Ketika Sidang Kabinet Terbatas tentang Papua di Kantor Presiden, pada 19 Juli 2017, Gubernur Lukas Enembe menyempatkan diri menceritakan kepada Presiden Joko Widodo, bahwa olahraga dan seni adalah identitas dan talenta yang telah mengalir dalam darah daging orang Papua yang mengangkat kebanggaan orang Papua. Pernyataan Gubernur Enembe penuh makna yang mendalam.
Syukur, ketika orang Papua terlahir di muka bumi, jiwa dan talenta olahraga telah melekat dalam dirinya. Bagi orang Papua, olahraga juga sebagai seni yang tumbuh subur dalam masyarakat Papua. Hal ini sejalan pula dengan berbagai teori yang menggambarkan olahraga adalah bentuk dari seni sebagai ekspresi dari ketrampilan yang kreatif dan imaginasi dari setiap individu, yang memproduksi emosi dan spirit. Karena itu, olahraga adalah skill, kreatifitas, emosi, dan imaginasi.
Menyadari realitas sosial itu, Gubernur Acub Zainal di awal tahun 1970-an, memberikan perhatian ke pengembangan olahraga. Ia memprakarsai pemugaran Stadion Mandala menjadi stadion yang memiliki tribun dan layak dalam berbagai pertandingan nasional. Tidak hanya itu saja, Acub Zainal juga membangun Gedung Olahraga (GOR) Jayapura yang terletak di tengah kota Jayapura. Bahkan, kecintaannya kepada sepakbola begitu tinggi.
Walaupun Acub Zainal tidak bertugas di Papua lagi di tahun 1976, ia mengirim sebuah surat dari Bandung, pada 18 April 1976, sehari sebelum final melawan Persija di Stadion Utama Senayan, pada 19 April 1976.
Dalam suratnya, ia mengatakan, "Kalau ada manusia yang paling bangga saat ini, karena Persipura masuk final adalah saya. Saya sangat bangga atas hasil gemilang yang telah dicapai oleh putra-putra Irianku, meskipun saya kini bukan apa-apa lagi dan tidak berada di Irian lagi. Tetapi hatiku selalu berada padamu semua. Cita-citaku keinginanku ialah Persipura (putra-putra Irian Jaya) jadi juara Indonesia". Alhasil, surat ini menjadi salah satu penyemat anak-anak "Mutiara Hitam" untuk mengalahkan Persija dengan skor 4 - 3.
Olahraga dan Identitas di Panggung Global
Belajar dari pengalaman di belahan negara-negara lain, olahraga memiliki karakter yang melintasi batas-batas wilayah budaya dan politik. Sepakbola menjadi identitas rakyat di Amerika Latin karena bertolak dari kesamaan sejarah atas penderitaan atas penjajahan dan situasi ekonomi yang sulit.
Di Afrika Selatan, dalam sebuah film dengan judul Invictus (atau artinya, Tak Terkalahkan), mencerminkan bagaimana Nelson Mandela membangun tim Rugby sebagai kendaraan untuk membangun solidaritas bersama antara kulit hitam dan kulit putih, guna menyatukan bangsa yang pernah terbelah karena rezim apartheid.
Demikian pula, China juga menganggap olahraga sebagai sarana untuk membangun kebanggaan bagi wajah baru China di panggung global. Setelah China tidak mengikuti Olimpiade selama 30 tahun, akhirnya China mengambil bagian dair Olimpiade tahun 1984. Kemenangan yang diraih oleh atlet-atlet China menggambarkan sebuah China baru yang penuh dengan harapan, keterbukaan, dan spirit. Dengan kekuatan ekonomi, sekolah-sekolah olahraga dibangun dengan kompetisi yang teratur. Alhasil, China meraih rangking pertama dalam Olimpiade 2008 yang digelar di China.
Identitas nasional dibangun melalui olahraga adalah sumber terpenting di dalam membangun kebanggaan nasional, apapun rezim politiknya, baik demokratis atau rezim otoriter. Ketika Piala Dunia Sepakbola tahun 2014, German menggaungkan slogan, "One Nation, One Team, One Dream".Slogan-slogan selama piala dunia juga mencerminkan semangat, kepercayaan diri, dan kebanggaan nasional.
