Merauke (Antara Papua) - Nelayan lokal dan pengusaha kapal ikan di Wanam dan Wogekel, Distrik Ilwayab, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua, kehilangan pendapatan ratusan juta hingga miliaran rupiah pascapemberlakuan moratorium izin kapal penangkap ikan berbobot diatas 30 gross ton (GT).

"Sejak empat bulan terakhir, saya telah rugi (kehilangan pendapatan) miliaran rupiah," kata Henri Musabah, salah satu pengusaha kapal ikan yang beroperasi di Wanam, Distrik Ilwayab, Kabupaten Merauke, Papua, Sabtu.

Kehilangan pendapatan itu terjadi karena mereka juga berhenti beroperasi saat diberlakukan moratorium izin kapal penangkap ikan berbobot diatas 30 GT, meskipun kapal mereka masih dibawah bobot 30 GT.

Mereka berhenti beroperasi karena hasil tangkapan ikan biasanya dijual kepada PT Dwi Karya Reksa Abadi, perusahaan pengelola ikan hasil tangkapan yang terkena kebijakan moratorium sehingga berhenti beroperasi.

Henri mengaku, mempunyai empat unit kapal dengan perincian, bobot 10 ton atau gross ton (GT) 10 dua unit dan bobot 29 ton atau GT 29 dua unit. Masing-masing kapal dalam sebulan bisa menghasilkan 10 ton hingga 20 ton sekali melaut.

"Kalau kapal GT 10 dalam sebulan bisa dua kali operasi, kapal GT 29 hanya sekali. Jadi kalau GT 10 bisa menghasilkan 10 ton ikan dalam sekali operasi, itu sama dengan Rp100 juta. Berarti dalam sebulan bisa Rp200 juta. Sementara kapal GT 29 bisa menghasil 20 ton lebih ikan, sama dengan Rp200 juta dikali dua unit kapal. Total semua dalam sebulan bisa menghasilkan Rp600 juta," katanya.

Untuk biaya operasional keempat kapalnya itu serta gaji para nakodah dan ABK, kata Musabah, bisa mencapai Rp580 juta. Dengan perincian sebagai berikut, untuk operasional keempat kapalnya itu bisa mencapai Rp400 juta, sedangkan untuk gaji ABK dan nakodah bisa mencapau 180 juta.

"Dari Rp100 juta hasil tangkapan ikan, itu lima persen untuk ABK dan nakoda, lalu bagi hasil ikan itu Rp800 ribu/ton. Jadi ABK dalam sebulan bisa terima Rp5,8 juta, kalau nahkodanya bisa dua kali lipat. Nah, tapi kalau moratorium begini, dari mana saya menghasilkan uang? Kami hanya mengharapkan tangkapan ikan yang dijual ke PT Dwi Karya Reksa Abadi," kata Henri Musabah.

Sementara itu, Hamid, seorang nakodah kapal kayu dengan bobot 9 ton atau GT 9 mengaku sejak empat bulan terakhir pihaknya tidak lagi melaut dan telah merugi ratusan juta rupiah.

"Yah, kalau dihitung-hitung bisa ratusan juta rupiah. Soalnya sekali melaut bisa menghasilkan Rp40 juta - Rp60 juta. Dikurangi biaya operasional Rp25 juta sekali melaut, sementara sebulan bisa dua kali melaut," kata Hamid.

Secara terpisah, Khusien Tomo, salah satu petinggi PT Dwi Karya Reksa Abadi mengatakan sekitar 4.000 hingga 5.000 ton berbagai jenis ikan yang ada di gudangnya sejak pemberlakuan moratorium oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan.

"Di gudang es kami ada kurang lebih 4.000 - 5.000 ikan hasil tangkapan dan pembelian dari warga setempat," katanya.

Dia mengatakan ribuan ton ikan itu merupakan hasil tangkapan dari puluhan kapal milik perusahaan yang dikelolanya sejak 2006 dan belum bisa di jual (ekspor) karena pemberlakuan moratorium.

"Ikan sebanyak itu seharusnya sudah dipasarkan, agar tidak rusak. Karena punya massa waktu," katanya.

Tomo mengemukakan, kini ada sekitar 80 kapal milik PT Dwi Karya yang beroperasi mencari ikan di laut Arafura dan sekitarnya yang berlabuh dan sandar di dermaga Kampung Wogekel.

"Juga, sekitar 400 ABK asal Cina dan 370 ABK Indonesia yang sudah dipulangkan karena selesai kontrak dan belum bisa diperpanjang karena moratorium," katanya.

Mengenai kerugian yang dialami oleh perusahaan tempatnya bekerja itu, Tomo mengaku tidak tahu persis karena bukan haknya untuk menjelaskan hal itu.

"Yang pastinya perusahaan merugi dan masyarakat setempat terkenan imbasnya," katanya. (*)

Pewarta : Pewarta: Alfian Rumagit
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024