Jakarta (ANTARA) - Fraksi Partai NasDem Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menyampaikan sikap mendukung pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak dilaksanakan pada 2022-2023 atau kembali ke siklus lima tahunan.
"Pelaksanaan pemilu atau pilkada adalah kunci dari daulat rakyat. Tidak ada mandat sedikit pun, baik itu dari konstitusi maupun dari rakyat, yang mempersilakan pemerintah menghilangkan atau menunda proses pemilu atau pilkada," kata Ketua Fraksi Partai NasDem DPR RI Ahmad M. Ali, dalam pernyataan tertulis, di Jakarta, Senin.
Menurut dia, mandat dari rakyat untuk pemimpinnya, baik level nasional maupun daerah, berada dalam rentang lima tahunan, dan dalam masa lima tahun itu adalah hak rakyat untuk memilih kembali pemimpin atau wakil-wakilnya di lembaga-lembaga negara.
Seperti diketahui, dalam Undang Undang Nomor 10/2016 tentang Pilkada, pilkada tahun 2022 dan 2023 dilakukan serentak pada 2024 bersamaan dengan Pemilu dan Pilpres.
DPR tengah menjadwalkan ulang penyelanggaraan pilkada sehingga akan kembali dinormalkan sesuai masa periode lima tahun, melalui revisi UU Pemilu.
Daerah yang dalam UU diatur menggelar pilkada pada 2024 dinormalkan menjadi pada 2022 karena telah melaksanakan pilkada pada 2017, demikian pula daerah yang pilkadanya 2018 akan melaksanakan pilkada lagi pada 2023.
Fraksi Partai NasDem menilai beberapa dampak dari pelaksanaan Pemilu dan Pilpres tahun 2019 secara bersamaan menjadi pelajaran berharga bagi bangsa sehingga lebih baik pilkada serentak dilaksanakan pada 2022-2023, selain demi memenuhi hak dasar rakyat.
Ali menjelaskan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang mengubah pendiriannya soal konstitusionalitas pemilu serentak 5 kotak sebagai satu-satunya pilihan yang konstitusional, sebagaimana termuat dalam Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 (23 Januari 2014) sesungguhnya merupakan refleksi atas kompleksitas Pemilu 2019.
Pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 dinilainya telah berjalan baik dan tidak ada persoalan stabilitas keamanan dan stabilitas pemerintahan yang terganggu sehingga menjadi tidak relevan apabila dikatakan bahwa pilkada 2022 dan 2023 mengganggu stabilitas pemerintahan nasional.
Sebaliknya, kata dia, penyatuan pemilu dan pilkada, legislatif dan eksekutif, dan terutama pilpres mengandung risiko sangat besar mengganggu stabilitas politik dan sosial serta dapat berisiko melemahkan arah berjalannya sistem demokrasi.
Pelaksanaan Pilkada Serentak pada 2024, kata dia, hanya akan membuat banyaknya pelaksana tugas (Plt) kepala daerah dan/atau penjabat kepala daerah dalam rentang waktu satu hingga dua tahun.
"Kondisi demikian berpotensi membuka celah bagi terjadinya rekayasa politik untuk mendukung kepentingan pihak tertentu dan jauh dari komitmen pelayanan bagi publik," ujarnya.
Selain itu, Ali mengingatkan akan terjadi pula penumpukan biaya yang membebani APBN, sementara sistem keuangan dan anggaran pemilu yang ada pada saat ini perlu untuk dipertahankan dan terus disempurnakan.
Ia mengatakan pemisahan pemilu dengan pilkada justru akan menciptakan iklim politik yang kondusif, sekaligus menjadi ruang pendewasaan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Figur pilihan rakyat di daerah tidak terdistorsi oleh kepentingan pusat sehingga diferensiasi pun terjadi berdasarkan pertimbangan rasional, obyektif, dan berkualitas.
"Mari kedepankan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan individu dan kelompok. Marilah berjuang, tidak sekadar untuk memenangkan ruang-ruang elektoral, tetapi juga demi meningkatnya kualitas demokrasi deliberatif bangsa ini," pungkasnya.