Kesebelasan Australia, mengangkat slogan, "Socceross: Hoping Our Way into History". Ghana dengan slogan, "Black Stars: Here to illuminate Brazil". Sementara Argentina membawa slogan, "Not just a team, we are a country". Demikian pula, Yunani mengangkat slogan, "Heroes play like Greeks" (www.cnn.com, 15 Mei 2014).
Senada dengan berbagai slogan dari negara-negara tersebut, dalam pembukaan Piala Presiden di Sleman, Yogyakarta, pada 4 Februari 2017, Presiden Joko Widodo juga menekankan, sepakbola kita menjadi sepakbola yang mempersatukan.
Talenta Papua dan Kebangkitan Olahraga
Ketika Presiden Joko Widodo meletakkan batu pertama stadion utama 'Papua Bangkit" di Kampung Harapan, Jayapura, pada 9 Mei 2015, Presiden Joko Widodo menegaskan, "Proyek pembangunan venue PON di Papua ini memiliki arti yang sangat penting. Bukan saja keolahragaan Papua, tapi juga Indonesia". Bahkan, Presiden Joko Widodo menambahkan pembangunan Papua bukan fisiknya saja, tapi jiwa raganya juga harus dibangun. Dengan penunjukan Papua sebagai tuan rumah PON, maka bisa menjadi awal kebangkitan olahraga nasional Indonesia, khususnya di wilayah timur.
Dalam konteks Papua, olahraga adalah talenta orang Papua. Menjadi rahasia umum, Papua telah melahirkan bibit olahraga di berbagai cabang olahraga. Untuk mengangkat talenta-talenta yang tersebar di berbagai daerah di Papua, Gubernur Enembe adalah mengakomodasi pendekatan pembangunan berbasis sosial budaya dengan menerapkan 5 wilayah adat, yakni Saireri, Mamta, Laapago, Meepago dan Animha. Harapannya, kearifan lokal, potensi sumber daya manusia dan potensi alam didekati dan dikembangkan dalam konteks kebijakan teknokratis.
Pendekatan berbasis 5 wilayah adat ini menjadi dasar bagi penentuan 5 kluster dari tuan rumah cabang-cabang olahraga selama PON XX tahun 2020 di Papua, baik di Biak, Timika, Jayawijaya, Merauke dan wilayah Jayapura. Dalam skenario ini, ada redistribusi pemerataan pusat-pusat olahraga dan ekonomi wilayah sebagai imbas tuan rumah dari sejumlah cabang olahraga.
Papua sebagai tuan rumah juga dapat ditempatkan sebagai bagian dari strategi membangun Indonesia dari pinggiran. Dalam pandangan Gubernur Enembe, PON di tanah Papua harus diletakkan sebagai komitmen Pemerintah di dalam membangun Indonesia dari pinggiran, sebagaimana visi besar yang diangkat Presiden Joko Widodo.
Untuk itu, hadirnya Instruksi Presiden perihal percepatan pembangunan prasarana dan sarana venues PON di Papua, sebagaimana hasil Sidang Kabinet pada 19 Juli 2017, dilihat sebagai upaya mempercepat redistribusi pembangunan dan sebagai upaya mengurangi kesenjangan pusat-pusat olahraga antara Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia.
Melalui Inpres PON ini, sejumlah langkah-langkah kebijakan dari berbagai Kementerian/Lembaga diarahkan untuk mendukung persiapan dan penyelenggaraan PON. Dengan cara ini, PON tidak hanya tanggungjawab pemerintah daerah saja, namun menjadi kerja kolektif baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Misalnya saja, sejumlah Kementerian Pariwisata bertugas untuk mempromosikan berbagai destinasi wisata Papua di berbagai forum internasional dan nasional. Juga, kementerian komunikasi dan informasi mendorong pembangunan jaringan telekomunikasi di berbagai daerah di Papua. Begitu juga, Kementerian PUPR menyiapkan berbagai infrastrukur dasar guna mendukung kawasan-kawasan di lokasi PON.
