Jayapura (ANTARA) - Sebanyak 14 musisi muda peserta ajang temu seni musik di Papua mengakhiri rangkaian program dengan mengunjungi Museum Loka Budaya Universitas Cenderawasih (Uncen) di Abepura, Kota Jayapura, Papua, Minggu.
Musisi pengrawit sekaligus Dosen Institut Seni Indonesia Surakarta Wahyu Thoyyib Pambayun mengaku Museum Loka Budaya Uncen sangat bagus di mana orang Papua yang telah hidup berabad-abad mampu berkreasi dengan sangat indah.
"Saya yakin belum tentu dapat dibuat oleh kami di masa sekarang dan kami juga terpukau dengan koleksi Mbis patung leluhur orang Asmat yang punya standar estetika yang tinggi di musik karena tingkat virtuositas yang luar biasa di mana di buat secara terbalik dan memiliki makna yang dalam," kata Wahyu.
Menurut Wahyu, hal tersebut menjadi suatu sumber inspirasi yang kuat di mana suatu saat nanti sangat mungkin untuk terwujud jadi bagian dari sebuah karya.
Senada disampaikan musisi gamelan Bali, Sraya Murtikanti yang mengaku terkesan melihat patung Mbis atau patung leluhur orang Asmat dan Jipai, pakaian ruh masyarakat Asmat yang memiliki filosifi demikian mendalam.
"Ini adalah bentuk kekayaan budaya yang perlu sekali untuk dilestarikan menjadi pengalaman empirik yang bisa menjadi modal ilham untuk berkarya kelak," katanya.
Sementara itu, Kepala Museum Universitas Cenderawasih sekaligus antropolog dan kurator, Enrico Yory Kondologit menjelaskan untuk mengenal lebih dekat kebudayaan Papua secara visual memang yang terbaik adalah berkunjung langsung ke museum.
"Dengan menyaksikan sekitar 1.000 lebih koleksi dari berbagai suku di Papua kami berharap teman-teman musisi temu seni dapat menambah wawasan dan pemahaman tentang keragaman jenis benda-benda kebudayaan material berupa peralatan-peralatan musik, memasak, religi, kepercayaan, transportasi atau menangkap ikan," katanya.
Dia menambahkan selama ini para musisi muda dengar tentang alat musik Papua seperti tifa, triton dan trompet ternyata lebih dari itu juga ada alat musik lainnya yang di buat sehingga menghasilkan musik seperti pakaian yang digunakan oleh masyarakat Waris berupa koteka dengan ikat pinggang yang menghasilkan suara dan orang Waghete yang membuat kalung dengan baling-baling.
"Di mana saat dikenakan oleh penari yang melompat menghasilkan suara-suara tertentu sangat menarik untuk dapat diketahui atau benda-benda materiil ini begitu berhubungan dengan religi, kepercayaan dan lingkungan alam sekitar ini dapat memberikan inspirasi untuk musik," ujar Enrico.
Berdirinya Museum Loka Budaya merupakan hasil pikiran, perjuangan serta kerja keras dari berbagai pihak dan dalam menjalankan fungsinya Museum Loka Budaya banyak mendapat bantuan terutama dari pengusaha raksasa dan seorang filantropis Amerika, John D. Rockefeler, Pemerintah Belanda, Arkeolog dan Antropolog yang pernah melakukan penelitian di Papua serta pemerintah melalui proyek-proyek Pelita.
Koleksi utama dari museum ini adalah benda-benda etnografi yang berasal dari sekitar 270 lebih suku di Papua yang terdiri atas peralatan dapur, peralatan yang berhubungan dengan mata pencaharian hidup seperti peralatan bercocok tanam, berburu dan menangkap ikan serta busana dan perhiasan tubuh peralatan perang, peralatan membayar harta (mas kawin dan denda), benda-benda sakral, alat transportasi dan alat-alat musik.
