Jayapura (Antara Papua) - Gubernur Papua Lukas Enembe mengatakan perlunya pemangku kepentingan, baik pemerintah pusat dan provinsi duduk bersama membahas masa depan PT Freeport Indonesia.

"Masa depan perjalananan investasi Freeport Indonesia di Papua perlu dibahas secara komprehensif dan terpadu antara Pemerintah Pusat, khususnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Energi bersama Pemerintah Provinsi Papua serta sejumlah kabupaten di sekitar tambang perusahaan itu," katanya sebagaimana tertuang dalam rilis yang diterima Antara di Kota Jayapura, Rabu.

Pernyataan itu disampaikan oleh orang nomor satu di Pemprov di Bumi Cenderawasih itu karena risau dengan masa depan pembangunan Papua, khususnya terkait dengan keberlangsungan operasional PT Freeport Indonesia.

Bagi Papua, kata dia, memiliki posisi dasar dalam konteks Freeport Indonesia, pertama terkait operasional Freeport Indonesia haruslah dilihat dalam konteks geo-politik yang lebih luas dan janganlah dilihat semata urusan bisnis murni.

"Investasi Freeport ini hadir di Papua sejalan dengan proses integrasi Irian Jaya ke dalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia pertengahan 1960-an. Freeport juga hadir sebagai investasi asing pertama setelah terbitnya UU No 1 Tahun 1967 perihal Penanaman Modal Asing (PMA)," katanya.

Kedua, kata dia, terkait dalam konteks perencanaan wilayah Pulau Papua dalam RPJM Nasional 2015-2019, pemerintah telah arahkan percepatan pengembangan hilirisasi industri pertambangan, pengembangan kawasan ekonomi inklusif dan berkelanjutan berbasis wilayah kampung adat.

"Demikian pula, dalam RPJMD Papua 2013-2018, kita mendorong Timika menjadi sentra pertumbuhan ekonomi berbasis tambang yang lebih terbuka, inklusif dan bernilai tambah. Ini berarti Papua dan pusat telah sejalan dari sisi perencanaan wilayah jangka menengah dan jangkah panjang," katanya.

Sementara untuk, aspek ketiga, kata dia, investasi Freeport Indonesia masih menjadi motor penggerak ekonomi masyarakat dan daerah Papua.

"Lihat saja, struktur PDRB Kabupaten Mimika masih tergantung 91 persen dari investasi Freeport dan ekonomi Papua masih dominan sekitar 50 persen disumbang oleh investasi pertambangan," katanya.

Menurut dia, ada sekitar 8.000 karyawan asli Papua dan keluarga besarnya yang bergantung di Freeport, sebagai tempat lapangan kerja, ditambah lagi ekonomi ikutan atau `multiply effects` yang disebabkan oleh beroperasinya Freeport Indonesia.

"Menyimak situasi yang cukup pelik ini dan dampak-dampak sosial politik lokal yang terjadi di Papua, alangkah baiknya perlu ada kepastian arah terhadap keberlanjutan investasi Freeport Indonesia," katanya.

Memang, kata dia, pembicaraan kontrak karya akan dibicarakan tahun 2019, namun perlu ada tahapan dan langkah yang terukur secara komprehensif antara pusat - daerah - Freeport.

"Jangan Pemprov Papua ditinggalkan dalam proses re-negosiasi, termasuk skema divestasi Freeport Indonesia," kata Gubernur Enembe.

Sementara itu, dalam soal re-negosiasi tersebut, Sekretaris Daerah Papua Heri Dosinaen juga menjelaskan, selama ini Pemerintah Provinsi Papua telah ajukan 17 poin yang perlu dibicarakan dan menjadi kepentingan Papua.

Selain soal kontrak karya, luas wilayah, divestasi dan penggunaan barang dan jasa dalam negeri, Pemerintah Provinsi Papua juga ajukan poin-poin lainnya seperti tenaga asli Papua dan perannya di semua level manajemen, industri hilirisasi di perpindahan kantor Pusat Freeport ke Papua, hasil-hasil pertanian rakyat diterima di Freeport.

Lalu, poin tentang kontribusi Freeport bagi infrastruktur wilayah maupun perbaikan lingkungan hidup di sekitar tambang dan peran sosial masyarakat adat.

"Semua poin-poin itu, perlu dibahas bersama, Gubernur Enembe berharap pihak DPR dapat mendorong pembahasan yang utuh dalam melihat proses re-negosiasi dan pentingnya keterlibatan rakyat Papua dalam re-negosiasi ini," katanya. (*)

Pewarta : Pewarta: Alfian Rumagit
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024