Dengan demikian, PON XX Tahun 2020 di Papua adalah sebuah langkah besar untuk mewujudkan janji, harapan, dan visi besar dari UU No. 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional. Harapannya, PON di Papua merupakan strategi dalam menjamin pemerataan akses olahraga, menguatkan kepribadian yang bermartabat dan mempererat persatuan dan kesatuan bangsa, serta memperkukuh ketahanan nasional. (*/Adv)
*Penulis adalah pengamat pembangunan Papua
Syukur, ketika orang Papua terlahir di muka bumi, jiwa dan talenta olahraga telah melekat dalam dirinya. Bagi orang Papua, olahraga juga sebagai seni yang tumbuh subur dalam masyarakat Papua. Hal ini sejalan pula dengan berbagai teori yang menggambarkan olahraga adalah bentuk dari seni sebagai ekspresi dari ketrampilan yang kreatif dan imaginasi dari setiap individu, yang memproduksi emosi dan spirit. Karena itu, olahraga adalah skill, kreatifitas, emosi, dan imaginasi.
Menyadari realitas sosial itu, Gubernur Acub Zainal di awal tahun 1970-an, memberikan perhatian ke pengembangan olahraga. Ia memprakarsai pemugaran Stadion Mandala menjadi stadion yang memiliki tribun dan layak dalam berbagai pertandingan nasional. Tidak hanya itu saja, Acub Zainal juga membangun Gedung Olahraga (GOR) Jayapura yang terletak di tengah kota Jayapura. Bahkan, kecintaannya kepada sepakbola begitu tinggi.
Walaupun Acub Zainal tidak bertugas di Papua lagi di tahun 1976, ia mengirim sebuah surat dari Bandung, pada 18 April 1976, sehari sebelum final melawan Persija di Stadion Utama Senayan, pada 19 April 1976.
Dalam suratnya, ia mengatakan, "Kalau ada manusia yang paling bangga saat ini, karena Persipura masuk final adalah saya. Saya sangat bangga atas hasil gemilang yang telah dicapai oleh putra-putra Irianku, meskipun saya kini bukan apa-apa lagi dan tidak berada di Irian lagi. Tetapi hatiku selalu berada padamu semua. Cita-citaku keinginanku ialah Persipura (putra-putra Irian Jaya) jadi juara Indonesia". Alhasil, surat ini menjadi salah satu penyemat anak-anak "Mutiara Hitam" untuk mengalahkan Persija dengan skor 4 - 3.
Olahraga dan Identitas di Panggung Global
Belajar dari pengalaman di belahan negara-negara lain, olahraga memiliki karakter yang melintasi batas-batas wilayah budaya dan politik. Sepakbola menjadi identitas rakyat di Amerika Latin karena bertolak dari kesamaan sejarah atas penderitaan atas penjajahan dan situasi ekonomi yang sulit.
Di Afrika Selatan, dalam sebuah film dengan judul Invictus (atau artinya, Tak Terkalahkan), mencerminkan bagaimana Nelson Mandela membangun tim Rugby sebagai kendaraan untuk membangun solidaritas bersama antara kulit hitam dan kulit putih, guna menyatukan bangsa yang pernah terbelah karena rezim apartheid.
Demikian pula, China juga menganggap olahraga sebagai sarana untuk membangun kebanggaan bagi wajah baru China di panggung global. Setelah China tidak mengikuti Olimpiade selama 30 tahun, akhirnya China mengambil bagian dair Olimpiade tahun 1984. Kemenangan yang diraih oleh atlet-atlet China menggambarkan sebuah China baru yang penuh dengan harapan, keterbukaan, dan spirit. Dengan kekuatan ekonomi, sekolah-sekolah olahraga dibangun dengan kompetisi yang teratur. Alhasil, China meraih rangking pertama dalam Olimpiade 2008 yang digelar di China.
Identitas nasional dibangun melalui olahraga adalah sumber terpenting di dalam membangun kebanggaan nasional, apapun rezim politiknya, baik demokratis atau rezim otoriter. Ketika Piala Dunia Sepakbola tahun 2014, German menggaungkan slogan, "One Nation, One Team, One Dream".Slogan-slogan selama piala dunia juga mencerminkan semangat, kepercayaan diri, dan kebanggaan nasional.
Kesebelasan Australia, mengangkat slogan, "Socceross: Hoping Our Way into History". Ghana dengan slogan, "Black Stars: Here to illuminate Brazil". Sementara Argentina membawa slogan, "Not just a team, we are a country". Demikian pula, Yunani mengangkat slogan, "Heroes play like Greeks" (www.cnn.com, 15 Mei 2014).
