Rupiah sebagai mata uang dari Negara Kesatuan Indonesia (NKRI) semestinya wajib digunakan dalam setiap transaksi jual-beli di seluruh wilayah Indonesia, dan Kantor Perwakilan (KPw) Bank Indonesia (BI) Provinsi Papua pun secara rutin mensosialisasikan hal tersebut.

Namun, kenyataan di lapangan menunjukan fakta lain, seperti di kawasan Perbatasan Ri-Papua Nugini (PNG) di Skouw, Kota Jayapura, malah kina selaku mata uang PNG masih mendominasi alat transaksi di sana.

Mulai dari pedagang di Pasar Perbatasan Skouw hingga pengjek sepeda motor pun masih menerima kina walaupun aturan wajib menggunakan rupiah sudah mereka ketahui.

Nilai ekonomis yang menurut mereka lebih besar dibandingkan bertransaksi dengan rupiah, menjadi alasan utama para pelaku penyedia jasa transportasi di kawasan perbatasan negara itu

Sebagai gambaran, untuk tarif jasa ojek motor tanpa barang dari pasar perbatasan hingga gerbang batas (jaraknya 200 meter) sebesar 2 kina atau bila ditukarkan rupiah dengan kurs Rp3.500/kina, maka pendapatan mereka lebih banyak Rp2.000 dibanding mereka memaksakan pembayaran menggunakan rupiah.

Hanya saja nilai-nilai tersebut tidak berlaku bagi bagi mama-mama dari Kampung Skouw, yang berdagang pinang di wilayah tersebut.

Mama-mama pedagang pinang, sejak 2004 sudah membeli pinang dari warga PNG. Sejak saat itu pula mereka tegas melakukan pembayaran dengan rupiah meski si penjual pinang meminta pembayaran dengan kina.

Bagi Mama Florensina Patipeme (52), salah satu pedagang pinang di Perbatasan Skouw-Wutung, berdagang tidak hanya sekedar mencari keuntungan, tetapi sebagai warga Indonesia ia merasa wajib ikut mendaulatkan rupiah.

"Kami bilang ke penjual pinang asal PNG kami mau beli pinang tetapi bayar gunakan rupiah bukan kina. Mereka memang berharap kami bayar dengan kina karena nilainya lebih tinggi, tapi kami bilang ini negara Indonesia jadi kita gunakan rupiah dalam berdagang," ujarnya.

Nilai ekonomis perdagangan pinang
Pinang yang secara rutin dikonsumsi masyarakat Papua, bahkan menjadi salah satu komoditi yang mempengaruhi inflasi, ternyata memiliki nilai ekonomis cukup tinggi.

Untuk satu karung pinang kemasan 25 kilogram dari PNG yang harus dibayar Mama Florensina Patipeme dan seluruh rekannya adalah Rp250.000. Setelah dilakukan penyortiran di lokasi pencucian mobil PLBN Skouw, dan dijual kembali kepada para pengepul, nilai perkarungnya langsung menjadi Rp750.000.

Secara kuantitas memang jumlah pinang yang bisa didapatkan tidak bisa tetap. Bila sedang banyak, mama-mama pedagang pinang bisa menjual hingga tiga karung, atau mereka bisa meraup keuntungan hingga Rp1,5 juta dalam waktu beberapa jam saja.

Ternyata distribusi pinang dari perbatasan Skouw-Wutung cukup luas karena pada umumnya para pengepul setelah juga melakukan penyortiran, akan mengirimnya hingga Kabupaten Jayawijaya.

Namun dari transaksi yang dilakukan pada Selasa, Kamis dan Sabtu, sesuai ketentuan waktu pasar perbatasan, para pengepul umumnya hanya lakukan pengiriman satu kali dalam satu minggu ke Jayawijaya. Jumlahnya pun tergantung permintaan dari pedagang yang memesan komoditi tersebut.

Ketergantungan terhadap Indonesia
Warga PNG yang sebenarnya satu rumpun dengan penduduk asli Papua (Ras Melanesia), khususnya mereka yang tinggal di Provinsi Sundown (berbatasan langsung dengan Indonesia), sangat bergantung dengan pasokan barang dari Indonesia.

Faktor harga adalah yang utama sebab barang dari Indonesia jauh lebih murah dibanding yang ada di PNG. Hal tersebut terjadi karena sebagian besar produk mereka impor dari Australia.

Gubernur Papua LUkas Enembe yang kini sedang menjalani masa cuti kampanye pernah menyebut nilai transaksi di Pasar Perbatasan Skouw bisa mencapai Rp25,8 miliar/tahun.

Namun, banyak pihak meyakini nilainya masih lebih besar jumlah tersebut karena transaksi jual beli menggunakan kina masih berlangsung dan jumlahnya belum diketahui pasti.

Ketika pasar perbatasan Skouw ditutup karena terbakar pada 27 Agustus 2016, Konsul RI di Vanimo, PNG, Elmar Lubis mengatakan warga PNG mengeluh karena banyak kebutuhan pokok mereka dibeli di lokasi tersebut.

Elmar memandang keberadaan pasar perbatasan telah menjadi suatu ketergantungan terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat Vanimo dan daerah di sekitarnya.

Dengan kondisi tersebut, seharusnya Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 17/3/PBI/2015 yang mengatur setiap transaksi yang dilakukan di wilayah NKRI wajib menggunakan rupiah, bisa segera dilakukan.

"Itu tidak mudah, makanya kita berproses sejak tahun lalu hingga kini. Kami berharap pertengahan 2018 ketentuan menggunakan rupiah di wilayah NKRI sudah bisa ditegakan," demikian Manajer Tim Pengembangan Ekonomi BI Papua Yon Widiyono menegaskan dalam suatu kesempatan.  (*)

Pewarta : Dhias Suwandi
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024