Biak (ANTARA) - Perempuan dan kekerasan di Tanah Papua merupakan dua hal yang secara intens menjadi perhatian pemerintah kabupaten/kota di Bumi Cenderawasih karena sebagian kaum hawa masih ada yang menjadi korban kekerasan fisik atau verbal.
Data Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Kependudukan menyebutkan jumlah korban kekerasan terhadap perempuan hingga akhir tahun 2022 di Tanah Papua mencapai kurang lebih 200 kasus.
Kekerasan terhadap perempuan, dari rentang usia anak-anak hingga dewasa dari berbagai kalangan, masih kerap terjadi di masyarakat.
Padahal, perempuan juga memiliki kebebasan serta berhak atas rasa aman dan nyaman untuk menjalani hidup sesuai dengan pilihannya.
Kekerasan tidak hanya sebatas pada aksi fisik, tapi lebih luas lagi, termasuk di dalamnya kekerasan verbal terhadap perempuan.
Kasus kekerasan terhadap perempuan memiliki latar beragam latar belakang. Salah satunya, yakni karena relasi kuasa dan budaya yang menganggap kaum pria merasa berhak mengatur kehidupan perempuan.
Namun, apa pun alasannya, kekerasan fisik tidak selayaknya terjadi pada perempuan, yang seharusnya berhak mendapat perlindungan sebagai warga negara. Dalam beberapa kasus, kekerasan fisik umumnya dilakukan oleh orang-orang terdekat, seperti keluarga, teman, dan rekan kerja/atasan kerja.
Bentuk kekerasan lain terjadi pada perempuan adalah kekerasan verbal, berupa lontaran kata-kata kasar, memaki, menghina, menghujat, dan merendahkan martabat perempuan.
Kekerasan verbal umumnya juga dilakukan oleh orang terdekat. Namun, juga kerap kali dilakukan oleh orang asing yang belum dikenal.
Sementara jenis kekerasan lain adalah kekerasan seksual juga kerap dialami perempuan di segala rentang usia. Kekerasan seksual berupa pelecehan, pemerkosaan, hingga menggoda ke arah seksual.
Kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja dan oleh siapa saja. Oleh karenanya, perempuan harus bijaksana memilih teman dan orang-orang dalam pergaulannya agar bisa melindungi dan menjauhkan dirinya dari bentuk kekerasan seksual.
Untuk jenis kekerasan lain yang kerap dialami perempuan adalah kekerasan mental karena saling menyalahkan.
Jenis kekerasan mental berupa penghinaan, perundungan, diskriminatif, dan manipulatif yang menyasar mental perempuan.
Namun, seiring berkembangnya teknologi, orang-orang yang tidak dikenal pun bisa melakukan kekerasan mental terhadap perempuan.
Kekerasan terhadap perempuan dan anak di Tanah Papua tidak akan pernah berhenti jika para pemangku kepentingan di daerah, seperti pemda, lembaga penegak hukum, perguruan tinggi, organisasi kemasyarakatan, lembaga keagamaan dan lembaga adat tidak proaktif ambil bagian dalam tindakan konkret pencegahan kekerasan terhadap perempuan.
Konsisten penegakan hukum
Untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap perempuan dibutuhkan konsistensi aparat keamanan atau lembaga penegak hukum seperti Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Kejaksaan.
Penegakan hukum bagi pelaku kekerasan terhadap perempuan di Tanah Papua tidak boleh setengah hati tetapi harus konsisten mengikuti aturan.
Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Anak Dinas Sosial Kependudukan Pemberdayaan Perempuan Anak Provinsi Papua Yosephine Wandosa saat kegiatan jejaring penyedia layanan perlindungan perempuan di Biak, mengatakan penegakan hukum bagi pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak harus dilakukan guna memberi efek jera terhadap pelaku.
Selain hukum positif, penerapan hukum adat juga bisa diberlakukan, misalnya, pelaku wajib membayar denda atau ganti rugi.
Sanksi hukum dan adat, dinilai kadang tidak memberikan rasa keadilan terhadap perempuan korban kekerasan.
Padahal, berdasarkan hukum positif, pelaku kekerasan terhadap perempuan harus diproses hingga selesai di lembaga peradilan setempat supaya memberikan kepastian hukum bagi korban maupun pelaku kekerasan.
Selain itu, ketika pelaku kasus kekerasan terhadap perempuan menjalani proses hukum sampai ke pengadilan, itu akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum.
Pelaku kekerasan terhadap perempuan, sesuai aturan hukum, harus dikenai sanksi berat berupa penjara sehingga memberikan efek gentar bagi orang lain.
Bila hanya diterapkan hukuman denda adat bagi pelaku kekerasan terhadap perempuan, itu tidak memberikan efek jera dan tidak menimbulkan keadilan hukum bagi korban.