Senada dengan berbagai slogan dari negara-negara tersebut, dalam pembukaan Piala Presiden di Sleman, Yogyakarta, pada 4 Februari 2017, Presiden Joko Widodo juga menekankan, sepakbola kita menjadi sepakbola yang mempersatukan.
Talenta Papua dan Kebangkitan Olahraga
Ketika Presiden Joko Widodo meletakkan batu pertama stadion utama 'Papua Bangkit" di Kampung Harapan, Jayapura, pada 9 Mei 2015, Presiden Joko Widodo menegaskan, "Proyek pembangunan venue PON di Papua ini memiliki arti yang sangat penting. Bukan saja keolahragaan Papua, tapi juga Indonesia". Bahkan, Presiden Joko Widodo menambahkan pembangunan Papua bukan fisiknya saja, tapi jiwa raganya juga harus dibangun. Dengan penunjukan Papua sebagai tuan rumah PON, maka bisa menjadi awal kebangkitan olahraga nasional Indonesia, khususnya di wilayah timur.
Dalam konteks Papua, olahraga adalah talenta orang Papua. Menjadi rahasia umum, Papua telah melahirkan bibit olahraga di berbagai cabang olahraga. Untuk mengangkat talenta-talenta yang tersebar di berbagai daerah di Papua, Gubernur Enembe adalah mengakomodasi pendekatan pembangunan berbasis sosial budaya dengan menerapkan 5 wilayah adat, yakni Saireri, Mamta, Laapago, Meepago dan Animha. Harapannya, kearifan lokal, potensi sumber daya manusia dan potensi alam didekati dan dikembangkan dalam konteks kebijakan teknokratis.
Pendekatan berbasis 5 wilayah adat ini menjadi dasar bagi penentuan 5 kluster dari tuan rumah cabang-cabang olahraga selama PON XX tahun 2020 di Papua, baik di Biak, Timika, Jayawijaya, Merauke dan wilayah Jayapura. Dalam skenario ini, ada redistribusi pemerataan pusat-pusat olahraga dan ekonomi wilayah sebagai imbas tuan rumah dari sejumlah cabang olahraga.
Papua sebagai tuan rumah juga dapat ditempatkan sebagai bagian dari strategi membangun Indonesia dari pinggiran. Dalam pandangan Gubernur Enembe, PON di tanah Papua harus diletakkan sebagai komitmen Pemerintah di dalam membangun Indonesia dari pinggiran, sebagaimana visi besar yang diangkat Presiden Joko Widodo.
Untuk itu, hadirnya Instruksi Presiden perihal percepatan pembangunan prasarana dan sarana venues PON di Papua, sebagaimana hasil Sidang Kabinet pada 19 Juli 2017, dilihat sebagai upaya mempercepat redistribusi pembangunan dan sebagai upaya mengurangi kesenjangan pusat-pusat olahraga antara Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia.
Melalui Inpres PON ini, sejumlah langkah-langkah kebijakan dari berbagai Kementerian/Lembaga diarahkan untuk mendukung persiapan dan penyelenggaraan PON. Dengan cara ini, PON tidak hanya tanggungjawab pemerintah daerah saja, namun menjadi kerja kolektif baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Misalnya saja, sejumlah Kementerian Pariwisata bertugas untuk mempromosikan berbagai destinasi wisata Papua di berbagai forum internasional dan nasional. Juga, kementerian komunikasi dan informasi mendorong pembangunan jaringan telekomunikasi di berbagai daerah di Papua. Begitu juga, Kementerian PUPR menyiapkan berbagai infrastrukur dasar guna mendukung kawasan-kawasan di lokasi PON.
Dengan demikian, PON XX Tahun 2020 di Papua adalah sebuah langkah besar untuk mewujudkan janji, harapan, dan visi besar dari UU No. 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional. Harapannya, PON di Papua merupakan strategi dalam menjamin pemerataan akses olahraga, menguatkan kepribadian yang bermartabat dan mempererat persatuan dan kesatuan bangsa, serta memperkukuh ketahanan nasional. (*/Adv)
*Penulis adalah pengamat pembangunan Papua