Timika (Antara Papua) - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan menargetkan hingga 2018 bisa menghimpun dana jaminan sosial hingga Rp500 triliun, demikian Direktur Umum dan SDM BPJS Ketenagakerjaan Amri Yusuf.
"Dalam proyeksi kami pada 2018 tenaga kerja formal yang bisa kita proteksi sampai 80 persen atau sebanyak 40 juta orang dan tenaga kerja informal sebanyak 5 persen atau sebanyak 70 juta orang. Kalau itu bisa kita lakukan maka dana jaminan sosial yang bisa dihimpun mencapai Rp500 triliun," kata Amri Yusuf, Minggu.
Selama 37 tahun berdirinya lembaga jaminan sosial (Jamsostek) di Indonesia yang kini bertransformasi menjadi BPJS Ketenagakerjaan, hingga kini dana jamsos yang bisa terhimpun sekitar Rp190 triliun.
Angka itu dinilai masih sangat kecil dibandingkan dengan negara tetangga yaitu Malaysia dan Singapura yang sudah menghimpun dana jamsos hingga ribuan triliun.
Menurut Amri, dari Rp190 triliun dana jamsos yang dihimpun BPJS Ketenagakerjaan itu, hanya sekitar 10 persen yang dimanfaatkan untuk cadangan membayar jaminan peserta.
Sisanya sekitar Rp180 triliun ditempatkan untuk instrumen investasi baik untuk membeli saham perusahaan guna membiayai kegiatan produksinya, dalam bentuk deposito di perbankan untuk menggerakkan sektor perkreditan maupun membeli obligasi negara untuk membangun infrastruktur di semua daerah.
"Kalau semua masyarakat secara gotong-royong membayar iuran yang hanya sebesar Rp5.300 untuk kecelakaan kerja dan Rp6.800 untuk jaminan kematian maka dana jamsos yang bisa kita himpun bisa mencapai trilunan rupiah. Itu merupakan dana yang sangat besar untuk program investasi di Indonesia," kata Amri.
Peserta program BPJS Ketenagakerjaan yang membayar jaminan kecelakaan kerja maka jika terjadi kecelakaan saat bekerja akan mendapat pertanggungan biaya hingga tidak terhingga. Sedangkan jika meninggal maka akan mendapatkan pertanggungan sebesar Rp21 juta.
Guna mempercepat realisasi agar seluruh pekerja mendapat perlindungan dari BPJS Ketenagakerjaan, maka lembaga tersebut menjalin kerja sama dengan semua Pemda di Indonesia untuk ikut terlibat dalam layanan satu atap dalam hal pengurusan perpanjangan izin usaha dan lainnya.
"Cuma masalahnya, ada banyak pengusaha yang cerdik. Para pengusaha masih menganggap bahwa membayar iuran BPJS Ketenagakerjaan sebagai cost sehingga ada kalanya mereka hanya mengikutkan sebagian pekerja saja sebagai peserta. Ada juga yang melaporkan upah pekerja hanya sebagian dari yang diterima," ujarnya.
Menghadapi kondisi tersebut, katanya, BPJS Ketenagakerjaan telah diberikan kewenangan oleh UU Nomor 24 tahun 2011 untuk melakukan pengawasan dan pemeriksaan.
"Petugas kami bisa mendatangi perusahaan untuk memeriksa dokumennya, apakah pekerja yang dilaporkan sudah sesuai dengan jumlah yang sebenarnya atau tidak. Kami sedang menyiapkan petugas pengawas pemeriksa di masing-masing kantor cabang satu orang yang didukung langsung oleh kepala cabang untuk melakukan tugas ini," ujarnya.
Menyinggung tentang para pekerja yang bekerja di lingkungan perusahaan tambang PT Freeport Indonesia di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua, Amri meyakini semuanya sudah terkover melalui program BPJS Ketenagakerjaan.
"Untuk PT Freeport, saya kira sudah semuanya, demikian pula dengan perusahaan rekanannya," kata Amri.
