Jayapura (Antaranews Papua) - Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua Aloysius Giyai mengatakan integrasi Kartu Papua Sehat dan Jaminan Kesehatan Nasional (KPS-JKN) di daerahnya berlangsung rumit.

"Upaya Provinsi Papua masuk ke integrasi Jaminan Kesehatan Nasional itu tidak mudah, rumit," katanya di Jayapura, Sabtu.

Menurut dia, pembahasan terkait integrasi BPJS Kesehatan itu dibahas panjang lebar dihari kedua pelaksanaan rapat kerja kesehatan daerah, Kamis(19/4) disalah satu hotel ternama di Jayapura.

Mantan Kepala Puskesmas Koya itu menyebutkan, sebenarnya muda namun banyak orang Papua yang belum memiliki nomor induk kependudukan (NIK).

"Kalau misalnya semua sudah memiliki NIK itu gampang, begini semua terintegrasi ke BPJS Kesehatan, preminya dibayarkan oleh pemerintah daerah," katanya.

Lanjut dia, akan tetapi persoalannya penduduk yang belum punya NIK itu diapakan, itu sama dengan pasien swasta seratus persen, sementara selama ini mereka dibiayai oleh KPS.

Sedangkan KPS sudah terintegrasi ke BPJS Kesehatan, sehingga KPS tidak boleh namun warga yang belum memiliki NIK ini dikemanakan.

"Ini persoalan, banyak usulan dari semua pihak untuk mencari solusi yang terbaik sudah disampaikan dari semua teman-teman dinkes kabupaten/kota se-Papua sementara sedang mencari solusi terbaik," katanya.

BPJS Kesehatan juga sudah diundang dan mempresentasikan untung ruginya penggunaan JKN dibeberapa rumah sakit.

"Akan tetapi teman-teman dari tim Dinkes Provinsi Papua belum merumuskan yang terbaik seperti apa," katanya.

Karena ini dihadapkan pada dua hal utama, pertama implementasi undang-undang dari Permendagri dan undang-undang jaminan sosial nasional.

Sesuai Permendagri Nomor 33 Tahun 2017 bahwa semua jamkesda wajib integrasi kepada BPJS kesehatan.

Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang sistem jaminan sosial nasional.

Tetapi disisi lain rakyat Papua akan menjadi korban jika itu diterapkan karena banyak warga Papua yang belum memiliki NIK.

Mantan Direktur RSUD Abepura itu menambahkan, kepentingan masyarakat banyak ini dan juga dengan aturan ini harus diambil jalan tengahnya, pasti keputusannya tidak akan mendekati terbaik karena tarik menarik dengan dua hal yakni aturan regulasi dengan kepentingan masyarakat.(*)

Pewarta : Musa Abubar
Editor : Editor Papua
Copyright © ANTARA 2024