Semarang (ANTARA) - Diskursus penundaan atau pengunduran waktu pemilihan umum dari 2024 menjadi 2027 perlu disikapi secara dini, terutama dari sisi regulasi.
Setidaknya ada dua pilihan: amendemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau merevisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dengan memuat ketentuan pemungutan suara elektronik (e-Voting).
Hal ini mengingat dalam UU Pemilu belum diatur tata cara pemberian suara secara elektronik. Pemberian suara untuk pemilu, sebagaimana diatur dalam Pasal 353, dilakukan dengan cara mencoblos satu kali pada nomor, nama, foto pasangan calon, atau tanda gambar partai politik pengusul dalam satu kotak pada surat suara untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Ketentuan berikutnya, mencoblos satu kali pada nomor atau tanda gambar partai politik, dan/atau nama calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota untuk pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Begitu pula, ketika akan memilih calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, dilakukan dengan cara mencoblos satu kali pada nomor, nama, atau foto calon untuk Pemilu Anggota DPD RI.
Aturan main Pemilu Presiden dan Wakil Presiden RI, Pemilu Anggota DPR RI, Pemilu Anggota DPD RI, serta pemilu anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota beda dengan pemilihan kepala daerah.
Ketentuan e-Voting sudah termaktub dalam UU No. 10/2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 1/2015 tentang Perpu No. 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada).
Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) mengalami beberapa kali perubahan dan terakhir UU No. 6/2020 dengan pertimbangan wabah Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) masih melanda dunia, termasuk Indonesia.
Sebelum pandemi Covid-19 melanda Tanah Air sejak Maret 2020, UU Pilkada telah memasukkan aturan main e-Voting dalam Pasal 85 Ayat (1). Pasal ini menyebutkan bahwa pemberian suara untuk pemilihan dapat dilakukan dengan cara: memberi tanda satu kali pada surat suara; atau memberi suara melalui peralatan pemilihan suara secara elektronik.
Ditambah lagi, ada ketentuan pengisian kekosongan jabatan gubernur, bupati, dan wali kota dengan mengangkat penjabat kepala daerah.
Nah, jika pelaksanaan Pemilu Presiden/Wakil Presiden diundur waktunya hingga 2027, terus siapa yang memimpin bangsa ini hingga pelantikan pasangan calon terpilih pada Pilpres RI?
Sementara itu, Pasal 8 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, menurut anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini, ketentuan pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama tidak bisa berlaku untuk situasi pengunduran waktu pemilu.
Disebutkan dalam Pasal 8 Ayat (3) bahwa jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama.
Pasal ini menyebutkan selambat-lambatnya 30 hari setelah itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menyelenggarakan sidang untuk memilih presiden dan wakil presiden dari dua pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon presiden dan wakil presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.
Dengan demikian, konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 tidak membuka celah penundaan Pemilu 2024, kecuali mengamendemen terlebih dahulu Pasal 7 UUD NRI Tahun 1945.
Dalam Pasal 7 UUD NRI Tahun 1945 disebutkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama 5 tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
Sistem e-Voting
Meski Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia, melalui pernyataan anggota KPU I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi (17/8/2021), menegaskan bahwa pemilu tetap pada tahun 2024, perlu antisipasi dengan menyiapkan sistem e-Voting guna mencegah klaster baru penularan virus corona.
Mudah-mudahan pandemi Covid-19 sudah berakhir sebelum pesta demokrasi 5 tahunan yang rencananya pada tanggal 21 Februari 2024 dan pilkada pada tanggal 27 November 2024.
Kendati demikian, perlu skenario berikutnya jika situasi pada pemilu mendatang tidak memungkinkan pemilih mendatangi TPS. Salah satunya adalah merevisi UU No. 7/2017 tentang Pemilu dengan memuat ketentuan e-Voting. Apalagi, kata Ketua Lembaga Riset Siber Indonesia CISSReC Doktor Pratama Persadha, pemberian suara secara elektronik pada Pemilu 2024 sangat memungkinkan guna mengantisipasi pandemi COVID-19 yang belum pasti kapan berakhirnya.
Ditambah lagi sudah ada data kependudukan yang dimanfaatkan secara digital oleh Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Kementerian Dalam Negeri.
Tinggal menentukan model e-Voting apakah langsung dari smartphone atau harus lewat tempat pemungutan suara (TPS) khusus, seperti di Amerika Serikat.
Disebutkan pula di Estonia, pemilu elektronik terdiri atas: pertama, voting lewat mesin elektronik khusus yang disiapkan pemerintah; kedua, voting secara remote lewat internet dengan personal computer (PC) serta smartphone.
Dengan adanya pandemi, kebutuhan e-Voting telah bergeser ke voting secara remote lewat internet, yakni bisa dengan PC maupun smartphone pemilih. Hal-hal seperti inilah perlu masuk dalam aturan main pemilu, baik berupa undang-undang maupun peraturan penyelenggara pemilu.
Hal penting lainnya, menurut Pratama, keberadaan Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) guna memaksa KPU RI benar-benar mengimplementasikan keamanan pada sistem dan data masyarakat yang dikelolanya.
Tak kalah pentingnya adalah kesiapan sumber daya manusia (SDM) di lapangan. Ini tugas berat bagi penyelenggara pemilu untuk melakukan edukasi kepada petugasnya di lapangan, baik dari sisi regulasi, teknis, maupun keamanan sistem itu sendiri.
Pada prinsipnya e-Voting disiapkan dengan baik guna antisipasi gangguan pada sistemnya, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, terutama voting via internet.
Ditekankan pula bahwa keamanan harus dijadikan prioritas utama karena dalam berbagai kasus e-Voting di Amerika Selatan yang terjadi adalah saling retas hasil pemilu.
Di sinilah perlu adanya proses enkripsi yang kuat dengan algoritma enkripsi buatan dalam negeri. Dalam hal ini, KPU bisa bekerja sama dengan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
Namun, semua itu perlu adanya regulasi. Jika perubahan UU Pemilu memakan waktu relatif lama di DPR RI, Presiden bisa menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Hak ini termaktub dalam Pasal 22 UUD NRI Tahun 1945.
*) D.Dj. Kliwantoro, Ketua Dewan Etik Masyarakat dan Pers Pemantau Pemilu (Mappilu) PWI Provinsi Jawa Tengah