Sesuai laporan Kepala Cabang BPJS Ketenagakerjaan Timika Zainal Abidin, peserta program BPJS di daerah itu sebanyak 572 perusahaan dengan jumlah tenaga kerja aktif sebanyak 29.621 orang dan tenaga kerja sektor informal sebanyak 4.892 orang. (*)
"Dalam proyeksi kami pada 2018 tenaga kerja formal yang bisa kita proteksi sampai 80 persen atau sebanyak 40 juta orang dan tenaga kerja informal sebanyak 5 persen atau sebanyak 70 juta orang. Kalau itu bisa kita lakukan maka dana jaminan sosial yang bisa dihimpun mencapai Rp500 triliun," kata Amri Yusuf, Minggu.
Selama 37 tahun berdirinya lembaga jaminan sosial (Jamsostek) di Indonesia yang kini bertransformasi menjadi BPJS Ketenagakerjaan, hingga kini dana jamsos yang bisa terhimpun sekitar Rp190 triliun.
Angka itu dinilai masih sangat kecil dibandingkan dengan negara tetangga yaitu Malaysia dan Singapura yang sudah menghimpun dana jamsos hingga ribuan triliun.
Menurut Amri, dari Rp190 triliun dana jamsos yang dihimpun BPJS Ketenagakerjaan itu, hanya sekitar 10 persen yang dimanfaatkan untuk cadangan membayar jaminan peserta.
Sisanya sekitar Rp180 triliun ditempatkan untuk instrumen investasi baik untuk membeli saham perusahaan guna membiayai kegiatan produksinya, dalam bentuk deposito di perbankan untuk menggerakkan sektor perkreditan maupun membeli obligasi negara untuk membangun infrastruktur di semua daerah.
"Kalau semua masyarakat secara gotong-royong membayar iuran yang hanya sebesar Rp5.300 untuk kecelakaan kerja dan Rp6.800 untuk jaminan kematian maka dana jamsos yang bisa kita himpun bisa mencapai trilunan rupiah. Itu merupakan dana yang sangat besar untuk program investasi di Indonesia," kata Amri.
Peserta program BPJS Ketenagakerjaan yang membayar jaminan kecelakaan kerja maka jika terjadi kecelakaan saat bekerja akan mendapat pertanggungan biaya hingga tidak terhingga. Sedangkan jika meninggal maka akan mendapatkan pertanggungan sebesar Rp21 juta.
Guna mempercepat realisasi agar seluruh pekerja mendapat perlindungan dari BPJS Ketenagakerjaan, maka lembaga tersebut menjalin kerja sama dengan semua Pemda di Indonesia untuk ikut terlibat dalam layanan satu atap dalam hal pengurusan perpanjangan izin usaha dan lainnya.
"Cuma masalahnya, ada banyak pengusaha yang cerdik. Para pengusaha masih menganggap bahwa membayar iuran BPJS Ketenagakerjaan sebagai cost sehingga ada kalanya mereka hanya mengikutkan sebagian pekerja saja sebagai peserta. Ada juga yang melaporkan upah pekerja hanya sebagian dari yang diterima," ujarnya.
Menghadapi kondisi tersebut, katanya, BPJS Ketenagakerjaan telah diberikan kewenangan oleh UU Nomor 24 tahun 2011 untuk melakukan pengawasan dan pemeriksaan.
"Petugas kami bisa mendatangi perusahaan untuk memeriksa dokumennya, apakah pekerja yang dilaporkan sudah sesuai dengan jumlah yang sebenarnya atau tidak. Kami sedang menyiapkan petugas pengawas pemeriksa di masing-masing kantor cabang satu orang yang didukung langsung oleh kepala cabang untuk melakukan tugas ini," ujarnya.
Menyinggung tentang para pekerja yang bekerja di lingkungan perusahaan tambang PT Freeport Indonesia di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua, Amri meyakini semuanya sudah terkover melalui program BPJS Ketenagakerjaan.
"Untuk PT Freeport, saya kira sudah semuanya, demikian pula dengan perusahaan rekanannya," kata Amri.
Sesuai laporan Kepala Cabang BPJS Ketenagakerjaan Timika Zainal Abidin, peserta program BPJS di daerah itu sebanyak 572 perusahaan dengan jumlah tenaga kerja aktif sebanyak 29.621 orang dan tenaga kerja sektor informal sebanyak 4.892 orang. (*)