Jakarta (ANTARA) - Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) mengharapkan berbagai inisiatif dari Presidensi G20 Indonesia dapat mendukung pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia-Pasifik.
Para menteri dan delegasi tingkat tinggi dari negara-negara Asia dan Pasifik bertemu dalam Konferensi Regional Asia dan Pasifik (APRC) ke-36 FAO pada 10-11 Maret di Dhaka, Bangladesh, untuk membicarakan peningkatan gizi, taraf hidup dan mata pencaharian setelah pandemi global, menurut keterangan FAO Indonesia yang diterima di Jakarta, Jumat.
Pertemuan itu juga membahas perubahan iklim ekstrem yang sedang berlangsung dan ancaman terkait cuaca buruk serta upaya untuk mengatasi penyakit dan hama yang memengaruhi tanaman dan ternak di kawasan terpadat di dunia ini.
Membangun respons ekosistem yang lebih baik di Kepulauan Pasifik adalah topik kunci yang juga dibicarakan dalam pertemuan tersebut, kata FAO Indonesia.
Menteri Pertanian RI Syahrul Yasin Limpo menjadi ketua delegasi Indonesia untuk menghadiri konferensi tersebut secara virtual.
Dalam pidatonya, ia menyoroti pembelajaran dari pandemi global COVID-19 dan menekankan pentingnya membangun sistem pertanian pangan nasional yang tangguh dan berkelanjutan.
"Pandemi global COVID-19 telah mengajarkan kita pentingnya membangun sistem pangan dan pertanian nasional yang tangguh dan berkelanjutan," ujar Mentan Syahrul.
Menteri pertanian juga menambahkan bahwa dalam konteks presidensi G20 Indonesia, pembangunan sistem pangan dan pertanian akan difokuskan pada tiga prioritas, yaitu membangun sistem pangan dan pertanian yang tangguh dan berkelanjutan, mendorong terciptanya perdagangan lintas batas yang terbuka dan terprediksi, serta mengembangkan pertanian kewirausahaan dan digitalisasi.
"Kami percaya proposal ini akan berkontribusi untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik di kawasan ini," ujarnya.
Sementara itu, Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina menyoroti pencapaian negaranya dalam swasembada beberapa pangan penting dan mencatat bahwa pertanian tetap menjadi "tulang punggung" ekonomi dan menyediakan mata pencaharian bagi 40 persen angkatan kerja Bangladesh.
Hasina mengimbau negara-negara Asia-Pasifik untuk "mencapai ketahanan pangan dan gizi dalam arti yang sebenarnya". Untuk itu, dia menyerukan kolaborasi di antara negara-negara di kawasan tersebut pada bidang-bidang seperti pendidikan, bioteknologi, dan investasi hijau.
Direktur Jenderal FAO Qu Dongyu, yang menghadiri konferensi regional secara langsung, mengakui adanya dampak pandemi global terhadap kehidupan dan mata pencaharian masyarakat Asia dan Pasifik.
Dia mengatakan bahwa ada jalan panjang yang harus ditempuh kawasan Asia-Pasifik untuk menghilangkan kelaparan dan meningkatkan gizi.
Dirjen FAO merujuk laporan FAO pada 2021 yang menemukan bahwa 40 persen populasi dunia tidak mampu membeli makanan yang sehat dan bergizi.
Kelaparan di Asia dan Pasifik telah meningkat lagi, dan ketidaksetaraan meningkat, terutama antara penduduk pedesaan dan perkotaan, perempuan, dan pemuda pedesaan tertinggal untuk menaikkan taraf hidup mereka.
"Pandemi telah memaksa kita untuk mengevaluasi kembali prioritas dan pendekatan kita untuk menciptakan masyarakat yang lebih tangguh. Pandemi juga menekankan pentingnya untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dalam mengamankan pangan, kesehatan, pendidikan, lingkungan yang sehat, serta menciptakan kehidupan yang layak untuk semua," kata Dirjen Dongyu dalam pernyataannya pada konferensi.
"Keadaan ini telah menyebabkan gerakan untuk mengubah sistem pertanian pangan kawasan dan ini harus membuatnya lebih efisien, lebih inklusif, lebih tangguh dan lebih berkelanjutan," katanya menambahkan.
Fokus utama Asia-Pacific Regional Conference (APRC) adalah digitalisasi proses pertanian dan pangan yang saat ini terjadi di Asia dan Pasifik, dan potensi yang mereka miliki untuk kawasan dan dunia.
Konferensi Regional Asia dan Pasifik diadakan setiap dua tahun untuk menggali pandangan dan arahan dari pemerintah negara-negara anggota FAO di kawasan.