Musisi pengrawit sekaligus Dosen Institut Seni Indonesia Surakarta Wahyu Thoyyib Pambayun mengaku Museum Loka Budaya Uncen sangat bagus di mana orang Papua yang telah hidup berabad-abad mampu berkreasi dengan sangat indah.
"Saya yakin belum tentu dapat dibuat oleh kami di masa sekarang dan kami juga terpukau dengan koleksi Mbis patung leluhur orang Asmat yang punya standar estetika yang tinggi di musik karena tingkat virtuositas yang luar biasa di mana di buat secara terbalik dan memiliki makna yang dalam," kata Wahyu.
Menurut Wahyu, hal tersebut menjadi suatu sumber inspirasi yang kuat di mana suatu saat nanti sangat mungkin untuk terwujud jadi bagian dari sebuah karya.
Senada disampaikan musisi gamelan Bali, Sraya Murtikanti yang mengaku terkesan melihat patung Mbis atau patung leluhur orang Asmat dan Jipai, pakaian ruh masyarakat Asmat yang memiliki filosifi demikian mendalam.
"Ini adalah bentuk kekayaan budaya yang perlu sekali untuk dilestarikan menjadi pengalaman empirik yang bisa menjadi modal ilham untuk berkarya kelak," katanya.
Sementara itu, Kepala Museum Universitas Cenderawasih sekaligus antropolog dan kurator, Enrico Yory Kondologit menjelaskan untuk mengenal lebih dekat kebudayaan Papua secara visual memang yang terbaik adalah berkunjung langsung ke museum.
"Dengan menyaksikan sekitar 1.000 lebih koleksi dari berbagai suku di Papua kami berharap teman-teman musisi temu seni dapat menambah wawasan dan pemahaman tentang keragaman jenis benda-benda kebudayaan material berupa peralatan-peralatan musik, memasak, religi, kepercayaan, transportasi atau menangkap ikan," katanya.
Dia menambahkan selama ini para musisi muda dengar tentang alat musik Papua seperti tifa, triton dan trompet ternyata lebih dari itu juga ada alat musik lainnya yang di buat sehingga menghasilkan musik seperti pakaian yang digunakan oleh masyarakat Waris berupa koteka dengan ikat pinggang yang menghasilkan suara dan orang Waghete yang membuat kalung dengan baling-baling.
"Di mana saat dikenakan oleh penari yang melompat menghasilkan suara-suara tertentu sangat menarik untuk dapat diketahui atau benda-benda materiil ini begitu berhubungan dengan religi, kepercayaan dan lingkungan alam sekitar ini dapat memberikan inspirasi untuk musik," ujar Enrico.
Selain berkunjung ke Museum Loka Budaya Uncen seluruh peserta ajang temu seni musik di Papua juga mementaskan persembahan pamungkas menandai secara resmi berakhirnya kegiatan selama satu minggu di kota Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua.
Asosiasi Museum Indonesia menjelaskan bahwa Museum Loka Budaya Universitas Cenderawasih didirikan pada 1970 dan diresmikan oleh Prof. Dr. Ida Bagus Mantra pada 1 Oktober 1973.Berdirinya Museum Loka Budaya merupakan hasil pikiran, perjuangan serta kerja keras dari berbagai pihak dan dalam menjalankan fungsinya Museum Loka Budaya banyak mendapat bantuan terutama dari pengusaha raksasa dan seorang filantropis Amerika, John D. Rockefeler, Pemerintah Belanda, Arkeolog dan Antropolog yang pernah melakukan penelitian di Papua serta pemerintah melalui proyek-proyek Pelita.
Koleksi utama dari museum ini adalah benda-benda etnografi yang berasal dari sekitar 270 lebih suku di Papua yang terdiri atas peralatan dapur, peralatan yang berhubungan dengan mata pencaharian hidup seperti peralatan bercocok tanam, berburu dan menangkap ikan serta busana dan perhiasan tubuh peralatan perang, peralatan membayar harta (mas kawin dan denda), benda-benda sakral, alat transportasi dan alat-alat musik.