"Jangan sampai ada lagi pelaku tindak pidana kekerasan terhadap perempuan--sesudah membayar denda hukum adat kepada keluarga korban--, kemudian kasus pidananya tidak berlanjut," sebut Yosephine.
Masih adanya penyelesaian kasus kekerasan perempuan dengan mengutamakan denda adat tidak membuat efek jera pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Kasus seperti itu memang masih kerap terjadi di sejumlah kabupaten/kota di Tanah Papua dengan dalihsudah bayar denda adat maka kasus kekerasan terhadap perempuan distop atau tidak berlanjut ke proses hukum.
Lembaga penegak hukum dituntut lebih berani memproses pelaku tindak pidana kekerasan terhadap perempuan dan anak, demi memberi kepercayaan bagi korban dalam menatap masa depan yang lebih baik.
Seharusnya, meski pelakunya telah membayar denda secara adat, kasus kekerasan terhadap perempuan tidak menghilangkan perbuatan pidana dari yang bersangkutan.
Perempuan menjadi korban kekerasan dinilai tak bisa berbuat apa-apa setelah pelaku bayar denda adat karena setelah itu, kasus hukum pelaku dihentikan.
Hal yang lain juga butuh perhatian pemangku kepentingan terkait mencegah terjadinya kekerasan, yakni menghentikan peredaran minuman beralkohol.
Banyak terjadi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Papua, salah satu penyebabnya dipicu dari mengonsumsi minuman beralkohol. Oleh karena itu, faktor peletup kekerasan ini juga harus dilenyapkan.
Antarlembaga
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Keluarga Berencana Kabupaten Biak Numfor Yohana Naap mengatakan untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan, perlu memperkuat jaringan kerja antarlembaga penegak hukum.
Kolaborasi antarlembaga penegak hukum makin dibutuhkan Pemerintah, agar pelaku kekerasan terhadap perempuan dapat ditindak tegas melalui peradilan.
Makin hari kesadaran masyarakat terhadap bahaya kekerasan terus meningkat. Ini jadi modal penting bagi antarpihak berkolaborasi.
Apalagi saat ini sudah era digital sehingga kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat dicegah dengan meningkatkan penguatan jejaring media sosial dengan Pemerintah, aparat penegak hukum, hingga komunitas atau pegiat perempuan dan anak.
Kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Biak Numfor sebisa mungkin harus dihilangkan. Apalagi sekarang sudah dibuatkan aplikasi Simfoni untuk melaporkan kasus kekerasan perempuan anak menggunakan layanan dalam jaringan online.
Penguatan jejaring antarlembaga penyedia layanan perlindungan perempuan, diharapkan menjadi pintu masuk bagi semua lembaga penegakan hukum di Papua.
Data Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Kependudukan menyebutkan jumlah korban kekerasan terhadap perempuan hingga akhir tahun 2022 di Tanah Papua mencapai kurang lebih 200 kasus.
Kekerasan terhadap perempuan, dari rentang usia anak-anak hingga dewasa dari berbagai kalangan, masih kerap terjadi di masyarakat.
Padahal, perempuan juga memiliki kebebasan serta berhak atas rasa aman dan nyaman untuk menjalani hidup sesuai dengan pilihannya.
Kekerasan tidak hanya sebatas pada aksi fisik, tapi lebih luas lagi, termasuk di dalamnya kekerasan verbal terhadap perempuan.
Kasus kekerasan terhadap perempuan memiliki latar beragam latar belakang. Salah satunya, yakni karena relasi kuasa dan budaya yang menganggap kaum pria merasa berhak mengatur kehidupan perempuan.
Namun, apa pun alasannya, kekerasan fisik tidak selayaknya terjadi pada perempuan, yang seharusnya berhak mendapat perlindungan sebagai warga negara. Dalam beberapa kasus, kekerasan fisik umumnya dilakukan oleh orang-orang terdekat, seperti keluarga, teman, dan rekan kerja/atasan kerja.
Bentuk kekerasan lain terjadi pada perempuan adalah kekerasan verbal, berupa lontaran kata-kata kasar, memaki, menghina, menghujat, dan merendahkan martabat perempuan.
Kekerasan verbal umumnya juga dilakukan oleh orang terdekat. Namun, juga kerap kali dilakukan oleh orang asing yang belum dikenal.
Sementara jenis kekerasan lain adalah kekerasan seksual juga kerap dialami perempuan di segala rentang usia. Kekerasan seksual berupa pelecehan, pemerkosaan, hingga menggoda ke arah seksual.
Kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja dan oleh siapa saja. Oleh karenanya, perempuan harus bijaksana memilih teman dan orang-orang dalam pergaulannya agar bisa melindungi dan menjauhkan dirinya dari bentuk kekerasan seksual.
Untuk jenis kekerasan lain yang kerap dialami perempuan adalah kekerasan mental karena saling menyalahkan.
Jenis kekerasan mental berupa penghinaan, perundungan, diskriminatif, dan manipulatif yang menyasar mental perempuan.
