.
SCCIC merupakan salah satu pusat riset dan pengembangan multidisiplin dengan para ahli dari berbagai bidang untuk mendukung pengembangan sistem-sistem pintar, termasuk kota-kota pintar.
Pusat penelitian ini telah memproduksi dan menjalankan banyak hal. SCCIC juga mengadakan Penilaian Kota Pintar Indonesia (Indonesian Smart City Rating) setiap tahunnya yang bertujuan untuk mengukur kemajuan pengembangan kota di Indonesia untuk menjadi kota-kota pintar.
“Jadi, lewat aktivitas ini, kota-kota yang inovatif dapat diidentifikasi, dan kota-kota lain dapat belajar serta mengadopsi solusi yang sudah terbukti dari kota-kota inovatif tersebut. Setiap kota juga akan menyadari di mana kelebihan dan kekurangan mereka sehingga bisa lebih efektif dalam melaksanakan upaya-upaya perbaikan,” kata Reini.
Pada kesempatan tersebut, Reini mengakui jika salah satu faktor kegagalan dalam mengimplementasikan solusi-solusi kota pintar adalah penerapan solusi secara langsung di seluruh wilayah kota.
Maka dari itu diperlukan sebuah pusat untuk melakukan evaluasi berkala seperti living lab agar Smart City dapat berjalan dengan maksimal.