Para menteri dan delegasi tingkat tinggi dari negara-negara Asia dan Pasifik bertemu dalam Konferensi Regional Asia dan Pasifik (APRC) ke-36 FAO pada 10-11 Maret di Dhaka, Bangladesh, untuk membicarakan peningkatan gizi, taraf hidup dan mata pencaharian setelah pandemi global, menurut keterangan FAO Indonesia yang diterima di Jakarta, Jumat.
Pertemuan itu juga membahas perubahan iklim ekstrem yang sedang berlangsung dan ancaman terkait cuaca buruk serta upaya untuk mengatasi penyakit dan hama yang memengaruhi tanaman dan ternak di kawasan terpadat di dunia ini.
Membangun respons ekosistem yang lebih baik di Kepulauan Pasifik adalah topik kunci yang juga dibicarakan dalam pertemuan tersebut, kata FAO Indonesia.
Menteri Pertanian RI Syahrul Yasin Limpo menjadi ketua delegasi Indonesia untuk menghadiri konferensi tersebut secara virtual.
Dalam pidatonya, ia menyoroti pembelajaran dari pandemi global COVID-19 dan menekankan pentingnya membangun sistem pertanian pangan nasional yang tangguh dan berkelanjutan.
"Pandemi global COVID-19 telah mengajarkan kita pentingnya membangun sistem pangan dan pertanian nasional yang tangguh dan berkelanjutan," ujar Mentan Syahrul.
Menteri pertanian juga menambahkan bahwa dalam konteks presidensi G20 Indonesia, pembangunan sistem pangan dan pertanian akan difokuskan pada tiga prioritas, yaitu membangun sistem pangan dan pertanian yang tangguh dan berkelanjutan, mendorong terciptanya perdagangan lintas batas yang terbuka dan terprediksi, serta mengembangkan pertanian kewirausahaan dan digitalisasi.
"Kami percaya proposal ini akan berkontribusi untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik di kawasan ini," ujarnya.
Sementara itu, Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina menyoroti pencapaian negaranya dalam swasembada beberapa pangan penting dan mencatat bahwa pertanian tetap menjadi "tulang punggung" ekonomi dan menyediakan mata pencaharian bagi 40 persen angkatan kerja Bangladesh.
Hasina mengimbau negara-negara Asia-Pasifik untuk "mencapai ketahanan pangan dan gizi dalam arti yang sebenarnya". Untuk itu, dia menyerukan kolaborasi di antara negara-negara di kawasan tersebut pada bidang-bidang seperti pendidikan, bioteknologi, dan investasi hijau.
Direktur Jenderal FAO Qu Dongyu, yang menghadiri konferensi regional secara langsung, mengakui adanya dampak pandemi global terhadap kehidupan dan mata pencaharian masyarakat Asia dan Pasifik.
Dia mengatakan bahwa ada jalan panjang yang harus ditempuh kawasan Asia-Pasifik untuk menghilangkan kelaparan dan meningkatkan gizi.
Dirjen FAO merujuk laporan FAO pada 2021 yang menemukan bahwa 40 persen populasi dunia tidak mampu membeli makanan yang sehat dan bergizi.
Kelaparan di Asia dan Pasifik telah meningkat lagi, dan ketidaksetaraan meningkat, terutama antara penduduk pedesaan dan perkotaan, perempuan, dan pemuda pedesaan tertinggal untuk menaikkan taraf hidup mereka.
"Pandemi telah memaksa kita untuk mengevaluasi kembali prioritas dan pendekatan kita untuk menciptakan masyarakat yang lebih tangguh. Pandemi juga menekankan pentingnya untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dalam mengamankan pangan, kesehatan, pendidikan, lingkungan yang sehat, serta menciptakan kehidupan yang layak untuk semua," kata Dirjen Dongyu dalam pernyataannya pada konferensi.
"Keadaan ini telah menyebabkan gerakan untuk mengubah sistem pertanian pangan kawasan dan ini harus membuatnya lebih efisien, lebih inklusif, lebih tangguh dan lebih berkelanjutan," katanya menambahkan.
Fokus utama Asia-Pacific Regional Conference (APRC) adalah digitalisasi proses pertanian dan pangan yang saat ini terjadi di Asia dan Pasifik, dan potensi yang mereka miliki untuk kawasan dan dunia.
Konferensi Regional Asia dan Pasifik diadakan setiap dua tahun untuk menggali pandangan dan arahan dari pemerintah negara-negara anggota FAO di kawasan.