Namun, seiring berkembangnya teknologi, orang-orang yang tidak dikenal pun bisa melakukan kekerasan mental terhadap perempuan.
Kekerasan terhadap perempuan dan anak di Tanah Papua tidak akan pernah berhenti jika para pemangku kepentingan di daerah, seperti pemda, lembaga penegak hukum, perguruan tinggi, organisasi kemasyarakatan, lembaga keagamaan dan lembaga adat tidak proaktif ambil bagian dalam tindakan konkret pencegahan kekerasan terhadap perempuan.
Konsisten penegakan hukum
Untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap perempuan dibutuhkan konsistensi aparat keamanan atau lembaga penegak hukum seperti Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Kejaksaan.
Penegakan hukum bagi pelaku kekerasan terhadap perempuan di Tanah Papua tidak boleh setengah hati tetapi harus konsisten mengikuti aturan.
Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Anak Dinas Sosial Kependudukan Pemberdayaan Perempuan Anak Provinsi Papua Yosephine Wandosa saat kegiatan jejaring penyedia layanan perlindungan perempuan di Biak, mengatakan penegakan hukum bagi pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak harus dilakukan guna memberi efek jera terhadap pelaku.
Selain hukum positif, penerapan hukum adat juga bisa diberlakukan, misalnya, pelaku wajib membayar denda atau ganti rugi.
Sanksi hukum dan adat, dinilai kadang tidak memberikan rasa keadilan terhadap perempuan korban kekerasan.
Padahal, berdasarkan hukum positif, pelaku kekerasan terhadap perempuan harus diproses hingga selesai di lembaga peradilan setempat supaya memberikan kepastian hukum bagi korban maupun pelaku kekerasan.
Selain itu, ketika pelaku kasus kekerasan terhadap perempuan menjalani proses hukum sampai ke pengadilan, itu akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum.
Pelaku kekerasan terhadap perempuan, sesuai aturan hukum, harus dikenai sanksi berat berupa penjara sehingga memberikan efek gentar bagi orang lain.
Bila hanya diterapkan hukuman denda adat bagi pelaku kekerasan terhadap perempuan, itu tidak memberikan efek jera dan tidak menimbulkan keadilan hukum bagi korban.
"Jangan sampai ada lagi pelaku tindak pidana kekerasan terhadap perempuan--sesudah membayar denda hukum adat kepada keluarga korban--, kemudian kasus pidananya tidak berlanjut," sebut Yosephine.
Masih adanya penyelesaian kasus kekerasan perempuan dengan mengutamakan denda adat tidak membuat efek jera pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Kasus seperti itu memang masih kerap terjadi di sejumlah kabupaten/kota di Tanah Papua dengan dalihsudah bayar denda adat maka kasus kekerasan terhadap perempuan distop atau tidak berlanjut ke proses hukum.
Lembaga penegak hukum dituntut lebih berani memproses pelaku tindak pidana kekerasan terhadap perempuan dan anak, demi memberi kepercayaan bagi korban dalam menatap masa depan yang lebih baik.
Seharusnya, meski pelakunya telah membayar denda secara adat, kasus kekerasan terhadap perempuan tidak menghilangkan perbuatan pidana dari yang bersangkutan.
Perempuan menjadi korban kekerasan dinilai tak bisa berbuat apa-apa setelah pelaku bayar denda adat karena setelah itu, kasus hukum pelaku dihentikan.
Hal yang lain juga butuh perhatian pemangku kepentingan terkait mencegah terjadinya kekerasan, yakni menghentikan peredaran minuman beralkohol.
Banyak terjadi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Papua, salah satu penyebabnya dipicu dari mengonsumsi minuman beralkohol. Oleh karena itu, faktor peletup kekerasan ini juga harus dilenyapkan.
Antarlembaga
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Keluarga Berencana Kabupaten Biak Numfor Yohana Naap mengatakan untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan, perlu memperkuat jaringan kerja antarlembaga penegak hukum.
Kolaborasi antarlembaga penegak hukum makin dibutuhkan Pemerintah, agar pelaku kekerasan terhadap perempuan dapat ditindak tegas melalui peradilan.
Makin hari kesadaran masyarakat terhadap bahaya kekerasan terus meningkat. Ini jadi modal penting bagi antarpihak berkolaborasi.
Apalagi saat ini sudah era digital sehingga kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat dicegah dengan meningkatkan penguatan jejaring media sosial dengan Pemerintah, aparat penegak hukum, hingga komunitas atau pegiat perempuan dan anak.
Kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Biak Numfor sebisa mungkin harus dihilangkan. Apalagi sekarang sudah dibuatkan aplikasi Simfoni untuk melaporkan kasus kekerasan perempuan anak menggunakan layanan dalam jaringan online.
Penguatan jejaring antarlembaga penyedia layanan perlindungan perempuan, diharapkan menjadi pintu masuk bagi semua lembaga penegakan hukum di Papua.